JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan tokoh HMI Burhanudin Muhtadi yang juga merupakan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, melontarkan pernyataan di Twitter bahwa era Prof Din Syamsuddin menjadi Ketum PP Muhammadiyah, banyak aktivis HTI yang masuk ke Muhammadiyah dan MUI.
“Saya lupa ternyata di tulisan saya tentang The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia (h. 629-630) saya mencatat pada masa beliau jadi Ketum Muhammadiyah inilah masuk aktivis-aktivis HTI ke Muhammadiyah dan MUI,” kata Burhanudin di Twitter.
Prof Din yang sedang transit di Dubai menuju Jerman untuk menghadiri konfrensi ‘Religious for Peace’, menjawab tuduhan Burhanuddin sebagai pernyataan yang mislead dan misleading.
“Tidak ada aktifis HTI masuk ke Muhammadiyah apalagi jadi pengurus, yang ada anggota Muhammadiyah (seperti juga dari ormas-ormas lain) keluar masuk HTI,” kata Prof Din melalui keterangan tertulisnya, Senin (3/3/2019).
Kalau di MUI, lanjut Prof Din, HTI memang salah satu elemen umat Islam yang selalu diundang dalam Forum Ukhuwah Islamiyah sejak era Ketua Umum KH. Ali Yafie sampai dengan Ketua Umum KH. Sahal Mahfudz.
“MUI memang ingin menjadi Tenda Besar bagi semua elemen umat Islam (tidak kurang dari sekitar 70 organisasi). Itu sesuai motto MUI sebagai khadimul ummah dan sekaligus al-khaimat al-kubro. Maka siapapun Ketua Umum MUI harus mengambil sikap mengayomi semuanya, walau tidak harus bersetuju. Masa’ dengan umat agama lain kita berbaik, sementara sesama Muslim tidak. Tentu selama mereka tidak melakukan kekerasan,” jelasnya.
Prof Din juga meminta Burhanuddin agar memberikan bukti atas tuduhannya tersebut.
“Sebagai akademisi sebaiknya anda beri bukti siapa aktifis HTI yang jadi pengurus Muhammadiyah atau MUI. Uuntuk Anda tahu, Muhammadiyah itu organisasi paling berdisiplin; sesuai AD/ART Muhammadiyah, kalau ada aktifis ormas lain maka dia akan dikeluarkan dari kepengurusan,” tegasnya.
“Juga, mengapa hal ini Anda munculkan terkait upaya saya mengklarifikasi secara akademik tentang khilafah. Kalau mau kritik, fokuskan pada substansi pemikiran, jangan personal, karena itu terkesan tidak akademik,” pungkas Prof Din.
Sebelumnya, Prof Din] Syamsuddin, yang juga merupakan ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menghimbau kepada kedua kubu pasangan calon presiden-wakil presiden agar menghindari penggunaan isu keagamaan, seperti penyebutan khilafah karena itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat pejoratif (menjelekkan) pada pilpres 2019.
Din Syamsuddin dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (30/3/2019) menyebutkan bahwa imbauan itu sesuai dengan hasil Rapat Pleno Ke-37, pada Rabu (27/3).
“Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yg disebut dalam Al-Qur’an adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/ khalifatullah fil ardh),” jelas Din Syamsuddin.
Ia menegaskan, mempertentangkan khilafah dengan Pancasila adalah identik dengan mempertentangkan Negara Islam dengan Negara Pancasila, yang sesungguhnya sudah lama selesai dengan penegasan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian).
“Upaya mempertentangkannya merupakan upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam,” tandasnya.
(ameera/arrahmah.com)