BANDAR SERI BEGAWAN (Arrahmah.com) – Sesi belajar one-on-one guru dan siswa yang berlawanan jenis tidak akan jatuh sebagai pelanggaran khalwat (berdekat-dekatannya pria dan wanita tanpa hubungan pernikahan).
“Sesi belajar tersebut tidak akan dianggap suatu pelanggaran berupa khalwat jika tidak ada kecurigaan terhadap tindakan tidak bermoral kedua belah pihak,” ujar Kepala Penasehat Hukum di Kejaksaan Agung , Hjh Zuraini Hj Sharbawi pada Sabtu (17/5/2014).
“Namun, jika guru dalam keraguan maka mereka disarankan untuk melakukan sesi les di area terbuka, untuk menghilangkan setiap penyebab kecurigaan,” tambahnya.
Hjh Zuraini menanggapi pertanyaan yang diajukan selama sosialisasi KUHP Syariah bagi sekitar 362 guru kontrak di bawah CfBT.
Menurut Pasal 196 dari KUHP Syari’ah, setiap Muslim yang melakukan khalwat adalah bersalah karena melakukan kejahatan dan harus bertanggung jawab dengan denda tidak melebihi $ 4.000, atau dipenjara untuk jangka waktu tidak melebihi satu tahun, atau keduanya. Hukuman yang sama berlaku untuk setiap orang non-Muslim dengan Muslim yang tertangkap melakukan khalwat.
Termasuk tindakan khalwat digambarkan sebagai hidup bersama, kumpul kebo, berdua-duaan di tempat tertutup atau memisahkan diri berduaan di tempat terbuka yang dapat menyebabkan kecurigaan bahwa mereka melakukan perbuatan tidak bermoral, antara seorang pria dan seorang wanita atau lebih yang bukan istri atau mahram, atau antara satu perempuan dan satu laki-laki atau lebih yang bukan suami atau mahram.
Sementara itu, pertanyaan lain yang dominan adalah tentang cosplay (kostum karakter dalam sebuah cerita), dan apakah itu akan dianggap suatu pelanggaran karena ada kasus di mana pemain sandiwara di sekolah diwajibkan untuk mengenakan kostum untuk mewakili karakter tertentu, dan kadang-kadang ini berarti mengenakan pakaian dari lawan jenis (berperan menjadi lawan jenis).
Hjh Zuraini menjawab bahwa hal itu tidak akan dianggap suatu pelanggaran, baik jika dilakukan di atas panggung atau dalam pertunjukan kebudayaan.
Ketika The Brunei Times, melakukan klarifikasi kepada panelis, Hjh Zuraini menyatakan bahwa cosplay tidak dianggap sebagai kejahatan, sebab tidak tercantum secara spesifik dalam buku KUHP Syari’ah yang berjudul, “Supplement to Government Gazzete: Part II”, tanpa disertai komentar lebih lanjut.
Panelis lainnya termasuk Kepala Istinbat Kantor Mufti Negara Dr Hj Japar Hj Mat Dain; Pejabat Senior Urusan Agama dan Kepala Departemen Penasehat Keluarga, Departemen Urusan Syariah Ustaz Hj Saharuddin Hj Petra; dan Hardiyatie Kahar dari Unit Yudisial Islam.
Pertemuan tersebut berlangsung Sabtu (17/5) di aula Sekolah Tinggi Perempuan Raja Isteri (STPRI). Acara ini diselenggarakan oleh Bagian Pendidikan Dasar dan Menengah di bawah Departemen Sekolah untuk CfBT dan guru kontrak. (adibahasan/arrahmah.com)