Oleh: Pizaro Gozali Idrus
(Arrahmah.id) – Kelompok perlawanan Palestina Harakat al-Muqawama al-Islamiyyah atau Hamas kembali mendapatkan atensi global setelah serangan kilatnya pada Sabtu pagi 7 Oktober 2023 berhasil memukul kekuatan penjajah Zionis.
Perang ini merupakan perang paling serius dan paling mematikan yang dilakukan Hamas dalam beberapa dekade terakhir. Hamas, yang artinya Gerakan Perlawanan Islam itu, menegaskan serangan ini terjadi karena ‘Israel’ mengabaikan peringatan untuk tidak menodai kesucian Masjid Al-Aqsha dan membunuh warga Palestina.
Ini adalah respons yang diharapkan dari rakyat Palestina, yang telah menghadapi kolonialis dan pendudukan pemukim ‘Israel’ selama beberapa dekade.
Selama 16 tahun, warga Gaza menghadapi penindasan, pembatasan, dan pembunuhan akibat blokade kolonial. Sebanyak 80% dari mereka hidup dalam kemiskinan.
Menurut UNICEF, anak-anak Gaza mengalami krisis air dan sanitasi yang akut. Mereka bersama kedua orang tua karena tewas oleh serangan rudal dan roket penjajah.
Aljazeera mencatat sejak tahun 2008 hingga 2023 sebanyak 6.407 warga dan kelompok perjuangan Palestina tewas di tangan rezim penjajah, jauh berbanding 308 di pihak penjajah Zionis, yang mayoritas adalah personel militer.
Kini situasi telah berbalik. Perlawanan terus bangkit.
Rezim kolonial Zionis mengatakan setidaknya sudah lebih 700 tentara dan warganya telah terbunuh akibat serangan pada Sabtu pagi. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah.
Hamas juga menyandera tentara dan warga ‘Israel’. Komandan Angkatan Darat penjajah Zionis Mayor Jenderal Nimrod Aloni dilaporkan termasuk yang ditangkap oleh Hamas. Ini merupakan kemenangan terbesar Hamas sejak Zionis memblokade Gaza pada 2007.
Di balik serangan ini, Resolusi Majelis Umum PBB 37/43 pada 1982 telah menegaskan bahwa “Reaffirms the legitimacy of the struggle of peoples for their independence, territorial integrity, national unity and liberation from colonial domination, apartheid and foreign occupation by all available means, including armed struggle.”
Yang artinya: “Menegaskan kembali legitimasi perjuangan masyarakat untuk kemerdekaan, integritas teritorial, persatuan nasional dan pembebasan dari dominasi kolonial, apartheid dan pendudukan asing dengan segala cara yang ada, termasuk perjuangan bersenjata.”
Oleh karenanya, Operasi Taufan (Badai) Al-Aqsha merupakan bagian dari perjuangan bersenjata Palestina yang diprovokasi oleh pendudukan dan kolonialisme ‘Israel’ itu sendiri.
Setidaknya, ada beberapa analisa yang dapat dibaca dalam peristiwa ini.
Pertama, serangan ini sejatinya menampar wajah Netanyahu yang pada dua pekan lalu secara confidence memperkenalkan Peta Baru Timur Tengah di Sidang Umum PBB untuk menujukkan keberhasilan rekonsiliasi penjajah Zionis dengan negara-negara Arab.
Netanyahu menilai kekuatan Arab kini sudah berada dalam genggamannya dan menjadi era baru bagi hubungan ‘Israel’-Arab di bawah kepemimpinannya. Namun serangan Hamas yang meluluhlantahkan kekuatan militer penjajah Zionis telah menginterupsi dunia internasional bahwa rekonsiliasi itu tidak benar-benar mewakili jantung hati rakyat Palestina dan ‘Israel’ tidak benar-benar dapat melumpuhkan perlawanan bangsa Palestina.
Dalam pidatonya, Pemimpin Hamas Ismail Haniyah menegaskan kepada negara-negara Arab lainnya bahwa ‘Israel’ tidak dapat memberi mereka perlindungan apa pun bagi Palestina dan bangsa Arab meski ada pemulihan hubungan diplomatik baru-baru ini. “Semua perjanjian normalisasi yang Anda tandatangani dengan entitas tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik (Palestina) ini,” ucap Haniyah.
Oleh karena itu, serangan terstruktur yang dilakukan Hamas telah membuka mata dunia bahwa faksi perlawaan Palestina masih belum padam. Hamas yang memimpin Gaza telah meraih banyak reputasi, kemajuan, dan kemenangan.
Hal ini sekaligus menjadi antithesis bagi Otoritas Palestina (OP) yang dinilai tunduk terhadap dominasi ‘Israel’ dan cenderung korup. Mahmoud Abbas boleh saja menjadi pemerintahan de jure bagi Palestina, tapi secara de facto Hamas menjadi pemimpin yang sebenarnya bagi perjuangan rakyat Palestina.
Kedua, apa yang dilakukan Hamas ini merupakan strategi kontra militer yang brilian terhadap inisiasi yang akan dilakukan Tel Aviv. Hamas sudah mengindentifikasi bahwa Netanyahu akan melakukan serangan ke Masjid Al-Aqsha dan Gaza untuk mengalihkan isu atas kasus korup yang membelit dirinya.
Hal ini dilakukan Netanyahu guna meraih simpati publik yang telah mendesak dirinya mundur.
Namun, secara cerdik, Hamas telah mendahului langkah Netanyahu untuk membuyarkan rencana itu. Serangan kilat Hamas ini telah membuat Netanyahu makin mengalami defisit kepercayaan yang terus mengalami tekanan publik, terlebih banyak warga disandera oleh Hamas.
Seperti diketahui, sejak 2018 Netanyahu dirundung oleh penyelidikan korupsi dengan isu suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan. Netanyahu diduga telah menerima hadiah dari pengusaha kaya dan memberikan bantuan untuk mencoba mendapatkan pemberitaan yang lebih positif.
Tidak hanya itu, Hamas juga mendahului pertemuan yang akan dilakukan Menteri Luar Negeri ‘Israel’ Eli Cohen terhadap negara-negara Arab pada Oktober dalam upaya memperluas suksesi rekonsiliasi kepada ‘Israel’.
Negara-negara itu sebelumnya sudah sesumbar bahwa ‘Israel’ benar-benar sudah menguasai Palestina tanpa ada rintangan yang akan memuluskan Peta Baru Timur Tengah.
Ketiga, manuver yang dilakukan Hamas makin mendekatkan posisinya dengan Tepi Barat. Pemimpin Hamas Ismail Haniyah mengatakan faksi-faksi bersenjata Palestina bertekad memperluas pertempuran yang sedang berlangsung di Gaza hingga ke Tepi Barat dan Yerusalem.
Rezim Kolonialis Zionis sendiri telah mengevakuasi warga sipil dari kota-kota yang berbatasan dengan Gaza. Laksamana Muda Daniel Hagari, juru bicara militer Zionis, mengatakan pasukannya sedang mengevakuasi semua warga sipil dari 24 desa dekat perbatasan Gaza.
Tindakan ini merupakan indikasi bahwa ‘Israel’ sedang mempersiapkan operasi di pesisir Palestina. Jika Allah berkehendak, dan Hamas dapat memenangkan pertempuran ini dan menguasai wilayah itu, maka peta akan berubah drastis dalam hubungan warga Palestina dan Masjidil Aqsha. Namun situasi ini masih up and down dan penuh dinamika.
Walhasil, serangan kilat Hamas sejatinya telah mengubah pandangan dunia. Simpati masyarakat sipil, aktivis HAM, akademisi, dan sejumlah negara mengalir kepada Hamas.
Sejatinya, mereka yang kini lebih pantas memperkenalkan Peta Baru Timur Tengah yang sejati kepada dunia internasional, bukan Netanyahu dan negara-negara mitranya yang mendukung eksistensi rezim penjajah.*
*)Penulis adalah Senior Fellow Asia Middle East Centre for Research and Dialogue, Kuala Lumpur. Kandidat Ph.D Policy Research and International Studies Universitas Sains Malaysia.
(ameera/arrahmah.id)