JAKARTA (Arrahmah.com) – Anggota DPD RI yang juga pemerhati pendidikan, Fahira Idris, menolak wacana penghapusan pendidikan agama di sekolah. Menurutnya, pendidikan agama di sekolah merupakan amanat UU Sisdiknas dan sudah diterapkan bahkan sejak bangsa ini belum merdeka dan mampu membentuk karakter dan budi pekerti siswa.
“Malah kedepan, idealnya jam pelajaran pendidikan agama ditambah dengan berbagai kegitan ekstra kurikuler,” kata Fahira, Sabtu (6/7/2019).
Ia menegaskan, pendapat yang menyatakan pendidikan agama di sekolah memecah belah siswa, bahkan dikaitkan dengan radikalisme bukan hanya mengada-ada, paranoid, tetapi juga tuna sejarah dan tuna pengetahuan esensi pendidikan agama.
Pendidikan agama, lanjut Fahira, juga mengajarkan toleransi dan Budi pekerti. Bahkan dalam Islam perbedaan itu adalah sunnatullah sehingga mutlak menjadi pandangan hidup.
“Mungkin sekali-kali mereka yang punya ide menghapus pendidikan agama di sekolah perlu ikut belajar kembali di dalam kelas,” ucapnya.
Ia menilai, fenomena anak-anak rusak oleh narkoba, minuman keras, pemikiran liberal, seks bebas, gaya hidup hedonisme, korupsi dari lapisan atas, hingga masyarakat bawah, dan masalah lainnya karena kurangnya pemahaman agama pada anak didik.
“Coba lihat fenomena saat ini, orang tua siswa berlomba-lomba memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah agama seperti pondok pesantren, sekolah Islam Terpadu, dan lainnya. Kok bisa? Jawabannya sederhana, pendidikan agama bisa membuat anak matang baik secara emosional, spiritual, hingga intelektualnya,” paparnya.
Fahira menegaskan, pendidikan agama di sekolah harus ditambah. Anak-anak harus benar-benar paham agamanya masing-masing.
Dalam Islam misalnya, ujar Fahira, mulai dari akhlak, tauhid, hingga syariat, anak-anak kita harus paham luar dalam sehingga ketika lulus dari dunia sekolah, mereka menjadi insan-insan yang sangat kompeten untuk melakukan pembangunan bangsa yang berkarakter berkemajuan.
“Jadi.. Menurut saya, pendidikan agama jangan dihapus di Sekolah, harusnya malah ditambah,” pungkasnya.
Diketahui, Praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono mengatakan, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.
“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7).
Tanpa disadari, lanjutnya, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan.
Sebagai gantinya, mapel budi pekerti yang diperkuat. Dengan demikian sikap toleransi siswa lebih menonjol dan rasa kebinekaan makin kuat.
(ameera/arrahmah.com)