Oleh Rina Tresna Sari, S.Pd.I
Pendiidik Generasi Khoiru Ummah
Indonesia darurat DBD, pasalnya negara katulistiwa ini masuk ke dalam salah satu dari 30 negara endemik dengue dengan kasus tertinggi. Berdasarkan data Kemenkes RI hingga pekan ke-52 2023 telah mencatat 98.071 kasus dengan 764 kematian. Pada 2024, angkanya diprediksi akan makin tinggi. Oleh karena itu, kasus DBD ini harus menjadi perhatian bersama.
Masih data dari Kemenkes, dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan kasus DBD yang terjadi. Begitupun, kasus meninggal dunia akibat wabah penyakit ini angkanya semakin bertambah. Misalnya di Kalimantan Selatan, per 27 Januari 2024, sebanyak 1.062 orang terjangkit DBD dan 8 orang di antaranya meninggal dunia. Sebagian besar pasien yang dirawat adalah anak-anak usia 5-13 tahun. Dinkes Kalsel mengatakan bahwa Kasus DBD bulan ini meningkat signifikan dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun lalu. (Kompas, 1/2/2024)
Sebagaimana yang diketahui DBD merupakan salah satu penyakit yang berbahaya sebab tingkat kematiannya tinggi dan hingga kini belum ditemukan obatnya. Terlebih, sebagian besar yang terjangkiti adalah anak-anak. Adapun penyebab tingginya DBD dipicu oleh musim hujan yang membuat jentik nyamuk sangat mudah berkembang biak sebab banyak genangan air yang dibiarkan di sekitar permukiman, seperti talang air, ban bekas, kaleng, botol, sampah, dsb.
Walhasil, perilaku hidup suatu masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungannya menjadi faktor pemicu yang signifikan dalam terciptanya wabah DBD. Kesadaran akan adanya pencegahan harus dipahami sejak dini agar terwujud sistem kehidupan yang bersih dan sehat. Semua ini harus dilakukan terpadu oleh keluarga, masyarakat, dan negara.
Namun, jika kita telisik lebih jauh lagi. Upaya untuk menghentikan kasus DBD seperti ini terasa belum cukup efektif. Mengingat ia hanya bersifat pengendalian dari kasus yang terjadi. Bukan benar-benar memberantas. Padahal, bisa dikatakan kasus DBD ini adalah kasus yang berulang dan hampir tiap tahun menjadi sorotan. Tetapi, belum juga mendapatkan rumusan tepat dalam penyelesaian.
Jadi, perlu ada tinjauan lebih dalam lagi untuk mengatasinya. Yakni dengan memerhatikan faktor lain yang juga menjadi akar persoalan. Diantaranya faktor ekonomi, kualitas fasilitas kesehatan, juga sarana prasarana hidup sehat di lingkungan masyarakat, yang faktanya belum terlalu menjadi prioritas dalam periayahan.
Beginilah realita yang terjadi dalam masa kapitalisasi kehidupan. Masyarakat belum akan dijadikan sorotan, jika belum ada hal mendesak. Apalagi memang di sana tidak akan didapatkan keuntungan.
Tentu berbeda halnya jika Islam yang memimpin peradaban. Seorang pemimpin dalam Islam akan langsung turun tangan melalui para wali, untuk memberikan sebaik-baiknya pelayanan. Merata dilakukan di seluruh pelosok tanah air. Tak ada yang ketinggalan.
Begitupun dengan seluruh fasilitas dan infrastruktur, akan dibangun dengan kualitas terbaik. Juga difungsikan sesuai dengan kebutuhan dan kemanfaatan. Tanpa mengesampingkan kebersihan dan keselamatan.
Dengan begitu, berbagai permasalahan terkait kesehatan akan lebih mudah diberantas tuntas. Termasuk juga masalah DBD.
Wallahua’lam bisshawab