Mahmoud Alloush
Peneliti dalam hubungan internasional.
(Arrahmah.id) – Ada anggapan bahwa salah satu alasan utama Presiden Suriah, Ahmad Asy-Syaraa, menghindari konfrontasi militer langsung dengan “Israel” untuk meredam agresinya terhadap Suriah adalah karena negara tersebut baru saja keluar dari konflik yang menghancurkan. Saat ini, Suriah sedang berusaha membangun kembali negaranya, memperkuat militernya, serta keluar dari isolasi internasional. Dalam kondisi seperti ini, perang langsung dengan “Israel” hanya akan menghancurkan proyek baru Suriah.
Asumsi ini cukup masuk akal. Perang semacam ini bahkan sangat menguras sumber daya bagi negara yang stabil, apalagi bagi Suriah yang masih dalam tahap pemulihan. Namun, pendekatan Asy-Syaraa terhadap tantangan “Israel” sebenarnya lebih dari sekadar faktor tersebut, meskipun itu adalah alasan yang penting dan realistis.
Sebagai seorang pemimpin yang memimpin Suriah dalam masa transisi yang sensitif—dan sebelumnya berasal dari kelompok dengan latar belakang Islamis—perubahan ini mungkin terasa tidak biasa bagi sebagian orang. Namun, hal ini justru mencerminkan karakter baru Ahmad Asy-Syaraa sebagai seorang negarawan. Ia memiliki visi besar: membangun negara modern, menjaga persatuan Suriah, dan mencegahnya terjerumus dalam kekacauan internal di tengah meningkatnya ancaman, terutama dari agresi “Israel” di kawasan.
Pendekatan ini juga menunjukkan pemahamannya terhadap ancaman lain yang mengintai proses transisi. Agresi “Israel” terhadap Suriah bukan sekadar masalah keamanan, melainkan bagian dari proyek Timur Tengah Baru yang diusung Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu. Selain itu, ketegangan geopolitik antara Turki dan “Israel” di Suriah menunjukkan bahwa faktor regional sangat memengaruhi dinamika konflik ini.
Tampaknya, Presiden Asy-Syaraa berusaha mengambil pelajaran dari pengalaman rezim sebelumnya dalam bersikap pragmatis terhadap “Israel”. Meski Bashar al-Assad hingga tahun 2011 tetap mempertahankan kebijakan ayahnya, Hafez al-Assad, dalam menjaga ketenangan di perbatasan dengan “Israel” demi kelangsungan kekuasaannya, keputusannya untuk membiarkan Iran menggunakan Suriah sebagai basis perang bayangan dengan “Israel” setelah pecahnya revolusi justru menambah masalah baru baginya.
Sejak menjabat, Asy-Syaraa berkomitmen untuk tidak menjadikan Suriah sebagai ancaman bagi negara-negara tetangganya, termasuk “Israel”. Namun, ketakutan “Israel” terhadap pemerintahan Islamis di Suriah bukanlah alasan utama di balik agresinya.
Sebaliknya, ada tiga faktor yang mendorong langkah-langkah “Israel”:
- Netanyahu melihat transisi Suriah sebagai peluang untuk menciptakan realitas keamanan baru di wilayah selatan Suriah.
- “Israel” berusaha melemahkan negara Suriah yang baru dengan menghancurkan sisa-sisa aset militernya serta mencoba menciptakan perpecahan dengan komunitas Druze di selatan.
- “Israel” ingin memperkuat perannya sebagai kekuatan dominan dalam geopolitik regional.
Sejak perang 7 Oktober, kebijakan ekspansionis “Israel” semakin nyata, didukung oleh ketegangan geopolitik dengan Turki di Suriah dan pemerintahan AS yang lebih sejalan dengan pendekatan agresif “Israel”. Faktor-faktor ini membentuk strategi realistis Asy-Syaraa dalam menghadapi ancaman tersebut.
Pendekatan Asy-Syaraa berfokus pada empat jalur utama:
- Menghindari konfrontasi militer langsung dengan “Israel” yang hanya akan membawa dampak buruk bagi Suriah, menghambat proses transisi, dan mengancam stabilitas pemerintahannya.
- Mempersempit ruang gerak “Israel” dengan mengintegrasikan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) ke dalam negara baru, menindak tegas upaya menggulingkan pemerintahan setelah insiden di pesisir, serta membuka dialog dengan komunitas Druze di selatan agar mereka menjauh dari “Israel”.
- Menunjukkan komitmen terhadap diplomasi dan hukum internasional dalam menghadapi tantangan dari “Israel”, karena pendekatan ini sejalan dengan kebijakan berbagai aktor regional dan internasional.
- Mengandalkan diplomasi regional dan keterbukaan terhadap negara-negara Barat guna menekan “Israel” agar menghentikan agresinya terhadap Suriah.
Prioritas utama Asy-Syaraa adalah memperluas hubungan dengan Barat, terutama Amerika Serikat, serta menghapus hambatan akibat sanksi ekonomi. Ia menyadari bahwa AS memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan “Israel” di Suriah. Oleh karena itu, ia percaya bahwa menghindari eskalasi dengan “Israel” dapat membantu dua hal: pertama, mendorong pemerintahan Presiden Donald Trump untuk menekan Netanyahu agar mengurangi agresinya, dan kedua, menunjukkan pentingnya stabilitas pemerintahan baru Suriah guna menghindari eskalasi konflik yang lebih berbahaya.
Di sisi lain, penguatan kemitraan strategis dengan Turki, terutama dalam bidang pertahanan, juga menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan oleh Asy-Syaraa dalam menghadapi ancaman “Israel”. Namun, opsi ini juga memiliki risiko karena dapat semakin menyeret Suriah ke dalam konflik geopolitik antara Turki dan “Israel”. Oleh karena itu, hingga kini, Asy-Syaraa masih berhati-hati dalam mempertimbangkan perjanjian pertahanan bersama dengan Ankara. Namun, jika agresi “Israel” meningkat hingga menjadi ancaman yang lebih serius bagi stabilitas Suriah, maka opsi ini mungkin menjadi langkah yang tak terhindarkan.
Meskipun pendekatan ini mungkin tidak sepenuhnya mencapai tujuan dalam waktu dekat, dari sudut pandang Asy-Syaraa, strategi ini setidaknya dapat mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh agresi “Israel” terhadap Suriah yang baru. Selain itu, langkah-langkah ini juga memperluas ruang gerak Asy-Syaraa dalam kebijakan luar negeri, terutama dalam mencari dukungan regional dan internasional untuk menghadapi manuver “Israel”.
Diplomasi melalui jalur belakang yang dilakukan oleh dua pendukung utama Asy-Syaraa di kawasan dapat memainkan peran penting dalam memengaruhi kebijakan Presiden Donald Trump terhadap “Israel” di Suriah. Selain itu, dengan menunjukkan komitmen terhadap pengelolaan transisi politik yang sejalan dengan pandangan Barat, Asy-Syaraa dapat memperkuat citranya di mata dunia sebagai pemimpin yang mampu menjaga stabilitas internal Suriah serta mengelola konflik dengan “Israel” secara terkendali dan minim risiko.
_______
Artikel ini merupakan terjemahan dari tulisan berjudul “4 مسارات رئيسية يتخذها الشرع لوقف عدوانية إسرائيل” (4 Masarāt Ra’īsiyyah Yattakhidhuhā Asy-Syaraa Liwaqfi ‘Udwāniyyati ‘Isrā’īl) yang diterbitkan di Al Jazeera Net dengan judul terjemahan: “Strategi Asy-Syaraa dalam Menghadapi Agresi ‘Israel’ terhadap Suriah.”
(Samirmusa/arrahmah.id)