Oleh : Henny Ummu Ghiyas Faris
(Arrahmah.com) – Entah apa yang ada dalam pikiran para pelaku kejahatan sampai dengan teganya menganiaya bahkan membunuh. Tayangan layar kaca maupun berita di media massa sungguh membuat ngeri dengan kasus-kasus kejahatan seksual yang berakhir tragis dengan melayangnya nyawa korban. Terlebih korban adalah perempuan (anak-anak maupun dewasa) ..yaa perempuan seringkali dijadikan objek dengan memuaskan niat bejat para pelaku kejahatan.
Seperti dikutip dari tempo.co (09/05/2016) seorang pelajar putri sekolah menengah pertama di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, berusia 14 tahun, menjadi korban pemerkosaan tukang ojek, 8 Mei 2016. Sebelumnya, muncul dua tragedi; Yuyun, siswi sekolah menengah pertama di Bengkulu, diperkosa ramai-ramai, lalu dibunuh pada 2 April 2016. Empat pekan berselang, Mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Feby Kurnia Nuraisyah Siregar, dibunuh di toilet kampus oleh seorang petugas kebersihan pada 28 April 2016 pagi. Bahkan yang teranyar adalah kejadian tragis dialami Eno Parihah (13/5) sekitar pukul 08.45 WIB, buruh pabrik plastik, tewas dengan kondisi mengenaskan di messnya di Jatimulya, Kosambi, Dadap, Kabupaten Tangerang. Gadis asal Serang, Banten itu tewas akibat kekerasan cangkul. (detik.com, 15/05/2016)
Kejadian-kejadian tersebut terjadi dengan rentang waktu yang berturut-turut, sungguh membuat hati kita semakin pilu rasanya sudah tidak ada lagi rasa aman bagi perempuan. Kejahatan mengintai di mana pun, tak peduli anak remaja ataupun dewasa. Pertanyaannya mengapa kejahatan seksual ini terus terjadi ?
Perpu Kebiri Solusikah ?
Kasus kejahatan seksual ini ditengarai banyak faktor pemicunya. Lemahnya akidah, kepadatan penduduk, kemiskinan, rendahnya pendidikan, kurangnya perhatian orangtua kepada anak, adalah suatu kondisi yang tidak berdiri sendiri.
Kejahatan seksual ini harus segera diatasi, jangan ada anggapan kejahatan ini adalah kejahatan biasa dan penyelesaiannya pun dengan setengah hati. Berbagai tragedi kejahatan seksual yang beruntun telah membuktikan pada kita bahwa kondisi ini darurat kejahatan seksual pada perempuan dan anak. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak pun memperlihatkan kekerasan terhadap anak kian merebak. Pada 2015, misalnya, Komnas PA menerima 2.898 laporan, 62% di antaranya kejahatan seksual, atau meningkat ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 2.737 kasus. Diyakini, kejadian di lapangan lebih banyak lagi.
Jika hukuman kebiri kimiawi yang direncanakan oleh pemerintah diharapkan menyelesaikan masalah kejahatan seksual, sampai hari ini masih menuai kontroversi. Ada kalangan menganggap bahwa hukuman kebiri kimiawi dinilai akan berdampak buruk di masa depan. Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel mengatakan hukuman kebiri kimiawi tidak akan membuat para pelaku jera. Menurut dia, ada kekeliruan asumsi yang melatari rencana tersebut. Kejahatan seksual berarti perilaku seksual dipercaya niscaya dilatari motif seksual. (nasional.republika.co.id, 12/05/2016).
Pertanyaannya apakah hukuman kebiri akan menyelesaikan masalah ? Alih-alih menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru, pasalnya hukuman kebiri kimiawi menggunakan metode suntik, predator juga harus diinjeksi secara berkala. Tentu saja hal ini merepotkan dan memerlukan anggaran yang harus dialokasikan lagi untuk merawat para pelaku kejahatan seksual . Yang perlu diingat adalah suntik hormonal untuk mematikan nafsu seksual predator jangan dianggap akan bebas dari efek samping fisik maupun psikis. Ketika efek samping itu muncul dan pelaku tersebut merasa perlu berobat, ia akan mengunjungi puskesmas ataupun dokter di rumah sakit. Bagaimana jika sumber pembiayaan pelaku berasal dari kartu Indonesia sehat (KIS) ? apakah rela KIS ini dipakai oleh para pelaku kejahatan seksual ini ?
Buah Sistem
Kondisi darurat kejahatan seksual ini adalah fenomena yang harus segera dicari solusi tuntasnya. Fenomena ini jelas bukan merupakan fenomena tunggal, sehingga diselesaikan hanya dengan menindak pelaku kejahatannya, tanpa memperhatikan faktor lain yang menjadi akar masalahnya. Namun, fenomena ini merupakan dampak dari sistem kehidupan yang diterapkan saat ini. Sistem Kapitalisme, dengan azas manfaatnya (naf’iyyah), telah melahirkan kebebasan bertingkah laku (hurriyyah syakhshiyyah), kebebasan berekspresi (hurriyah ta’bîr), kebebasan beragama (hurriyah tadayyun), kebebasan memiliki (huriyyah tamalluk) di tengah-tengah masyarakat. Inilah sistem yang paling bertanggungjawab terhadap lahir dan berkembangnya fenomena saat ini yang telah mengakibatkan berbagai malapetaka global.
Jika penanganan hanya setengah hati tentu masalah-masalah ini akan kembali terjadi, yang harus dilakukan adalah menutup pintu pemicunya. Lemahnya perhatian negara dalam melindungi individu dari konten pornografi yang membahayakan. Perkembangan internet dewasa ini membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan mudah, murah, dan cepat, tak terkecuali anak-anak. Canggihnya dunia digital sekarang, setiap alat teknologi yang dibuat akan memiliki dua akibat yaitu baik dan buruk. Tidak hanya pornografi tapi miras dan narkoba juga merupakan hal yang tidak kalah berbahayanya.
Berbeda halnya dengan sistem sekuler kapitalis, Islam yang menjadikan aqidah Islam sebagai asas, wahyu Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa sebagai pijakannya. Islam memiliki aturan untuk seluruh aspek kehidupan yang sangat detail dan sempurna. Dalam sistem Islam negara bertanggungjawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh dalam mengatur seluruh urusan umat, sehingga umat mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh. Dan ini semua hanya akan bisa diterapkan dan dilaksanakan jika aturan Islam diterapkan secara keseluruhan dalam sebuah institusi negara, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah, yang menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai pijakannya.
Negara juga akan mencegah masuknya segala hal yang berpotensi melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim ke dalam negeri. seperti misalnya peredaran pornografi, miras, narkoba dan sebagainya. Dengan ketakwaan individu (senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan), kontrol masyarakat dan peran negara (senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar), maka umat manusia akan tercegah dari perbuatan maksiat, termasuk pelecehan dan kejahatan.
Di samping itu, negara sebagai pelaksana utama diterapkannya Syari’at Islam, berwenang untuk memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku tindak kejahatan. Negara akan menerapkan aturan sosial yang bersih sekaligus melakukan internalisasi pemahaman melalui aktivitas dakwah dan pendidikan, sehingga setiap anggota masyarakat memahami tujuan hidup dan makna kebahagiaan hakiki, dan pada akhirnya akan menghindarkan rakyatnya melakukan berbagai tindakan kemaksiatan, termasuk kejahatan seksual. Waallahu a’lam bish-Shawaab.
(*/arrahmah.com)