SOLO (Arrahmah.com) – Berawal dari Tweet Irena Handono bahwa putra-putri almarhum Siyono mengalami trauma, dimana hal ini menggugah hati Dwi Estiningsih, seorang psikolog, dan memutuskan untuk berkunjung ke rumah Almarhum Siyono untuk membantu memulihkan anak-anak yatim korban Densus 88 itu dari trauma.
Dari hasil prbincangan Dwi Estiningsih dengan keluarga dan tetangga, terungkap bahwa Siyono adalah dai yang melawan kristenisasi di kampungnya. Berikut ini penuturan lengkap Dwi Estiningsih yang dituliskan di akun Facebook-nya, pada Senin (21/3/2016).
Bismillahirrahmanirrahim…
Hari ini sungguh merupakan hari yang sangat spesial untuk saya.
Tempo hari, saya membaca tweet guru kita Irena Handono bahwasannya putra-putri alm. Siyono mengalami trauma.
Selepas subuh saya meminta dikuatkan Allah.
Demi Allah, tilawah al-Quran saya pagi tadi tepat di surat An Nisa 77 tentang perjuangan, jihad.
Suatu petunjuk yang amat nyata yang membulatkan tekad untuk pergi ke Cawas, Klaten meski hanya berkendaraan seorang diri.
Setelah mendapat izin suami, 3 jam saya berkendaraan dari Jogja.
Lalu lintas macet plus harus tanya-tanya sampai pelosok Cawas, Klaten.
Sampai ujung desa Pogung, Cawas, Klaten tak sulit menemukan rumah alm. Siyono, semua orang kenal.
Di depan halaman tempat menjemur padi, duduk Ibu sepuh, Ibunda alm. Siyono, dua kakak perempuannya, dua anaknya dan beberapa keponakan.
Saya memperkenalkan diri dan sampaikan tujuan untuk silaturahim.
Alhamdulillah disambut dengan baik.
Sambutan khas masyarakat pedesaan, semua anggota keluarga alm. Siyono keluar dan diperkenalkan satu persatu. Hangat sekali.
Ibunda Alm. Siyono mengatakan bahwa tadinya Ia ikhlas, belakangan Ia merasa merana. Anak bungsu yg setiap hari di hadapannya sudah tiada.
Alm. Siyono tinggal bersebelahan dgn bapak ibu. Dari kiri-kanan: rumah alm. Siyono, Masjid, rumah Ibunda, agak ke timur TK yg dibangun.
Alm. Siyono baru saja membeli tanah seluas 200 meter untuk bangunan TK yang baru, mengingat siswanya terus bertambah, saat ini ada 65 siswa.
Alm. Siyono adalah anak bungsu dari 4 bersaudara, pertama pak Wagiyono, kedua bu Gi, ketiga bu Tri.
Hal yang dikhawatirkan kakak2 alm. Siyono bukan densus atau apa…
Tapi kondisi fisik Ibunda yang menurun, beberapa hari yang lalu sempat diare, sekarang bahkan kesulitan berjalan. Padahal sebelumnya masih kuat ke sawah
Ayahanda alm. Siyono tampak lebih tegar, hari ini sudah mulai memupuk benih di sawah.
Saat itu, beliau sedang menaikkan tumpukan jerami di depan rumahnya ke atas gerobak…
“Mbak, Siyono yang ngarit jerami dari sawah, ya jerami ini” kata Ayah alm. Siyono
Saya rasakan sesak di dada, seakan tak percaya anaknya tiada
“Saat dibawa polisi, saya tdk punya perasaan apa2 mbak, wong polisinya bilang cuma mau ditanya2 di kantor polisi” Lanjut Ayah alm. Siyono
Kemudian hadir Ibu mertua alm. Siyono, Ibu dari bu Fida (istri alm. Siyono), beliau sangat menyenangkan, 70 thn, berjilbab panjang, suka baca Quran dan sangat relijius.
Menurut Ibu mertuanya, alm. Siyono adalah anaknya yang paling sholih dan sangat berbakti pada orangtua.
Alm Siyono selalu merawat Ayah mertuanya yang sakit, bahkan ia yang membersihkan tinja Ayah mertuanya.
Ya Allah…
Ayah mertua meninggal sepekan sebelum alm. Siyono.
Kemudian kedua anak alm. Siyono yg mulai mendekati saya setelah merasa familiar. (Alhamdulillah, dlm hati saya)
Rosyidah, anak kedua, 9 th, kelas 4 MI. Berparas manis, penampilannya lebih dewasa daripada usianya dengan gamis & jilbab panjang yang dikenakan.
Khas sekali tipe anak penghafal Al Quran, Roshidah dengan wajah teduhnya.
Rosyidah, anak kedua alm. Siyono ini telah terbiasa membantu pekerjaan di rumah dan membantu mengasuh 3 adiknya.
“Rosyidah, adikmu Isa mana?” tanya Bude Sri.
“Sedang main, Bude.” jawab Rosyidah.
Kakak alm. Siyono, Ibu Sri, memang ingin mempertemukan saya dengan anak-anak.
(Alhamdulillah, ya Allah)
Isa adalah anak ketiga, usia 7 thn, kelas 2 SD.
“Suka main bu, tapi tidak apa2, untuk nylamur” kata Bude Sri.
Fatimah, anak pertama, usia 13 thn, 1 SMP, tinggal di pondok pesantren.
“Sudah sekolah, biar ngga sedih, dia ketemu teman2nya” kata Bu Sri.
Di ruang tamu, tampak 3 balita sedang bermain.
“Ibrahim, sini dekat sama bu esti.” kata Bu Sri.
Ibrahim adalah anak keempat, usia 4 thn, masih playgroup, seusia anak bungsu saya.
Ibrahim tampak “menarik diri”, tidak mau menatap dan belum pernah sekalipun saya melihatnya tersenyum.
Nampaknya Ibrahim merasa kehadiran orang2 asing membawa hal buruk bagi keluarganya, namun Ia tak sanggup mengungkapkan.
Barangkali Ibrahim juga sering bertanya, dimana abi?
Ya Allah…
Satu sosok yang saya nanti adalah Bu Fida, Istri alm. Siyono.
“Bu Fida sejak habis subuh tadi sudah pergi, Bu, bersama si bungsu Hilmy” Kata Bu Tum, kakak ipar alm. Siyono yg mendampingi ibunya.
Bu Tum sangat mengkhawatirkan adiknya, sesekali Ia menyeka air matanya… “Katanya Fida mau menenangkan diri, bawa anaknya yang masih menyusui, saya khawatir, dari tadi tdk bisa ditelpon.”
Saya sangat memahami kekhawatiran Bu Tum karena tekanan yang begitu besar pada keluarga.
Ada usaha dari aparat untuk meminta keluarga mengikhlaskan kepergian alm. Siyono, dan meminta bu Fida tanda tangan agar tidak menuntut apapun.
Sampai sekarang permintaan aparat tersebut belum ditindaklanjuti oleh keluarga.
Saya hanya menghela nafas, dalam kasus sepenting ini tidak ada satupun pengamanan. Saya berharap pengamanan bila sewaktu-waktu ada sesuatu hal.
Satu hal yang harus disyukuri adalah anak-anak alm. Siyono saat ini sudah dalam proses “trauma healing”.
Kehangatan keluarga, kedekatan hati mereka, saling percaya diantara mereka, itu yang menjadi kekuatan bagi anak-anaknya.
Ayah Ibu alm Siyono, mertua, kakak2, keponakan…
Semua saya lihat bersatu padu, saling mencermati kondisi masing-masing anggota keluarganya.
Demi Allah… Keluarga yg dibangun dengan Iman memang bisa menghadapi kendala-kendala besar.
Esok atau lusa, saya masih ingin bersua, terutama anak-anaknya. Rosyidah, Isa, Ibrahim dan semoga bersua Ibunya (Bu Fida) dan Hilmi.
Sungguh mereka hanya butuh banyak dukungan, mata orang-orang yang memandang tulus dan mau memahami kondisi mereka.
Semoga trauma healingnya berhasil, jangan sampai gara-gara cibiran orang di jalan & lontaran2 di sekitarnya menjadikan anak2 mengalami hal traumatis!
Ketahuilah saudaraku…
Pak Siyono adalah potret dai yang sukses!
Dia sungguh melakukan seruannya!
Apa yang dia lakukan tidak hanya menyampaikan Quran & hadits, tapi bagaimana Ia menjadi teladan. Tidak hanya NORMATIF tapi juga APLIKATIF.
Coba lihat saja, jarak 3 rumah disampingnya ada gereja berdiri, jelas daerah kristenisasi.
Dengan tekat besar, dukungan dan kepercayaan keluarganya ia menghidupkan masjid.
Dengan kemauan keras, ketekunan, visi besar, Ia & Istrinya mendirikan TK.
Tetangga bahkan sampai jauh ke seberang desa mempercayakan anaknya
“Anaknya kalau sekolah disitu jadi pinter, Bu,”. kata para tetangga.
Saya lalu berpikir, “Satu kehilangan besar, pantas saja jika dihilangkan!”
Banyak yg bisa menyampaikan Al-Quran & Hadits, sedikit yang mampu mengaplikasikan dalam konteks keseharian & bermasyarakat.
Siyonolah orangnya!
nb: Saya tidak diizinkan oleh Ibunda alm. Siyono mempublish foto-foto keluarga. Mohon pengertiannya.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (QS ~ 3:169)
(ameera/arrahmah.com)