(Arrahmah.com) – Umat Islam saat ini hidup dalam kondisi paling lemah dan mengalami perpecahan. Umat-umat lain memperebutkan kaum Muslim seperti segerombolan semut yang memperebutkan remah-remah roti tak berbentuk. Musuh-musuh Islam telah mendominasi kaum Muslim; memaksakan kehendak dan keinginannya; mereka menggiringnya bagai menggiring binatang ternak menuju kehancurannya, sedangkan di sisi lain umat Islam bersikap pasrah, lemah tak berdaya.
Tahun baru masehi pada zaman kita ini dirayakan dengan besar-besaran. Suara terompet dan tontonan kembang api hampir menghiasi seluruh penjuru dunia di barat dan di timurnya. Tidak berbeda negara yang mayoritas penduduknya kafir ataupun muslim. Padahal, perayaan tersebut identik dengan hari besar orang Nasrani. Selain itu, terdapat kepentingan politik dan ekonomi yang bermain dalam perayaan tahun baru, sehingga pemerintah enggan membuat aturan hukum yang melarang hura-hura di malam ini. Kepentingan ekonomi, adalah bagi kelompok Kapitalis yang akan meraup keuntungan luar biasa. Kepentingan bisnis yang mendorong masyarakat untuk membelanjakan uangnya sebanyak-banyaknya. Adapun kepentingan politik, yaitu membudayakan budaya hedonis dan sekuler untuk menjauhkan masyarakat dari ajaran agama . Dan selanjutnya, diharapkan ketika masyarakat sudah semakin sekuler maka mereka tak peduli lagi dengan syariat Islam. Mereka tak merasa butuh akan hukum Allah, inilah yang akan melanggengkan keberadaan sistem kapitalisme.
Diantara keyakinan batil yang ada pada malam tahun baru adalah siapa yang meneguk segelas anggur terakhir dari botol setelah tengah malam akan mendapatkan keberuntungan. Jika dia seorang bujangan, maka dia akan menjadi orang pertama menemukan jodoh dari antara rekan-rekannya yang ada di malam itu. Keyakinan lainnya, di antara bentuk kemalangan adalah masuk rumah pada malam tahun tanpa membawa hadiah, mencuci baju dan peralatan makan pada hari itu adalah tanda kesialan, membiarkan api menyala sepanjang malam tahun baru akan mendatangkan banyak keberuntungan, dan bentuk-bentuk khurafat lainnya.
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Secara historis, penentuan 1 Januari sebagai tahun baru, awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), lalu tahun 1582 diresmikan ulang pemimpin tertinggi Katolik, Paus Gregorius XIII, yang kemudian diadopsi hampir seluruh negara Eropa Barat Kristen sebelum mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752 (www.en.wikipedia.org; www.history.com).
Perayaan tahun baru Masehi di Barat dirayakan secara beragam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja, maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan, berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga, dan lain sebagainya (www.en.wikipedia.org).
Berdasarkan fakta di atas, sejatinya perayaan tahun baru masehi adalah bagian dari hadharah (peradaban) di luar Islam. Sehingga kaum muslim, sebagaimana penjelasan para ulama, dilarang ikut serta memeriahkannya. Dalil keharamannya ada 2 (dua); Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffâr fi a’yâdihim) (M. Shiddiq Al Jawi, 2013).
Namun faktanya, banyak dari kaum muslimin sendiri yang tumpah ruah ikut memeriahkan pergantian malam tahun baru Masehi. Berbagai atribut tahun baru seperti terompet, topi kerucut sanbenito, kembang api dan yang lainnya sudah menjadi kelaziman dan biasa dikenakan dengan tanpa beban. Dan ini dijadikan ladang bisnis yang menggiurkan. Momen pesta kembang api menjadi bisnis gurih beromset triliunan rupiah. Mirisnya lagi, pada malam pergantian tahun baru angka kemaksiatan melambung tinggi. Free sex, mabuk-mabukkan, dan aktivitas amoral lainnya menghiasi momen tahunan tersebut. Dan ini sudah menjadi rahasia umum.
Banyak dari kaum muslim sendiri yang meremehkan bahaya perusakan akidah umat. Ide-ide sekuler masih terasa manis di ujung lidah, padahal di pangkalnya tersembunyi racun yang mematikan. Umat masa bodoh, asalkan bisa happy.
Bagaimana mungkin umat muslim akan bangkit jika masih terus membebek budaya Barat dan tidak melek hadharah (peradaban) kufur. Maka benarlah sabda Rasulullah SAW “Sungguh kalian akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai jika mereka masuk ke dalam lubang biawak gurun tentu kalian akan mengikutinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Solusi yang tepat adalah dengan menyembuhkan masyarakat dari berbagai virus budaya jahiliyah. Falsafah hidup sekulerisme harus dicampakkan. Sekulerisme telah menjadikan umat Islam memisahkan agama dari kehidupan. Mereka menjalankan syariat Islam hanya pada wilayah yang sangat sempit. Yaitu ketika melakukan ibadah ritual seperti sholat, puasa, haji dsbnya,ataupun ketika melaksanakan sebagian kecil hukum syara dalam masalah akhlak, waris dan nikah. Sedangkan untuk aspek kehidupan lain seperti ekonomi, sosial, politik, dan yang lainnya, mereka tak mau tunduk dengan ajaran Islam. Termasuk dalam merayakan tahun baru ini.
Emma Lucya Fitrianty – Penulis Buku-Buku Islami (MHTI Bogor)
(*/arrahmah.com)