Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur HRS Center)
(Arrahmah.com) – Kebijakan adaptasi perubahan pola hidup pada situasi Covid-19 (new normal) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan menimbulkan permasalahan serius. Penerapan new normal diawali dengan terbitnya Keputusan Kemenkes dan SE Kemenkes. Dilihat dari judulnya memang diperuntukan bagi perkantoran dan industri, sektor jasa dan perdagangan dalam mendukung keberlangsungan usaha. Seiring dengan itu pusat-pusat perbelanjaan (mall) telah mempersiapkan diri guna menyesuaikan dengan regulasi tersebut. Padahal belum ada pernyataan resmi tentang pencabutan PSBB. Di sisi lain, terdapat dualisme otoritas. Jika mengacu kepada maklumat status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, maka kewenangannya berada pada Kemenkes, namun jika mengacu status Bencana Nasional kewenangan itu ada pada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 selaku Kepala BNPB.
Seiring dengan itu, pemberitaan di media menunjukan bahwa new normal akan ditandai dengan pembukaan kembali mall-mall termasuk di Jakarta dan oleh karenanya dipertanyakan. Relevansi new normal terkait dengan pembukaan mall tidak logis dan tidak realistis. Di sisi lain, pelarangan ibadah di Masjid tetap diberlakukan dengan alasan terjadinya kerumunan orang. Bukankah mall adalah juga tempat berkerumunnya orang? Hal ini tentu sebagai bentuk ketidakadilan, sebab diberlakukan secara parsial.
Kebijakan new normal untuk pembukaan kembali pusat perbelanjaan mengabaikan tingkat penularan virus Corona yang masih terbilang tinggi. Data secara nasional per-tanggal 25 Mei 2020, menunjukan sebanyak 22.750 kasus positif. Sebanyak 1.391 orang telah meninggal dunia, sedangkan 5.642 orang lainnya sembuh. Khusus Jakarta, data per-tanggal 25 Mei 2020, menyebutkan total ODP sebanyak 27.281 orang dan PDP sebanyak 8.987 orang. Sebanyak 6.628 orang dinyatakan positif, sebanyak 2.044 orang masih dirawat (31%), yang masih menjalani isolasi mandiri sebanyak 2.430 orang (37%), jumlah yang sembuh sebanyak 1.648 orang (25%), adapun yang meninggal sebanyak 506 orang (7%). Data tersebut memperlihatkan bahwa ancaman virus Corona masih terus mencekam dan belum terjadi penurunan signifikan. Tidak dapat dipungkiri alasan guna kepentingan menggerakkan kembali perekonomian memang dapat dimaklumi, namun pertimbangan keselamatan jiwa masyarakat harus didahulukan.
Lebih lanjut, Presiden sendiri telah memaklumatkan status Bencana Nasional dan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Di sini telah terjadi inkonsistensi, telah terjadi kekacauan kerangka berpikir dalam regulasi penanggulangan pandemi Covid-19. Pada awalnya ditetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dengan Keppres Nomor 11/2020, kemudian diterbitkan status Bencana Nasional melalui Keppres Nomor 12/2020. Padahal, kedua Keppres tersebut memiliki ‘kandungan’ yang sebenarnya berbeda. Keppres Nomor 11/2020 keberlakuannya menunjuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Adapun Keppres Nomor 12/2020 lebih kepada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Implikasinya, terjadi ketidakjelasan pola penanggulangan, selain masalah dualisme otoritas.
Sepertinya, pemerintah memang lebih mengutamakan penyelamatan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari pendekatan kebijakannya, khususnya dengan diterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang kini telah disahkan oleh DPR menjadi undang-undang. Perppu dimaksud telah mendopleng Covid-19 dan menjadikannya sebatas etalase belaka. Terkait dengan hal ini, Keppres Nomor 12/2020 sebagai maklumat status Bencana Nasional memang diarahkan untuk penyelamatan ekonomi. Kepentingan pemulihan ekonomi dalam perspektif pascabencana menurut Undang-Undang Penanggulangan Bencana menjadi tepat jika dimaksudkan dengan kebijakan new normal, khususnya pembukaan kembali pusat perbelanjaan dimaksud. Tepat disini dalam kepentingan ekonomi, namun tidak demikian halnya dalam mengupayakan keselamatan jiwa masyarakat.
Presiden sebenarnya secara terselubung atau diam-diam telah mencabut dua status yang ditetapkannya sendiri. Dua status tersebut juga terhubung dengan pengesahan Perppu menjadi undang-undang dengan muatan kepentingan ekonomi dan oleh karenanya kebijakan new normal itu juga berkorespondensi.
Presiden ternyata tidak mampu bersikap konsekuen terhadap maklumat yang dikeluarkannya sendiri. Mencabut kedua maklumat adalah hal yang tidak mungkin, sebab Kedaruratan Kesehatan Masyarakat masih terus berlangsung. Begitu pun status Bencana Nasional juga tidak mungkin, sebab terkait dengan kepentingan pemulihan ekonomi. New normal, kiranya menjadi pilihan guna menyiasati posisi dilematis yang dihadapinya.
Bicara kemungkinan adalah bicara asumsi, tentunya harus didasarkan pada prinsip dan fakta yang terjadi. Ketika ditemui adanya dua kemudaratan, maka berdasarkan prinsip yang harus dipilih adalah mudarat yang paling ringan. Pertanyaannya, pembukaan kembali pusat-pusat perbelanjaan itu apakah dapat menjamin tidak adanya penularan? Selain itu, seberapa besar signifikansinya terhadap perekonomian? Dua pertanyaan pokok ini terkait dengan kepentingan mana yang hendak didahulukan, kepentingan keselamatan jiwa masyarakat atau kepentingan ekonomi?. Seharusnya, rumusan masalah inilah yang menjadi dasar kerangka berpikir guna pengambilan kebijakan pada masa awal penanggulangan pandemi Covid-19.
Sekarang ini rakyat hanya bisa mengatakan “terserah”.