GAZA (Arrahmah.com) – Seperti tiada pernah surut dari kabar memprihatinkan, kota Gaza, di Palestina, hingga saat ini masih dalam blokade Zionis Yahudi.
Upaya menyengsarakan penduduk Gaza tersebut mulai diberlakukan oleh Zionis Yahudi setidaknya sejak tahun 1990-an.
Pada 2007, upaya tersebut makin intensif. Zionis Yahudi kemudian memberlakukan blokade laut, darat, dan udara yang membuat pasokan air, listrik, makanan, dan obat-obatan bagi penduduk Gaza amat sukar diperoleh.
Anas Abu Mush’ab al-Yajizy, pejuang Gaza yang merasakan betul dampak blokade tersebut menceritakan apa yang dia alami.
Saking sulitnya mendapat pasokan air, warga Gaza mesti memilih antara memanfaatkannya untuk mandi atau untuk minum.
“Padahal mestinya sangat mudah bagi mereka (warga Gaza) untuk mendapatkan air. Bisa dari hasil penyulingan air pantai atau dari bukit-bukit,” tutur Anas kepada INA News Agency.
“Namun ketika dalam blokade, sumber-sumber air itu dikuasai Zionis. Untuk mandi menjadi susah. Karena jika mereka mandi, mereka tidak mendapat persediaan air untuk minum,” lanjutnya di hadapan jamaah Masjid Quba, Tangerang, usai shalat Jumat (8/3).
Sementara untuk pasokan listrik, warga Gaza hanya bisa memanfaatkannya antara sehabis shalat Zhuhur hingga Ashar.
Selepas itu, aliran listrik disetop bahkan hingga malam hari.
‘Obat Bius’
Minimnya aliran listrik ini juga berdampak pada pelayanan fasilitas publik seperti rumah sakit—fasilitas yang sangat dibutuhkan penduduk Gaza di tengah banyaknya korban luka dan jiwa yang terus berjatuhan.
Selain listrik, suplai medis juga sangat minim. Saking minimnya, warga sampai berinsiatif mencari suplai alternatif guna mengobati luka-luka para korban serangan Zionis Yahudi.
“Karena tidak ada kain kasa, mereka menggunakan kain yang ada di rumah. Setelah dipakai bekas darah dan nanah, kain itu kemudian dicuci, dijemur dan dipakai lagi,” kata pemuda Gaza yang telah kehilangan kaki kanannya itu.
Anas juga tidak dapat membayangkan rasa sakit yang dialami para korban luka di Gaza ketika masuk ke ruang operasi.
Mereka mesti merasakan betul tajamnya jarum dan pisau bedah ketika menembus kulit dikarenakan tidak memiliki stok obat bius. Atau ketika tim medis mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuh mereka tanpa diawali suntikan penawar rasa sakit itu.
Namun, Anas meyakini, para penduduk Gaza memiliki stok ‘obat bius’ yang selalu terjaga dan tak mampu diblokade oleh Zionis Yahudi.
“Ketika mereka merasakan sakit, menenangkannya adalah dengan membaca al-Quran. Itulah mengapa kita sering melihat video mereka membaca al-Quran ketika dioperasi tanpa obat bius,” ucap Anas.
Menurutnya, itu adalah tradisi dan pendidikan yang ditanamkan secara turun-temurun oleh sesama penduduk Gaza. Yakni menjadikan al-Quran sebagai obat atas segala rasa sakit yang mereka alami.
(INA News Agency)