Penulis : Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan dan Member AMK)
(Arrahmah.com) – SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah yang memuat aturan dan sanksi, baru pekan lalu ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Agama Yaqut Cholil dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Sebagaimana disebutkan oleh Nadiem dalam Tribunnews.com, Rabu (3/2/2021) bahwa pemerintah daerah ataupun sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Pemerintah memperbolehkan siswa dan guru memilih jenis seragam untuk dikenakannya sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk siswa sendiri, orangtua diperbolehkan memberikan keputusan terhadap jenis seragam bagi anaknya. Dan SKB 3 Menteri ini berlaku bagi sekolah negeri saja.
Semua bermula dari masalah seragam berjilbab/berkerudung bagi siswi di SMKN 2 Padang yang terdapat kesan dipaksakan bagi siswi non muslim, padahal faktanya tidak ada pemaksaan jelas Kepsek SMKN 2 Padang, Rusmadi.
Di lansir dari Antaranews.com (26/1/2021), Kepala Dinas Pendidikan kota Padang Habibul Fuad mengatakan bahwa bagi siswi non muslim harus berpakaian sopan jika tidak menggunakan jilbab. Dari sini jelas harusnya tidak perlu ada pihak yang merasa dipaksakan, seolah berbuat intoleran terhadap siswi non muslim.
Ini berbanding terbalik dengan yang terjadi pada tahun 2014 tentang dilarangnya siswi muslim mengenakan jilbab di sebagian besar sekolah di Bali, sebagaimana dikatakan oleh Komnas HAM dalam temuannya (Republika.co.id 21/2/2014). Hal ini tidak dipermasalahkan dan tidak terekspos media.
Kini polemik seragam sekolah dengan berjilbab/berkerudung kembali menjadi perbincangan, seolah berbuat intoleransi terhadap siswi non muslim. Hal yang berbeda ketika menimpa siswi muslim yang dipaksa untuk melepas kerudungnya, ini tidak di anggap intoleransi. Dan respon yang di ambil Pemerintah Pusat berbeda dengan dua kasus di atas. Kasus SMKN 2 Padang direspon berlebihan dengan dibuatnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, padahal siswi non muslim yang dipermasalahkan tidak merasa ada keterpaksaan dan bermasalah, bahkan ini sudah berlangsung 15 tahun.
Permasalahan dalam dunia pendidikan sebenarnya masih belum tuntas, apalagi di masa pembelajaran jarak jauh ini atau daring, ketidak tersediaan jaringan internet dan alat komunikasi masih menjadi kendala diberbagai pelosok negeri, tujuan pendidikan menjadi terhambat.
Artinya ada yang lebih diprioritaskan dibanding permasalahan seragam sekolah. Tidakkah permasalahan merosotnya akhlak dan adab generasi muda menjadi sorotan dunia pendidikan ? pergaulan bebas, hamil diluar nikah, abosi, narkoba, percintaan sesame jenis, tindak kriminal dan lainnya yang semakin lama semakin tinggi angkanya yang melibatkan generasi muda atau pelajar.
Mengapa seolah pemerintah menutup mata akan masalah-masalah ini dan focus pada masalah tekhnis yang tidak penting, hingga mengaitkan intoleransi dalam masalah seragam, yang pada kasus dimaksud itu sudah selesai.
Jelas tuduhan intoleransi akan di arahkan kemana, siapa lagi kalau bukan Islam yang dituju, karena hanya dalam Islam saja ada pengaturan dalam berpakaian, baik didepan mahrom ataupun lain mahrom, baik berpakaian di tempat khusus ataupun di tempat umum. Dan mengenakan seragam adalah berpakaian di tempat umum.
Pemberlakuan SKB 3 Menteri ini juga jelas akan bertentangan dengan aturan yang sudah berlaku pada sekolah negeri yang berada di bawah Kemenag yaitu Madrasah, dari Ibtidaiyah sampai Aliyah. Di mana para siswi dan tenaga pendidik diwajibkan mengenakan kerudung/jilbab jika berada di lingkungan sekolah.
Tidak bisa di hindari adanya aroma moderasi dan liberalisasi dalam masalah ini. Harusnya negara mendorong para siswa untuk taat beribadah, pendidik sebagai panutan dan teladan, tetapi ini malah membuat aturan yang sudah jelas dalam agama menjadi sebuah pilihan, dan secara tidak langsung negara membuka peluang untuk kebebasan berperilaku bagi siswa.
Lantas apa tujuan pendidikan di negeri ini akan berhasil jika pada akhirnya kran kebebasan dibuka. Bahkan hal ini berseberangan dengan Undang-undang yang ada. Dalam UU No 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia……dan seterusnya . jadi jelas bahwa harusnya negara berada di garda terdepan dalam menangkis seranganan liberal dan mendorong siswa taat beragama dan memfasilitasinya.
Inilah buah sistem demokrasi, kebebasan membuat peraturan yang di dengungkan menjadi perangkap bagi dirinya sendiri. Aturan yang lahir dari akal semata, justru bertabrakan satu sama lainnya, bukannya solusi yang di dapat tetapi masalah baru. Apapun peraturannya, kebebasan dalam berperilaku hingga dalam beragama adalah pointnya meskipun itu akan menghancurkan kefitrahan yang ada pada diri manusia.
Hal yang sangat berbeda dalam sistem Islam. Tujuan pendidikan akan di topang oleh negara, karena sesungguhnya pendidikan adalah salah satu kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh negara. Dan tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk siswa yang berakhlak mulia berkepribadian Islami, maka negara memastikan hal ini dan memfasilitasinya. Karena beragama adalah hal yang fitrah yang ada pada diri manusia, yang senantiasa akan menuntut pemenuhannya, akan gelisah jika tidak terpenuhi. Islampun menghormati yang berbeda keyakinan, tidak akan dipaksa untuk memeluk agama Islam. Tetapi jika sudah memilih Islam sebagai keyakinannya, maka tidak ada pilihan untuk melaksanakan aturan yang disukai saja atau meninggalkan yang tidak disukai, dan negarapun akan mengawal semua ini.
Maka sudah saatnya kaum muslim menyadari bahwa Islam adalah ajaran yang sesuai fitrah manusia, yang tidak hanya membahas masalah pribadi saja tetapi juga membahas bagaimana harusnya negara sangat berperan dalam pembentukan karakter anak didik/siswa. Semua ini hanya bisa kita dapatkan jika Islam diterapkan secara kaffah dalam sebuah sistem bernegara. Sebuah sistem yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Saw.
(ameera/arrahmah.com)