SRI LANKA (Arrahmah.com) – Dalam serangkaian tweet, mantan anggota parlemen dan aktivis hak Muslim Ali Zahir Maulana mengatakan bahwa seorang bayi muslim berusia 20 hari yang meninggal di rumah sakit pemerintah dikremasi tanpa persetujuan orang tuanya.
Bayi tersebut didiagnosis sebagai penderita Covid-19 positif melalui tes antigen meskipun kedua orang tuanya dinyatakan negatif.
Sebagaimana dilansir Sri Lanka Brief (10/12/2020), Fahim, ayah si bayi malang, mengatakan bahwa anaknya dikremasi paksa pada Rabu (9/12). Saat tiba di rumah sakit pukul 10 malam hari Senin (7/12) malam, bayi tersebut menjalani tes antigen yang diindikasikan positif, sedangkan hasil dirinya dan istrinya negatif.
Fahim mendengar bahwa pemeriksaan antigen biasanya menghasilkan hasil positif palsu. Ia kemudian meminta kepada dokter untuk melakukan tes PCR pada anak tersebut. Dokter menolak dan menyuruh Fahim melakukannya sendiri.
Fahim adalah seorang sopir yang sudah hampir sebulan tinggal di area karantina Covid-19 dan tidak memiliki penghasilan. Namun, melalui berbagai bantuan sosial ia berhasil mendapatkan konfirmasi dari orang-orang yang bersedia membayar PCR tersebut.
Sambil menunggu laporan tes antigen dan mencoba menghubungi rumah sakit swasta untuk melakukan tes PCR pada bayi, dia disuruh keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumah, meninggalkan bayi di rumah sakit.
Setelah dia berada di rumah, pihak rumah sakit mengatakan bahwa bayinya dipindahkan ke MICU sekitar jam 3 pagi dan divonis meninggal pada pukul 05.30.
Fahim segera pergi ke rumah sakit untuk menandatangani beberapa dokumen. Fahim mengatakan dia hanya akan menandatangani jika dia bisa menguburkan bayinya dan jika tes PCR akan dilakukan.
Pejabat rumah sakit menolak untuk melepaskan jenazah bayi tersebut untuk dimakamkan dan meminta Fahim menandatangani dokumen tersebut. Ketika Fahim menolak, pejabat itu meminta dia menandatangani atau pergi.
Fahim yang putus asa dan berduka akhirnya memilih untuk pergi, meninggalkan tubuh putranya yang berusia 20 hari di rumah sakit.
Pada sore hari dia menerima beberapa telepon dari rumah sakit yang menuntut dia datang ke rumah sakit dan menandatangani dokumen.
Karena kesedihan, ia mengirim saudara iparnya, Rifkhan, untuk mencoba berbicara dengan pihak berwenang. Pihak berwenang tetap menentang Rifkhan, dan Rifkhan pergi dengan mengatakan dia tidak bisa menandatangani. Dia juga mencatat ada beberapa personel media yang berkeliaran di sekitar rumah sakit.
Sekitar pukul 15.30, Fahim menerima telepon lagi dari rumah sakit yang mengatakan bahwa mereka akan memindahkan jenazah bayinya untuk dikremasi ke Krematorium Borella.
Fahim bersama beberapa temannya pergi ke krematorium tetapi dia tidak bisa masuk karena dia tidak ingin melihat bayinya dibakar.
Teman-temannya mencoba untuk berbicara dengan pihak berwenang untuk terakhir kalinya, tetapi mereka menolak untuk mengalah dan terus mengkremasi bayi tersebut. (Hanoum/Arrahmah.com)