(Arrahmah.com) – Pakar hukum tata negara, Prof. Mahfud MD menyebar opini dengan narasi nyinyir yang, disadari atau tidak, bisa melukai banyak pihak.
Anggota BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) itu mengatakan: “….Tetapi kalau lihat sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan itu diidentifikasi tempat-tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap sebagai provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga…..”
Mahfud MD telah melakukan manipulasi fakta politik dengan label sejarah masa lalu, untuk menyudutkan para pemilih Paslon 02 Prabowo-Sandi. Dalam sejarah, istilah Islam garis keras berkonotasi negatif Sejumlah daerah yang diidentifikasi Mahfud sebagai basis ideologi Islam garis keras, fanatik seperti: DI Jabar, Sulawesi, Aceh, PRRI Sumbar. Sekalipun dengan bahasa euphemisme, Mahfud MD mengatakan, fanatik itu baik, orang yang tegas memegang prinsip. Tapi tidak akan bisa menutupi fakta sejarah, bahwa daerah korban stigma tersebut, oleh pemerintah RI dinyatakan sebagai basis ideologi pemberontak. Apakah Mahfud hendak mengatakan bahwa Prabowo didukung oleh masyarakat berbasis pemberontak, karena itu kemenangannya harus dijegal sekalipun dengan cara curang? Mahfud harus bisa membuktikan, benarkah Prabowo dipilih karena alasan agama? Sehingga menyarankan Jokowi rekonsiliasi dengan daerah dimana 02 menang mutlak?
Mahfud MD gagal sebagai hakim yang adil. Jika kemenangan Prabowo di daerah “Islam garis keras”. Lalu daerah dimana 01 menang, diidentifikasi sebagai daerah apa? Daerah Abangan, Kristen, basis PKI, atau apa?
Disinilah berbahayanya opini yang disebarkan Mahfud. Bersifat diskriminatif, dan tak ada manfaatnya untuk kepentingan rekonsiliasi. Pastaslah, daerah korban stigma, menuntut Mahfud supaya minta maaf dan mencabut pernyataan insinyuatifnya.
Jogjakarta, 30/4/2019
Irfan S. Awwas
(*/arrahmah.com)