JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Yusril Ihza Mahendra untuk membatalkan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) yang mengetatkan remisi bagi terpidana korupsi .
Menurutnya Surat Keputusan (SK) Menkum HAM tertanggal 16 November 2011 bernomor Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 Tahun 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi dan teroris tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. “Kami memutuskan mencabut surat Menkum HAM tersebut kepada 7 orang pengugat,” jelasnya.
Ia menjelaskan dengan dicabutnya surat tersebut, berarti Pembebasan Bersyarat (PB) yang telah diterima kepada tujuh pengugat berlaku kembali. “PB ke tujuh orang yang telah dikeluarkan kami tetapkan berlaku kembali,” ungkapnya.
“Pertama SK Menkum HAM tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku,” kata Yusril usai sidang di PTUN Jakarta, Jalan Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta, Rabu (7/3/2012).
Alasan selanjutnya, SK tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik karena tidak dilakukan berdasarkan prosedur yang benar. “Ketiga, SK tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dibidang pemasyarakatan,” tambah mantan Menkum HAM ini.
Berdasarkan ketiga alasan tersebut maka gugatan para pemohon dikabulkan. Tidak hanya itu SK tersebut harus dicabut dan batal demi hukum. Hakim juga memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk mencabutnya.
“Kemudian kalau sekiranya dilakukan banding dan kasasi atas perkara ini oleh Menkum HAM, maka putusan pengadilan juga memerintahkan penundaan pada berlakunya SK Menkum HAM itu. Jadi meski besok ada banding dan kasasi, tapi mereka yang sekarang dipidana di lembaga permasyarakatan yang mengajukan permohonan ini harus dibebaskan,” ujar Yusril.
Yusril menjadi pengacara 7 penggugat SK Menkum HAM yang juga terpidana korupsi. Mereka adalah terpidana kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, dan Hengky Baramuli; dua terpidana kasus korupsi PLTU Sampit yaitu Hesti Andi Tjahyanto, dan Agus Widjayanto Legowo; dan dua lainnya terpidana kasus pengadaan alat Puskesmas keliling, yaitu Mulyono Subroto, dan Ibrahim.
Ketujuh terpidana kasus korupsi tersebut awalnya mendapat Putusan Bebas (PB) yang dikeluarkan pada 30 Oktober 2011, terhadap 11 orang. Namun PB tersebut tiba-tiba dibatalkan setelah Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) mengeluarkan moratorium remisi pada 31 Oktober 2011. Mereka akhirnya melakukan gugatan ke PTUN Jakarta.
“Ada konfensi PBB tentang perlakukan terhadap narapidana. Kita juga memiliki UU Permasyarakatan dan UUD 1945 yang pada dasarnya bahwa semua narapidana itu tidak boleh mendapat perlakuan diskriminatif. Kepada warga negara juga tidak boleh diskriminatif. Sampai sekarang UU Permasyarakatan itu masih berlaku,” kata Yusril di Medan, Sumatera Utara, Jumat (16/9/2011).
Yusril menjelaskan, wacana ditiadakannya remisi untuk para koruptor dan teroris merupakan desakan masyarakat yang tidak memegang tanggung jawab atas peraturan dan hukum yang telah ditetapkan. Sehingga dirinya meminta pemerintah untuk bijaksana dan tegas dalam memutuskan suatu peraturan dan kebijakan.
“Negara harus punya sikap. Hukum harus ditegakkan. Jangan kita tunduk sama orang jalanan. Pemerintah itu kalau didikte oleh orang jalanan, bisa celaka negara ini. Mereka berteriak apa saja tanpa memikul tanggung jawab, tapi mereka yang duduk di bangku pemerintahan memikul tanggung jawab. Jangan hanya karena desakan LSM, peraturan, dan undang-undang diubah, yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan,” ujarnya.
Dia juga tidak sependapat jika pemberhentian remisi untuk para koruptor dan teroris merupakan cara untuk menimbulkan efek jera dan memberi rasa keadilan terhadap masyarakat yang kecewa dengan para koruptor.
“Kalau memberi efek jera, kita kembali lagi ke zaman Belanda dan keadilan itu dirumuskan dalam kaidah hukum,” urainya.
“Lembaga Permasyarakatan itu untuk membina pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatannya. Mereka didik, diberi pemahaman. Jadi begitu keluar, mereka tidak mengulangi perbuatannya,” tandasnya. (bilal/arrahmah.com)
JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan Yusril Ihza Mahendra untuk membatalkan Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) yang mengetatkan remisi bagi terpidana korupsi .
Menurutnya Surat Keputusan (SK) Menkum HAM tertanggal 16 November 2011 bernomor Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 Tahun 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi dan teroris tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. “Kami memutuskan mencabut surat Menkum HAM tersebut kepada 7 orang pengugat,” jelasnya.
Ia menjelaskan dengan dicabutnya surat tersebut, berarti Pembebasan Bersyarat (PB) yang telah diterima kepada tujuh pengugat berlaku kembali. “PB ke tujuh orang yang telah dikeluarkan kami tetapkan berlaku kembali,” ungkapnya.
“Pertama SK Menkum HAM tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku,” kata Yusril usai sidang di PTUN Jakarta, Jalan Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta, Rabu (7/3/2012).
Alasan selanjutnya, SK tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik karena tidak dilakukan berdasarkan prosedur yang benar. “Ketiga, SK tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dibidang pemasyarakatan,” tambah mantan Menkum HAM ini.
Berdasarkan ketiga alasan tersebut maka gugatan para pemohon dikabulkan. Tidak hanya itu SK tersebut harus dicabut dan batal demi hukum. Hakim juga memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk mencabutnya.
“Kemudian kalau sekiranya dilakukan banding dan kasasi atas perkara ini oleh Menkum HAM, maka putusan pengadilan juga memerintahkan penundaan pada berlakunya SK Menkum HAM itu. Jadi meski besok ada banding dan kasasi, tapi mereka yang sekarang dipidana di lembaga permasyarakatan yang mengajukan permohonan ini harus dibebaskan,” ujar Yusril.
Yusril menjadi pengacara 7 penggugat SK Menkum HAM yang juga terpidana korupsi. Mereka adalah terpidana kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI), yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, dan Hengky Baramuli; dua terpidana kasus korupsi PLTU Sampit yaitu Hesti Andi Tjahyanto, dan Agus Widjayanto Legowo; dan dua lainnya terpidana kasus pengadaan alat Puskesmas keliling, yaitu Mulyono Subroto, dan Ibrahim.
Ketujuh terpidana kasus korupsi tersebut awalnya mendapat Putusan Bebas (PB) yang dikeluarkan pada 30 Oktober 2011, terhadap 11 orang. Namun PB tersebut tiba-tiba dibatalkan setelah Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) mengeluarkan moratorium remisi pada 31 Oktober 2011. Mereka akhirnya melakukan gugatan ke PTUN Jakarta.
“Ada konfensi PBB tentang perlakukan terhadap narapidana. Kita juga memiliki UU Permasyarakatan dan UUD 1945 yang pada dasarnya bahwa semua narapidana itu tidak boleh mendapat perlakuan diskriminatif. Kepada warga negara juga tidak boleh diskriminatif. Sampai sekarang UU Permasyarakatan itu masih berlaku,” kata Yusril di Medan, Sumatera Utara, Jumat (16/9/2011).
Yusril menjelaskan, wacana ditiadakannya remisi untuk para koruptor dan teroris merupakan desakan masyarakat yang tidak memegang tanggung jawab atas peraturan dan hukum yang telah ditetapkan. Sehingga dirinya meminta pemerintah untuk bijaksana dan tegas dalam memutuskan suatu peraturan dan kebijakan.
“Negara harus punya sikap. Hukum harus ditegakkan. Jangan kita tunduk sama orang jalanan. Pemerintah itu kalau didikte oleh orang jalanan, bisa celaka negara ini. Mereka berteriak apa saja tanpa memikul tanggung jawab, tapi mereka yang duduk di bangku pemerintahan memikul tanggung jawab. Jangan hanya karena desakan LSM, peraturan, dan undang-undang diubah, yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan,” ujarnya.
Dia juga tidak sependapat jika pemberhentian remisi untuk para koruptor dan teroris merupakan cara untuk menimbulkan efek jera dan memberi rasa keadilan terhadap masyarakat yang kecewa dengan para koruptor.
“Kalau memberi efek jera, kita kembali lagi ke zaman Belanda dan keadilan itu dirumuskan dalam kaidah hukum,” urainya.
“Lembaga Permasyarakatan itu untuk membina pelaku kejahatan agar tidak mengulangi perbuatannya. Mereka didik, diberi pemahaman. Jadi begitu keluar, mereka tidak mengulangi perbuatannya,” tandasnya. (bilal/arrahmah.com)