(Arrahmah.com) – “Sri Mulyani Ibaratkan Utang dengan Kartu Kredit” begitu judul sejumlah media pekan silam setelah Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) tampil di acara talkshow televisi swasta.
Menurut dia, bila pendapatan seseorang Rp10 juta, maka mintalah kartu kredit yang limit maksimalnya Rp1 juta. Kemudian, bila pendapatan mencapai Rp 25 juta, maka limit maksimal yang seharusnya diajukan adalah Rp 5 juta.
Mencermati pernyataan Menkeu yang seperti ini sungguh benar-benar membuat miris. Bagaiman mungkin Bendahara Negara bergelar doktor ekonomi mengibaratkan utang yang dibuatnya seperti kartu kredit? Tidakkah Ani, begitu dia biasa disapa, tahu bahwa bunga kartu kredit amat tinggi, yaitu 3% per bulan atau 36% per tahun?
Tamsil seperti ini agaknya menjelaskan kepada publik, mengapa saat dua kali menjadi Menkeu (era SBY Desember 2005-Mei 2010 dan kabinet Jokowi Juli 2016-sekarang) dia rajin membuat utang dengan bunga supermahal. Dalam dua periode itu, Ani memaksa Indonesia membayar bunga lebih tinggi ketimbang negara-negara yang punya rating lebih rendah.
Obligasi Indonesia di masa Sri adalah yang tertinggi dibandingkan 10 negara Asia Timur lainnya. Padahal, dari sisi pertumbuhan ekonomi Indonesia (5,04%%) adalah keempat tertinggi. Kita mengalahkan Malaysia (4,5%), Singapura (1,8%), Thailand (3,2%), Korsel (2,3%), Taiwan (1,4%), dan Hong Kong (1,9%).
Tapi, tetap saja SMI mengobral bunga supertinggi untuk obligasi bertenor 1 dan 10 tahun. Bunga kita yang 6,17% untuk setahun dan 7,08% untuk obligasi 10 tahunl. Bandingkan dengan Filipina (2,9% dan 5,4%), Vietnam (3,9% dan 5,76%), dan Thailand (1,57% dan 2,6%).
Jika dilihat selisih bunga itu sepertinya kecil, hanya 2-4%. Tapi dengan asumsi bertenor 10 tahun, nilai nominalnya sangat luar biasa. Angkanya berkisar Rp56 triliun lebih tinggi setiap tahun sejak 2016-2020. Kenapa sampai 2020? Karena sebagian besar utang berbunga supertinggi itu terjadi saat Ani menjadi Menkeu di era Presiden SBY, yaitu 2006-2010. Dalam periode itu, dia menjaring utang tidak kurang dari Rp476 triliun.
Akibatnya, APBN temehek-mehek membayar cicilan pokok dan bunga utang yang menjulang. Tahun ini saja, negara mengalokasikan anggaran Rp486 triliun untuk pembayaran utang. Dari jumlah itu, Rp221 triliun di antaranya hanya untuk membayar bunganya.
Satu lagi, bank penerbit kartu kredit biasa memberi batas pinjaman (limit) tiga kali pendapatan. Jadi, kalau gaji seseorang Rp10 juta, ya tidak bisa minta limit cuma Rp1 juta seperti dikatakan Ani. Bank bakal memberi limit yang bersangkutan Rp30 juta. Begitu juga kalau pendapatannya Rp25 juta, maka batas pinjamannya mencapai Rp75 juta. Begitu lho, bu menteri…
Oya, sekadar mengingatkan Menkeu, dalam sistem pembayaran kartu kredit dikenal istilah interest free period, atau periode bebas bunga. Maksudnya, nasabah akan dibebaskan dari bunga jika melakukan pembayaran penuh sebelum tanggal jatuh tempo pada tiap bulan.
Sebaliknya, bila nasbah terlambat melakukan pembayaran melewati tanggal jatuh tempo, maka akan dikenai bunga harian terhadap selisih hari pembukuan dan tagihan untuk setiap aktivitas. Misalnya, bu Menteri belanja dengan berutang Rp 1,5 juta. Sayangnya, karena kesibukan luar biasa mengurus keuangan negara, dia tidak sempat membayar tagihan sebelum jatuh tempo. Katakanlah, telat empat hari. Karena itu, Ani dikenai bunga 36% x 4 hari x Rp1.500.000 : 365 hari = atau Rp5.916. Jadi, dia harus membayar Rp1.505.916 saat melunasi pembayaran pada empat hari setelah jatuh tempo.
Siapa yang gratisan?
Tapi, sudahlah. Mana Ani paham dengan tetek-bengek kartu kredit semacam itu. Bukannya dia tidak punya kartu kredit. Saya yakin pasti punya. Tapi untuk apa kartu kredit untuk seorang menteri? Lha wong semua pengeluarannya dibiayai negara. Terbang dengan pesawat first class dibayar negara. Menginap di kamar presidential suite yang di Jakarta saja bertarif US$5.000-US$13.000 atau sekitar Rp65 juta hingga Rp170 juta/malam, juga dibayar negara. Padahal Menteri yang satu ini rajin melawat ke Eropa, Amerika, dan negara-negara maju lain yang pasti harga hotelnya jauh lebih mahal lagi.
Rumah tinggal, gratis karena milik negara. Termasuk biaya bulanan untuk listrik, telepon, kebutuhan dapur dan lainnya semuanya gratis tis tis. Mobil yang bagus dan mewah juga dibayar negara. BBM, parkir, tol, bahkan supir pun yang bayar negara. Kalau sakit, berobat atau dirawat, juga dibayari negara. Dengan nyaris semua pengeluaran menteri dibayar oleh negara, kartu kredit memang tidak diperlukan lagi. Kalau pun digunakan, lagi-lagi pasti yang melunasi tagihannya adalah negara.
Jadi, keliru besar saat Ani menuding rakyat Indonesia maunya gratisan karena APBN terus mensubsidi. Jangan lupa, rakyat tetap membayar listrik, membeli gas untuk memasak, membayar biaya kesehatan, dan lainnya. Jadi, ucapan Ani yang menuduh rakyat maunya serba gratisan bukan saja ngawur, tapi juga sangat menyakiti hati. Jauh lebih sakit daripada ada maling berteriak maling…
Sejatinya, perkara subsidi tidak semata-mata soal angka-angka di APBN. Ia adalah wujud keberpihakan negara kepada rakyatnya. Bukankah para pendiri bangsa ketika memerdekakan Indonesia dan membentuk suatu pemerintahan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa? Tujuan mulia inilah yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Lalu, bagaimana kita harus menilai seorang Menkeu yang sibuk memangkas berbagai anggaran, khususnya belanja sosial? Menkeu seperti apakah yang dengan kalap memalaki rakyatnya dengan berbagai pajak? Begitu kalapnya dia, hingga perlu menggandeng Polri untuk mendatangi rumah-rumah rakyatnya yang menunggak pajak kendaraan bermotor, bermaksud menurunkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) menjadi senilai upah minimum provinsi (UMP), dan nyaris mengenakan PPN untuk gula tebu rakyat?
Menkeu seperti apakah yang bernafsu mengintip Rp200 juta simpanan rakyatnya untuk diuber pajaknya? Menkeu bagaimanakah pula yang mengutamakan membayar utang dan tetap tidak mengurangi anggaran pembayaran utang, walau hanya serupiah pun? Bendahara Negara seperti apa yang terus menambah utang baru sehingga jumlahnya jadi amat menakutkan dengan dalih sumber daya alam (SDA) Indonesia berlimpah ruah? Tidakkah dia tahu, bahwa SDA kita saat ini mayoritas sudah dikuasai asing?
Pada akhirnya, kita bertanya, kepada siapakah sesungguhnya pengabdian sang Menkeu diberikan?
Menyenangkan asing
Puja-puji dan seabrek penghargaan yang diperolehnya dari dunia internasional, tidak lebih dari ‘balas jasa’ atas kemurahan hatinya mengguyur para bond holder dan kreditor dengan keuntungan supergede. Kumpulan investor inilah yang dalam mazhab neolib sering disebut sebagai “pasar”. Jadi, kalau mereka berkata Sri adalah Menkeu yang disukai pasar, artinya Menkeu kita disenangi investor alias para bond holder dan kreditor.
Penghargaan Menkeu Terbaik Asia diberikan harian ekonomi Emerging Markets pada 2008. Majalah Euromoney bahkan mengganjar SMI sebagai Menkeu Terbaik Dunia. Setiap tahun Emerging Markets memang selalu memberi penghargaan bertepatan dengan sidang tahunan IMF dan Bank Dunia. Responden yang menjadi sumber penilaiannya adalah para bankir, analis, dan investor.
Menurut Emerging Markets, salah satu alasan utama Sri dipilih sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia karena dia merupakan figur utama yang mendorong reputasi Indonesia sebagai outstanding borrower of the year untuk kawasan Asia. Tuh, kaaan…
Dilihat dari nara sumber yang jadi responden dan kriteria penilaian yang ditetapkan, Sri Mulyani menyandang Menkeu Terbaik Asia/Dunia karena bisa “menyenangkan” pasar. Bukan karena pertimbangan bagi perbaikan dan kemajuan ekonomi Indonesia.
Pujian dan penghargaan pasar tidak jatuh kepada Menkeu yang sukses membawa ekonomi negaranya terbang ke langit. China, misalnya, hanya dalam tempo 20 tahun telah menjadi raksasa ekonomi terdahsyat dengan jumlah cadangan devisa mencapai USD3,2 triliun. Tapi, tidak seorang pun Menkeu China yang meraih “anugrah” sebagai Menkeu terbaik Asia, apalagi dunia.
Begitu juga dengan para Menkeu yang berhasil membawa rakyat mereka menjadi sejahtera. Jepang, Korsel, atau Malaysia, misalnya. Bahkan, jangan pernah berharap penghargaan serupa akan jatuh kepada Menkeu Brasil, Venezuela atau Bolivia yang garang terhadap kepentingan kapitalisme global namun sukses mendongkrak kesejahteraan rakyatnya. Padahal, Brazil mampu mengerek perekonomiannya hanya dalam tempo delapan tahun!
Menyederhakanan utang negara sama dengan kartu kredit, sekali lagi menjadi bukti bahwa Ani memang hanya gemerlap media. Faktanya, kemampuan Ani dalam mengenali dan menyelesaikan masalah dengan tepat dan cepat, nyaris nihil. Terlebih lagi, berbagai persoalan keuangan negara itu justru merupakan buah dari konsep dan resep neolib yang secara ugal-ugalan diterapkannya di sini.
Dua kali menjadi Menkeu, apa prestasi Sri Mulyani bagi perekonomian negeri ini? Adakah kebijakannya yang berfungsi mendorong pertumbuhan, membuka lapangan kerja, mendongkrak daya beli/konsumsi, menurunkan angka kemiskinan, mendorong investasi dan pada akhirnya membaiknya kesejahteraan rakyat? Ada?
Yang ada justru sebaliknya. Dia mendisain APBN yang sarat dengan aroma neolib. Pajak terus digenjot, subsidi dipangkas hingga titik nol, utang baru yang lebih besar terus dibuat dan dialokasikan untuk membayar utang lama. Di negeri ini, kemiskinan terjadi bukan semata-mata karena rakyat malas, tapi lebih karena kebijiakan yang memiskinkan.
Ani menyamakan utang negara dengan kartu kredit. Ini juga yang menjelaskan, Sri Mulyani jadi Menkeu, Indonesia menjadi seperti karyawan dengan kartu kredit, ngos-ngosan. Negara sempoyongan…
Jakarta, 14 Agustus 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
(*/arrahmah.com)