Oleh Lilis Holisah,
Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten
(Arrahmah.com) – Ibu, siapapun mengetahui bahwa ibu adalah sosok yang sangat berjasa dalam kehidupan seorang anak. Ibu adalah pendidik pertama dan utama, ia adalah sekolah pertama yang menjadi tempat bagi anak untuk belajar segala hal. Kehadiran sosok ibu laksana hujan di musim kemarau, menyejukkan dan ‘menghidupkan’.
Namun, ditengah gurita kapitalisme saat ini, sosok ibu tergerus oleh roda industri kapitalisme yang kian menyesakkan. Betapa tidak, biaya hidup yang sangat tinggi akibat kebijakan rezim neolib membuat kehidupan para ibu dan anak semakin sulit.
Belum lama ini pemerintahan Jokowi mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM yang berimbas pada kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok. Kalangan yang dulu menaruh harapan pada Jokowi, kini menuai kekecewaan. Nasib rakyat banyak semakin buruk karena tak mampu memenuhi kebutuhannya disebabkan daya beli rakyat yang rendah.
Meski pada Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi banyak bertabur menteri perempuan, Jokowi tidak berarti lebih memperhatikan nasib kaum perempuan. Ternyata banyaknya menteri perempuan tidak menjadikan nasib kaum perempuan dan anak-anak menjadi lebih baik. Kebijakan tersebut sesungguhnya merupakan mandat dari United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) pada tahun 1990 dan ditegaskan kembali dalam Beijing Platform for Action (BPFA) pada tahun 1995. Indonesia dianggap belum optimal dalam melakukan feminisasi pejabat publik. Pemerintah kemudian melakukan optimalisasi dalam melakukan feminisasi pejabat publik karena dipaksa harus menerapkan mandat tersebut. Meski sesungguhnya tidak ada korelasi nyata antara keterwakilan perempuan dalam jabatan publik dengan kesejahteraan perempuan dan anak-anak. Buktinya, saat ini nasib kaum perempuan dan anak-anak masih mengenaskan.
Rezim Neolib
Nasib kaum perempuan dan anak-anak sepertinya tidak akan keluar dari ‘lingkaran setan’ kemiskinan dan kebodohan selama tidak ada perubahan rezim dan sistem. Pemerintahan yang saat ini berkuasa adalah pemerintahan liberal yang ciri khasnya adalah menyerahkan pengaturan urusan rakyat kepada swasta, menyerahkan pengelolaan sumber daya alamnya kepada swasta atau paling minim bekerjasama dengan swasta. Good Governance dan Good Government menjadi dalih pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap pengurusan urusan rakyat, pemerintah harus menyerahkan tugas pelayanan urusan rakyat kepada lembaga profesional atau bekerja sama dengan lembaga profesional. Seperti layanan prima yang dicanangkan Jokowi sesungguhnya adalah kerja sama bisnis perusahaan swasta profesional dengan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan hidup masyarakat, bukan layanan mandiri dari pemerintah. Alhasil, segala ketentuan produksi dan distribusi hajat hidup orang banyak ditentukan oleh direksi perusahaan yang sarat dengan profit oriented. Hal ini bisa terlihat dari melambungnya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat.
Agar daya beli rakyat, khususnya perempuan meningkat, perempuan sengaja digiring untuk berkiprah di ranah publik (bekerja), sehingga perempuan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, keluarganya bahkan bisa berkontribusi dalam pembangunan ekonomi bangsa. Perempuan dituntut mandiri secara finansial dan ekonomi dengan memasuki dunia kerja. Mereka terus didorong atas nama pemberdayaan perempuan. Namun di tengah arus pasar bebas yang gencar dipropagandakan, kiprah kaum perempuan sepertinya tidak berarti banyak karena harus berhadap-hadapan dengan produksi perusahaan raksasa yang juga menyerbu Indonesia, karena barang dan industri strategis yang menjadi hajat hidup orang banyak, saat ini tidak lagi dikelola pemerintah, tetapi oleh swasta. Rakyat pun hanya bisa bergerak di sektor hilir yang tidak strategis, semisal kuliner dan kerajinan tangan.
Fungsi negara yang telah mati
Peran dan fungsi negara sesungguhnya adalah pelayan dan pelindung rakyat. Namun peran dan fungsi negara saat ini bisa dikatakan telah mati, karena semua pelayanan tidak lagi berada di tangan negara tetapi diserahkan sepenuhnya kepada swasta atau minimal bekerja sama dengan swasta. Undang-undang banyak diintervensi asing, produksi dan distribusi barang dan jasa untuk publik diserahkan kepada perusahaan swasta yang mayoritasnya adalah asing, tata kelola SDA bercorak korporasi yang profit oriented. Alhasil kesejahteraan rakyat tinggal ilusi.
Fakta yang terindera saat ini adalah ketika negara menyerahkan pengurusan/pelayanan kesehatan bagi rakyat kepada BPJS yang notabene adalah perusahan asuransi kesehatan. Ketika pelayanan kesehatan rakyat diserahkan kepada perusahaan asuransi, maka rakyat harus membayar kesehatan dengan harga yang kadang tidak terjangkau, yang pada akhirnya rakyat tidak mampu mengakses layanan kesehatan, lagi-lagi rakyat menjadi korban. Padahal seharusnya negara melakukan pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas terbaik bagi rakyat.
Atas desakan lembaga moneter dunia, negara akhirnya mencabut berbagai subsidi untuk rakyat. Sebut saja misalnya subsidi BBM, elpiji, listrik, pendidikan, kesehatan, dll. Inilah ciri rezim neolib yang menyengsarakan. Rakyat harus menguras tenaga, keringat darah dan air mata untuk bisa tetap bertahan hidup.
Dalam kondisi keterpurukan seperti ini, perempuan dianggap potensial untuk diberdayakan secara ekonomi. Pemberdayaan perempuan yang gencar disosialisasikan sejatinya adalah bentuk eksploitasi perempuan. Karena sesungguhnya perempuan bukanlah tulang punggung keluarga, mereka tidak ada kewajiban untuk mencari nafkah. Pemaksaan terhadap perempuan untuk bekerja adalah sebuah perampasan hak perempuan untuk mendapatkan nafkah serta merupakan bentuk pelalaian peran utama sebagai ibu, isteri dan pengatur rumah tangga. Hal ini akan berdampak pada lahirnya berbagai permasalahan keluarga seperti perceraian, anak yang broken home yang akhirnya melakukan pelarian kepada narkoba, seks bebas, atau tawuran.
Stop derita ibu dan anak
Islam memiliki aturan lengkap untuk melindungi dan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Negara pun akan optimal dalam melakukan peran dan fungsinya ketika semuanya disandarkan hanya pada aturan Islam. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat terutama perempuan dan anak akan segera berakhir ketika Islam diterapkan sebagai sebuah sistem kehidupan. Penerapan Syariah Islam dalam bidang politik dan ekonomi memastikan Negara akan mengelola semua harta rakyat (air, hutan, barang tambang dan energi) untuk kesejahteraan rakyat sepenuhnya.
Islam telah menetapkan bahwa perempuan adalah ibu dan pengatur rumah tangga, dan perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Islam pun telah menetapkan bahwa untuk menjaga kehormatan perempuan, mereka tidak dibebankan kewajiban untuk mencari nafkah. Negara harus memastikan para suami dan ayah mencukupi kebutuhan isteri dan anak-anaknya dengan layak. Hal ini hanya bisa terwujud dalam negara Khilafah Islam yang menerapkan seluruh aturan Islam dalam kehidupan.
Untuk itulah, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyelenggarakan Kongres Ibu Nusantara ke-2 (KIN 2) diberbagai kota di Indonesia untuk melakukan proses pencerdasan di tengah-tengah umat akan matinya fungsi negara yang telah menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan. KIN 2 ini diselenggarakan di 50 kota seluruh indonesia antara lain Jakarta, Surabaya, Bandung, Banjarmasin, Balikpapan, Bima, Banda Aceh, Bengkulu, Semarang, Malang, Padang, Batam, Palembang, Makasar, Kendari, Pekanbaru, dan lain-lain. Kongres ini dilaksanakan sejak tgl 14,16,19,20 dan 21 Desember 2014, dengan mengangkat tema : DERITA IBU DAN ANAK KARENA MATINYA FUNGSI NEGARA DALAM SISTEM NEOLIB. Puluhan ribu perempuan dari berbagai kalangan yang peduli pada nasib ibu dan anak serta ingin melakukan perubahan hadir dalam kongres ini. Wa Allahu ‘alam.
(*/arrahmah.com)