(Arrahmah.com) – Retorika spekulatif TGB Muhammad Zaenul Majdi, Gubernur NTB, menyusul sikap politiknya yang mendukung Jokowi berkuasa 2 periode, terdengar memesona.
“Keputusan ini saya ambil, melihat dan menilai pasca pemilukada serentak di beberapa daerah terjadi pembelahan antar umat luar biasa.
Wacana dan orasi yang dikembangkan semakin mengkhawatirkan. Ada yang mengutip ayat ayat perang, seakan pada 2019 nanti kita akan mengalami perang kurusetra, antara Pandawa dan Kurawa,” ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjut TGB :
“Setelah melalui pertimbangan yang berkaitan dengan kemaslahatan bangsa, umat dan akal sehat. Menurut saya, pantas, layak dan fair kalau kita beri kesempatan kepada Bapak Presiden Jokowi 2 periode.”
Spekulasi TGB ini merupakan produk akal sesat, karena bertentangan dengan fakta sejarah. Bahwa lamanya berkuasa bukan jaminan keberhasilan rezim penguasa menciptakan negara yang adil makmur, sejahtera rakyatnya maju negaranya.
Fakta sejarah membuktikan sebaliknya. Presiden Soekarno berkuasa selama 20 tahun (1945-1965). Hasilnya ideologi nasakom, dukungan pada PKI, sehingga banyak ulama dipenjara. Dukungan pada PKI yang kemudian jadi alasan MPRS memecatnya dari jabatan presiden. Soeharto berkuasa 32 tahun (1966-1998), lahir asas tunggal pancasila dan korupsi merajalela. Kemudian dia dilengserkan secara hina melalui demo rakyat. SBY berkuasa 2 periode, 10 tahun (2004-2014) apa hasilnya? Rakyat tetap miskin, utang menumpuk, korupsi kian menggurita. Bandingkan dengan PM M. Natsir, beliau menjabat hanya 6 bulan mampu mengintegrasikan NKRI. Begitu juga dengan Burhanudin Harahap, keduanya dari Masyumi, berkuasa hanya 8 bulan, mampu memperbaiki ekonomi dan keuangan bangsa Indonesia. Dan sukses melaksanakan pemilu pertama dengan jurdil dan paling bersih sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia.
Lalu, prestasi apa yang diraih secara fair selama kekuasaan Jokowi? Hutang negara hampir 5000T, harga bahan pokok terus naik, pekerja cina kian mendominasi, fondasi ekonomi, hukum parah. Kekayaan bangsa Indonesia dilego ke asing.
Politik belah bambu ala PKI terjadi dengan mengorbankan para kyai, ustadz, aktivis.
Jika alasannya lanjut 2 periode karena pembangunan infrastruktur, jalan tol. Komunis juga membangun, apalagi kapitalis lebih hebat lagi bangunan infrastrukturnya. Mengapa tidak jadi komunis atau kapitalis saja?
Ayat-ayat perang
Himbauan TGB untuk menghindari pecah dengan “tidak menggunakan ayat-ayat perang dalam Alqur’an, jelang Pilpres 2019, terkesan manipulatif”.
“Ayat-ayat perang dalam Alqur’an sangat tidak relevan, karena Indonesia penuh kedamaian,” katanya.
Sebagai Tuan Guru tentu paham. Bila seseorang melakukan korupsi, tidaklah fair bila agama dikorupsi juga. Ayat ayat perang dalam Alqur’an bersifat umum. Maka tidak boleh hanya melihat sababun nuzul ayat. Jika tinjauannya hanya dari sebab turunnya ayat, maka akan banyak ayat Qur’an yang diklaim tidak relevan dengan situasi dan kondisi politik. Misalnya, ayat tentang shalat: “Inna shalata tanha anil fakhsyai wal munkar, sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.”
Ketika mendengar ayat Qur’an ini, seorang tokoh PKI Soebandrio mengejek dan berkomentar ketus: “Katanya Shalat untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar. Saya tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar, karena itu saya tidak perlu mengerjakan shalat.”
Seorang TGB tidak perlulah mendukung kejahatan dan kezaliman dengan cara manipulasi larangan bawa bawa ayat perang. Logika sesat komunis tidak fair bila digunakan oleh seorang ulama TGB kan bukan Soebandrio.
Jogjakarta, 10/7/2018
Irfan S. Awwas
(*/arrahmah.com)