Oleh: Pizaro Gozali Idrus *)
(Arrahmah.id) – Biro Politik Hamas Ismail Haniyah gugur usai rudal ‘Israel’ menghantam ruangan tempatnya menginap di Teheran, Iran pada Rabu (31/7/2024).
Banyak analisa berkelindan di balik pembunuhan ini yang bermuara pada pertanyaan: Apa motif utama ‘Israel’ membunuh Haniyah di Teheran di tengah upaya gencatan senjata yang masih terus berlangsung.
Seperti diketahui usai gagal menaklukan Hamas, Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu telah mengatur ulang arah strateginya. Jika sebelumnya Netanyahu fokus melawan Brigade Izzudin AlQassam di Gaza yang gagal dimenangkannya, kini Netanyahu mulai fokus menyasar tokoh-tokoh pemimpin utama Hamas yang tinggal di luar Gaza.
Tindakan ini dilakukan Netanyahu untuk menciptakan narasi kemenangan palsu di tengah popularitasnya yang terus merosot. Netanyahu benar-benar dalam posisi sulit karena gagal mencapai tujuan politik untuk memusnahkan Hamas dan menggulingkannya dari kekuasaan di Gaza.
Tidak hanya itu, Netanyahu juga gagal membebaskan tawanan ‘Israel’ lewat operasi militer, kecuali hanya beberapa orang, yang semakin meningkatkan tekanannya di dalam negeri.
Alih-alih membawa sandera pulang, Netanyahu justru terlibat pada pembantaian mengerikan yang menewaskan lebih dari 40.000 warga Gaza.
Oleh karena itu, pembunuhan Haniyah adalah bentuk keputusasaan Netanyahu atas kegagalan militernya menaklukan Hamas dan meningkatnya tekanan internasional.
Haniyah dibidik karena dia merupakan mastermind dari gerakan Hamas paska Syeikh Ahmad Yassin dan Dr. Abdul Aziz Rantisi. Pada Mei 2017, Haniyah dipilih oleh Dewan Syura Hamas sebagai pemimpin biro politik untuk menggantikan Khaled Mesy’al, yang telah memegang jabatan tersebut sejak tahun 1995.
Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pada tanggal 31 Januari 2018 bahwa mereka menambahkan nama Haniyah ke dalam daftar “teroris”.
Faktor lainnya adalah merusak kesepakatan gencatan senjata yang telah disusun negara AS, Qatar, dan Mesir. Netanyahu jelas tidak ingin melihat perang ini berakhir.
Dia tidak pernah peduli terhadap nasib sandera apakah hidup ataupun mati. Jika perang berakhir tanpa kemenangan yang kadung telah dijanjikan, maka akan ada penyelidikan yang dapat membuatnya dimintai pertanggungjawaban dan digulingkan dari kekuasaan.
Keputusasaan Netanyahu pada akhirnya bermuara pada jalan untuk melebarkan perang ke kawasan dan menarik kembali dukungan AS kepada ‘Israel’. Dia jelas tidak ingin diatur oleh kerangka gencatan senjata oleh Biden.
Tepukan tangan kongres AS saat Netanyahu adalah pesan kepada Washington dia akan terus mengobarkan perang.
Analisa menarik juga disampaikan oleh Direktur Center for Islam and Global Affairs (CIGA) Sami Al Arian. Menurutnya, pembunuhan Haniyah adalah cara penjajah untuk meredupkan pengaruh Biden yang secara politis berkepentingan untuk mengakhiri perang ‘Israel’ di Gaza karena kepentingan pemilu AS, dalam posisi yang sulit.
Targetnya adalah memenangkan Partai Republik dalam pertarungan elektoral melawan Partai Demokrat. Biden memang kini dalam situasi yang sangat sulit sebagai imbas dukungan tanpa syaratnya selama ini kepada penjajah.
Jika menekan ‘Israel’, Biden harus berhadapan dengan kemarahan kelompok lobi pro-Zionis dan dapat membuat mereka menarik dukungannya di Pemilu.
Sementara membantu ‘Israel’ hanya akan membawanya ke dalam perang yang lebih luas dan menggerus elektoralnya di depan para pemilih.
Harus dicatat: setelah perang AS membawa bencana di Afghanistan dan Irak, publik Amerika sangat tidak tertarik untuk terlibat dalam perang baru di Timur Tengah.
Netanyahu jelas ingin memberikan pesan dukungannya kepada mantan Presiden Donald Trump, sekutu setia yang memberikan ‘Israel’ semua yang diinginkannya selama masa jabatannya, mulai dari memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem Baitul Maqdis, perjanjian Abraham Accord, hingga membawa empat negara Arab meneken normalisasi dengan ‘Israel’.
Memperluas perang di Timur Tengah, memperpanjang genosida di Gaza, dan menimbulkan ketidakpastian dalam gencatan senajata hanya akan membuat Wakil Presiden Kamala Harris, lebih mungkin dikalahkan dalam pemilu November.
Sebab ketidakstabilan di Timur Tengah hanya akan merugikan pemerintahan yang sedang berkuasa dan membuat kerja-kerja petahana tidak efektif.*
*) Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue. Kandidat Ph.D pada Center for Policy Research USM Malaysia. Direktur Eksekutif Baitul Maqdis Institute.
(ameera/arrahmah.id)