BANDA ACEH (Arrahmah.com) – Publik di Aceh kembali tersentak menyusul laporan sebuah lembaga nonpemerintah (LSM) menyangkut data peningkatan kasus HIV/AIDS di provinsi berjuluk “Serambi Mekah” itu.
Yayasan Daulat Remaja (YDR), mengeluarkan angka kenaikan pengidap HIV/AIDS di Aceh, yakni 41 kasus pada tahun 2009 dan naik menjadi 61 kasus pada 2010.
Direktur YDR, Rizal Syahputra menyebutkan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di di daerah yang telah memberlakukan syariat Islam itu diduga akibat makin terbukanya sektor informasi dan transportasi.
Mayoritas penularan virus tersebut didominasi melalui hubungan seksual disusul penggunaan narkotika dan jarum suntik.
Ia mengatakan perlu partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat untuk mencegah menyebarnya virus yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, dan mengakibatkan kematian itu.
Sangat penting dilakukan upaya pencegahan sebab 1.000 orang setiap hari di seluruh dunia meninggal akibat mengidap HIV/AIDS, katanya.
Berdasarkan kajian lembaga-lembaga peduli HIV/AIDS, penyebab meningkatnya pengidap virus itu akibat maraknya penggunaan narkoba dengan jarum suntik dan penyimpangan seks.
Pemerintah Aceh diminta tidak menutup mata akan banyaknya permasalahan sosial yang timbul di masyarakat, sehingga setiap proses pembangunan tidak terfokus pada proyek fisik semata.
“Permasalahan sosial yang muncul saat ini sebagai gunung es adalah fenomena pekerja seks komersial (PSK), yang jumlahnya terus meningkat, dan dikhawatirkan menjadi penyebab naiknya jumlah pengidap HIV/AIDS” katanya.
Sekitar 60 persen PKS di Aceh adalah penduduk lokal. Para PSK itu beralasan `skill` yang rendah, kebutuhan ekonomi mendesak dan butuh pekerjaan cepat menghasilkan uang, dan pilihannya adalah menjadi PSK.
Sementara itu, aktivis PEMA Unsyiah, Ilhami mengatakan peringatan hari AIDS se-dunia harus dijadikan momentum untuk mengingatkan masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS.
Aceh yang berpenduduk sekitar 4,6 juta jiwa dan mayoritas muslim itu telah menerapkan Syariat Islam.
Sementara itu, seorang pengamat kesehatan Universitas Abulyatama Lampoh Keude Aceh Besar, HT Anjar Asmara, menyatakan tanpa adanya penerapan Syariat Islam maka kasus HIV/AID tersebut akan lebih banyak.
“Justru dengan adanya Syariat Islam maka kasus penyakit HIV/AIDS di Aceh bisa ditekan. Penerapan Syariat Islam telah mempersempit kegiatan seks bebas di Aceh, kalau tidak mungkin sama dengan daerah lain yang bebas,” katanya.
Oleh karena itu, ia menyarakan hukum Syariat Islam harus benar-benar ditegakkan oleh pemerintah dan elemen masyarakat lainnya.
Nyatakan Perang
Di pihak lain, HT Anjar Asmara yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Unaya itu juga mengimbau masyarakat dan Pemerintah Aceh harus bersatu menyatakan “perang” terhadap penyakit HIV/AIDS yang terus meningkat di provinsi itu.
“Salah satu cara untuk menekan kasus ini, paling tidak adalah tidak menambah lagi melalui komitmen bersama masyarakat dan pemerintah menyatakan `perang` terhadap HIV/AIDS,” katanya.
Artinya, kata dia, seluruh elemen masyarakat yang didukung pemerintah tidak memberi ruang dan celah adanya praktek-praktek bagi Pekerja Seks Komersial (PSK).
“Di Aceh memang tidak ada lokalisasi PSK, namun yang paling penting pemerintah dan masyarakat tidak memberi peluang atau celah berkembangnya praktik asusila tersebut, meski terkadang berkedok tempat hiburan atau rumah kecantikan (salon),” katanya.
Kendati demikian, Anjar Asmara yang juga mantan Kepala Dinas Kesehatan Aceh menilai para pengidap HIV/AIDS di Aceh itu sebagian besar tertular saat berada di luar provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.
“Sebagian besar kasusnya tertular saat pengidap bekerja di luar Aceh. Kalau di Aceh, saya menilai sulit karena ada sistem yang hingga kini masih menjadi benteng penularan HIV/AIDS yakni berlakunya Syariat Islam di daerah ini,” katanya menambahkan.
Pemerintah juga harus lebih gencar menyosialisasikan tentang penggunaan jaruk suntik oleh para mentri di desa-desa. Artinya, jangan sampai satu jarum suntik untuk banyak orang.
“Sosialisasi kepada para mantri (perawat) itu penting sebagai upaya mencegah penggunaan jarum suntik yang ternyata sebelumnya digunakan kepada pengidap, kemudian digunakan lagi kepada orang lain, dan akhirnya terjadi penyebaran virus,” kata Anjar Asmara
Sementara itu, kaum perempuan yang tergabung dalam Muslimah Hizbut Thahir Indonesia (MHTI) meminta semua pihak menutup setiap celah seks bebas, khususnya di Provinsi Aceh.
MHTI menyebutkan bahwa Islam mewajibkan terpisah kehidupan pria dan wanita serta melarang berkhalwat (berdua-duaan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya) atau berpacaran. Islam mendorong menikah sebagai cara pemenuhan naluri seksual.
Oleh karena itu, MHTI menegaskan tidak ada pilihan lain jika ingin selamat dari kehancuran selain kembali kepada sistem Islam, yakni menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam kehidupan individu dan bermasyarakat.
Namun, kalangan ulama juga mengimbau pemerintah memperhatikan kearifan lokal yang berlaku di sebuah daerah dalam menyosialisasikan pencegahan penyakit HIV/AIDS.
“Artinya, pemerintah tidak bisa menyamakan antara satu daerah dengan daerah lain yang berbeda adat dan budaya dalam sosialisasi pencegahan HIV/AIDS,” kata Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Aly.
Ia mencontohkan sebuah iklan anti HIV/AIDS di salah satu media televisi swasta nasional, yang dinilai tidak cocok bagi daerah yang mayoritas penduduknya muslim, seperti Aceh.
Dalam iklan itu dianjurkan agar orang menggunakan kondom sebagai upaya pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS. Iklan itu mungkin cocok untuk daerah lain, tapi bagi daerah yang menjalankan ayariat Islam seperti Aceh, jelas tidak sesuai, karena zina itu adalah haram,” katanya.
Jadi, Faisal Aly yang juga Ketua PWNU Aceh menilai iklan anti HIV/AIDS yang ditayangkan di media massa itu tidak cocok untuk Aceh yang menjalankan syariat Islam.
“Dalam pandangan Islam sudah jelas agar kita tidak boleh mendekati zina, karena itu adalah perbuatan haram,” katanya menegaskan.
Oleh karena itu, ia mengimbau Pemerintah untuk memperkuat pelaksanaan syariat Islam, khususnya di Aceh sebagai upaya mencegah orang-orang berbuat mungkar, termasuk di dalamnya berzina.
“Syariat Islam merupakan satu-satunya solusi pencegahan penyakit HIV/AIDS. Pemerintah harus serius menerapkan hukum syariat Islam kepada masyarakat khususnya di Aceh,” kata dia.
Menurut ulama Aceh itu, salah satu pintu dalam Islam untuk penyaluran seksual adalah nikah.
“Kalau menggunakan kondom, kemudian bukan dengan isteri yang sah (zina) ya tetap haram hukumnya. Itu harus dimengerti jangan sampai salah ditafsirkan oleh orang awam,” kata Faisal Ali.
Kendati demikian, fenomena penyakit HIV/AIDS yang setiap tahun penderitanya bertambah di Aceh jangan dinilai sepele, namun perlu kewaspadaan tinggi sebab penambahan tersebut sebagai status “awas” bagi kasus itu. (hid/arrahmah.com)