Oleh : Eva Rahmawati
(Aktivis Muslimah)
(Arrahmah.com) – Kasus penghinaan Nabi Muhammad Saw kembali terjadi di Prancis. Atas nama kebebasan, seorang guru sejarah Samuel Paty mengajar sambil menunjukkan gambar Nabi Muhammad Saw.
Gambar kartun dan karikatur tersebut dari majalah Prancis, Charlie Hebdo terbitan tahun 2015.
Sejumlah orang tua pelajar lantas protes terhadap Paty. Sebab Nabi Muhammad Saw adalah figur sakral dan tidak bisa digambarkan dengan karikatur. Paty akhirnya terbunuh. Pelakunya adalah seorang remaja asal Chechnya berusia 18 tahun. Dia ditembak mati polisi tak lama setelah kejadian.
Dalam peringatan Rabu malam di Paris (21/20), Presiden Emmanuel Macron memuji Paty sebagai “pahlawan diam” dan “wajah republik”. Macron memberikan penghargaan paling tinggi negara. Legion d’honneur, kepada keluarga Paty.
“Dia dibunuh karena jiwa Republik tertanam padanya. Ia dibunuh karena kelompok Islamis menginginkan masa depan kita. Mereka tahu, dengan adanya pahlawan-pahlawan yang bergerak secara diam-diam seperti ini, upaya mereka tak akan pernah berhasil,” kata Macron. (BBC.com, 17/10/20).
Usai kejadian tersebut pernyataan-pernyataan kontroversi Macron menyeruak ke publik. Macron mengatakan tak akan melarang pencetakan karikatur Nabi Muhammad Saw. Menurut Macron hal itu merupakan bagian kebebasan dalam berekspresi. Selain itu, Macron juga menyebut Islam sebagai teroris, setelah adanya pemenggalan seorang guru sejarah di Paris.
Sikap Macron tersebut sangat melukai kaum Muslim. Tak ayal, Macron mendapat protes keras. Kecaman datang dari pemimpin negeri-negeri Muslim dan umat Islam se-dunia. Hingga muncul aksi boikot produk-produk Prancis. Sebagai wujud penolakan terhadap keangkuhan dan kesombongan Prancis yang tetap memuji sikap mereka yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
Padahal, Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menyatakan penghinaan dan pelecehan terhadap Nabi Muhammad Saw bukanlah kebebasan berekspresi. Menurut Perwakilan Tinggi PBB untuk Aliansi Peradaban, Miguel Angel Moratinos, penghinaan terhadap agama dan simbol-simbol suci agama dapat memicu kebencian dan serangan ekstremisme yang mengarah pada polarisasi dan fragmentasi masyarakat.
Kebebasan berekspresi kata dia, harusnya dilakukan dengan cara yang sepenuhnya menghormati keyakinan agama dan prinsip semua agama. “Tindakan kekerasan tidak dapat dan tidak boleh dikaitkan dengan agama, kebangsaan, peradaban, atau kelompok etnis apapun” ucapnya. (Republika.co.id, 29/10/20).
Kebebasan Ekspresi sama dengan Kebebasan Menghina Islam
Kebebasan yang didengungkan Barat, nyatanya hanya untuk menghina Islam. Mereka dengan mudahnya melontarkan ujaran kebencian dan memperlihatkan sikap kedengkian terhadap Islam. Bukan hanya verbal, kekerasan fisik pun kerap kali dialami kaum Muslim.
Barat menuduh Islam sebagai teroris. Akan tetapi mereka menutup mata bahwa korban dari kekejian dan kebengisan adalah umat Islam. Lihatlah Muslim di Palestina, Rohingya, Uighur, dan lain-lain, kondisi mereka terusir dan tersiksa baik psikis maupun fisik. Bahkan dengan sadis kaum Kufar, menumpahkan darah orang-orang tak berdosa.
Menjamin kebebasan, tapi bukan untuk Islam. Buktinya ketika kaum Muslim menjalankan perintah agamanya, seperti menutup aurat, bercadar ditentang keras. Bahkan otoritas setempat memberlakukan larangan Muslimah mengenakan cadar di semua ruang publik. Jika kedapatan mengenakan cadar, maka akan dikenai denda jutaan atau dipenjara beberapa hari.
Standar ganda kebebasan beragama yang diterapkan Barat, yang terus menerus memarginalkan Muslim sebagai minoritas di Barat. Bukti demokrasi tak mampu menjamin kebebasan beragama setiap individu. Slogan kebebasan hanya sebagai pemanis, faktanya tak benar-benar direalisasikan khususnya kepada umat Islam.
Sungguh, kebencian Barat terhadap Islam tampaknya sulit dihapus dalam pemikiran mereka. Islamofhobia akut telah menjangkiti mereka. Tanpa mau peduli dan mengenal Islam yang sebenarnya, yang penuh dengan rahmat.
Boikot Produk tak Ampuh, Boikot Liberalisme Sekularisme
Aksi boikot produk bagi negara yang menghina Nabi Muhammad Saw, tak mampu menghentikan aksi-aksi serupa. Bentuk kecaman yang disampaikan pemimpin negeri-negeri Muslim nyatanya tak membuat ciut nyali. Penghinaan terhadap simbol-simbol Islam terus terjadi, baik pelakunya individu, kelompok atau negara.
Berbeda kondisinya, tatkala kaum Muslim di bawah naungan Khilafah. Sejatinya, seorang pemimpin (khalifah) wajib menjaga kemuliaan Allah Swt, Rasulullah Saw dan simbol-simbol Islam lainnya. Khalifah tidak akan tinggal diam, jika ada yang menghina simbol-simbol Islam.
Menurut al-Qadhi Iyadh rahimahullah, hukuman bagi orang yang menista atau menghina Nabi Muhammad Saw adalah dengan membunuhnya. Maka, jika pelakunya adalah individu, negara akan menetapkan baginya uqubat (sanksi) berupa ta’zir. Karena pelanggaran yang dia lakukan berhubungan dengan agama.
Sanksi ta’zir yang akan dia dapatkan berupa hukuman mati. Jika pelakunya Muslim maka hukuman mati tanpa diterima taubatnya. Adapun jika pelakunya negara seperti Prancis saat ini, khalifah tidak segan-segan untuk menyerukan pasukannya untuk berjihad melawan negara tersebut.
Hal ini pernah dilakukan pada masa Kekhilafahan Utsmaniyyah, di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II (1876-1918). Pada saat itu, Perancis merancang drama teater yang diambil dari karya Voltaire (seorang pemikir Eropa) yang menghina Nabi Muhammad Saw. Drama itu bertajuk “Muhammad atau kefanatikan”. Drama teater yang sudah dipersiapkan, akhirnya dibatalkan. Mengingat “gertakan” dari Khalifah Abdul Hamid II.
Inilah kekuatan dan kewibawaan khilafah yang membuat Barat tidak berani menghina Nabi Muhammad Saw. Maka, solusi hakiki menghentikan penghinaan terhadap simbol-simbol Islam hanya dengan memboikot produk kapitalisme yakni liberalisme sekularisme. Tegakkan kembali syariah kaffah.
Wallahu a’lam bishshowab.
(*/arrahmah.com)