Latar belakang
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyadari pentingnya melahirkan generasi berkualitas. Oleh karena itu kualitas generasi suatu bangsa merupakan isu yang sangat penting untuk dicermati semua pihak. Karena kualitas generasi pada dasarnya menentukan kualitas dari bangsa atau peradaban itu sendiri. Bangsa dengan jumlah generasi yang besar namun tidak diiringi dengan kualitas yang memadai, hanya akan terbelenggu dengan banyak masalah, sebaliknya jika generasi dalam jumlah besar tersebut berkualitas, maka akan menjadi aset yang berharga bagi bangsa itu sendiri dan juga peradaban manusia pada umumnya.
Generasi berkualitas yang ideal adalah generasi yang melahirkan barisan pemimpin bangsa yang tidak hanya memiliki keahlian, melainkan juga memiliki kepribadian istimewa yang ditunjukkan oleh integritasnya pada nilai-nilai kebenaran. Kepribadian ini merupakan pancaran dari kesatuan pola pikir dan pola sikap yang benar dan luhur. Generasi seperti inilah yang bisa diharapkan menjadi penerus bangsa, yang akan membawa bangsanya menjadi bangsa besar, kuat, dan terdepan. Generasi seperti ini bila menjadi pemimpin tidak akan menggadaikan negerinya diperas dan dijajah oleh penjajah asing demi untuk memperkaya dirinya dan keluarganya. Tetapi sebaliknya, mereka rela berkorban untuk melindungi negerinya dari cengkraman penjajahan dalam bentuk apapun.
Jika kita menilik kondisi generasi yang ada di Indonesia, maka nampaknya masih jauh dari gambaran generasi berkualitas. Pada level akar rumput kita dapati banyak terjadi konflik horisontal baik yang dilakukan pelajar bahkan mahasiswa, serta pudarnya pergerakan mahasiswa yang kritis, cerdas, dan pro rakyat. Sementara di tingkat elit, fenomena munculnya pemimpin-pemimpin muda tanpa integritas pada pentas politik adalah problem serius. Walhasil, di negeri ini sangat langka mendapati sosok pemimpin berintegritas yang bisa melindungi rakyat. Seluruh realita ini bukan lagi sekedar kasus rendahnya kualitas, namun mengindikasikan secara sistemik bangsa ini telah kehilangan generasinya yang berkualitas.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami betapa strategisnya posisi sebuah sistem pendidikan dalam mewujudkan generasi pemimpin bangsa. Baik pendidikan di tingkat dasar, menengah dan tinggi. Setiap jenjang tersebut memiliki level kontribusi yang khas pada pembentukan karakter generasi dan pemberdayaan generasi tersebut untuk kepentingan strategis bangsa. Peran pendidikan dasar adalah penanaman nilai mendasar yang membentuk karakter kepribadian generasi, pendidikan menengah menyiapkan generasi memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan masyarakat, dan pendidikan tinggi membentuk generasi memiliki kompetensi dan keahlian profesional yang diarahkan untuk kepentingan strategis bangsa yang lebih luas. Sinergi ketiga jenjang tersebut secara berkesinambungan -jika negara memiliki visi dan paradigma kuat- akan melahirkan generasi dengan kualifikasi pemimpin.
Meski demikian suatu sistem pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem negaranya. Sistem politik dan ekonomi punya pengaruh signifikan terhadap visi dan paradigma negara dalam mendesain sistem pendidikannya. Sistem politik pemerintahan yang fungsinya memimpin dan melindungi rakyat, dan sistem ekonomi yang fungsinya mengelola sumber daya ekonomi untuk menyejahterakan rakyat tentu akan menentukan bagaimana sebuah sistem pendidikan itu didesain dan dijalankan.
Begitupula yang terjadi di negeri ini, sistem politik ekonomi yang diterapkan jelas sangat mempengaruhi sistem pendidikannya. Ketika sistem politiknya diwarnai oleh pragmatisme politik yang kental dan sistem ekonominya memiliki tata kelola SDA yang kapitalistik dan tidak mensejahterakan rakyat; maka yang terjadi justru dengan mudahnya arus pragmatisme merasuki sistem pendidikan nasional di semua jenjang. Bahkan dari tingkat dasar. Lompatan-lompatan kebijakan selama dua dekade terakhir, membawa pergeseran signifikan bagi kualitas generasi kita ke arah perusakan. Sikap pemerintah yang sekedar mengikuti arus global dan sistem pendidikan nasional yang miskin visi hanya mengarahkan penciptaan kapasitas peserta didik untuk memenuhi kebutuhan pasar atau industri.
Memang benar suatu bangsa membutuhkan sumber daya manusia untuk mengisi kebutuhan industri. Namun harus dilandasi dengan bangunan mentalitas yang benar dan berdasar kepada kekuatan visi negaranya. Krisis kepemimpinan yang dialami oleh bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari orientasi pendidikan kita yang hanya memenuhi tuntutan pasar global akibat dari sistem pendidikan nasional yang miskin visi. Sehingga generasi yang dilahirkan dari sistem ini adalah generasi yang tidak berkarakter yang hanya mengikuti dan memenuhi apa yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Maka bangsa kita tak lebih dari bangsa pekerja.
Pendidikan yang berorientasi kepada kebutuhan pasar bebas berarti telah menjadikan pendidikan layaknya komoditas yang diperdagangkan. Pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, kapitalistik, dan pragmatis. Berbagai komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan lainnnya harus tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis. Selain itu, pendidikan yang dijual tersebut harus mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional yang kredibel, melalui sertifikat akreditasi yang diakui (recognize).
Lembaga pendidikan dengan pendekatan bisnis juga harus memiliki sistem dan infra-struktur yang dijiwai oleh budaya bisnis yang unggul (corporate culture). Logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, dan pragmatis. Setiap orang yang akan memasuki sebuah perguruan tinggi misalnya, terlebih dahulu bertanya: Nanti kalau sudah lulus bisa jadi apa? Kerjanya di mana? Dan gajinya berapa? Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan ini tentunya adalah: jika sudah lulus akan memiliki gelar dan keahlian yang sangat mudah mendapatkan kerja dengan gaji yang besar. Jika program studi atau satuan pendidikan tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka program studi tersebut akan kehilangan pasar.
Sistem pendidikan pragmatis berorientasi pasar sebenarnya berkembang bukanlah tanpa sengaja. Awalnya digagas di Amerika Serikat yang menemukan hasil penelitian pada tahun 60-an terkait investasi di bidang pendidikan, yang ternyata investasi di bidang pendidikan jauh lebih menguntungkan daripada investasi di bidang saham.[1] Setelah itu, Amerika Serikat membiayai penelitian terapan di bidang pendidikan tidak kurang dari enam miliar dollar. Hasilnya, Amerika Serikat memiliki sistem pendidikan pragmatis yang berorientasi pasar. Standarisasi terhadap semua aspek pendidikan mereka lakukan, dan hasilnya diakui dunia karena lulusannya sangat unggul dan mampu bersaing merebut peluang. Untuk itu sejak tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia. [2]
Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia, hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah satu komoditas yang diperdagangkan. Kesepakatan ini dimotori oleh WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Dengan ditandatanganinya GATS, walhasil sistem pendidikan pragmatis yang pro-pasar semakin banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia. Agar GATS berkiprah di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia maka intervensi pemerintah dalam sektor jasa harus dihilangkan. Indonesia dengan penduduk lebih dari 210 juta jiwa, dengan tingkat partisipasi pendidikan tinggi sekitar 14% dari usia 19-24 tahun, ditambah visi dan perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah akhirnya mutu pendidikan juga rendah, maka Indonesia pun menjadi incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan.
Enam negara yang telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan adalah Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, dan pendidikan profesi, dan vokasi. Jelas modus kerjasama seperti ini akan lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Sebuah kerjasama pendidikan kalau dilaksanakan dalam kondisi interdependensi simetris antar negara memang dapat menguntungkan kedua negara untuk mengembangkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Tapi dalam kondisi interdependensi a-simetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif for-profit semata, maka negara berkembang yang jelas akan menjadi korban dan dikorbankan.[3]
Ironisnya pada perkembangannya, arus pragmatisasi sistem pendidikan kini kian tak terbendung, pintu masuknya bukan hanya dari WTO dengan GATS-nya, melainkan juga langsung melalui kerjasama bilateral. Adalah kemitraan komprehensif (comprehensive partnership) antara Indonesia dengan Amerika Serikat, dimana salah satu bidang yang menjadi kesepakatan adalah bidang pendidikan. Dan karena istimewanya bidang pendidikan, Amerika Serikat secara khusus menginvestasikan dana sebanyak 165 juta US-dollar untuk menguatkan pendidikan tinggi Indonesia dalam berbagai program selama 5(lima) tahun ke depan.
Sebagai langkah awal dari kerjasama ini adalah kunjungan pimpinan beberapa universitas di AS ke Indonesia untuk mengadakan pertemuan dengan para pejabat terkait di Departemen Pendidikan Nasional, dan melakukan site visit ke beberapa kampus perguruan tinggi di Indonesia yang berpotensi dan memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan universitas-universitas di AS. Kunjungan ini diharapkan dapat mendefinisikan bidang-bidang kerjasama secara lebih spesifik serta mengatur strategi dan langkah-langkah yang diperlukan. Kunjungan berlangsung dari tanggal 26 Juli hingga 1 Agustus 2009, dan delegasi yang melakukan kunjungan ke Indonesia ini berjumlah 31 orang, terdiri dari 26 orang pimpinan dari 25 universitas, Deputy Assistant Secretary of States, DoS, Presiden USINDO, Presiden dan Direktur East West Center. Hasil kunjungan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Presiden Obama tentang kerjasama RI-AS di bidang pendidikan sebelum melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada tahun ini. [4]
Dengan adanya kemitraan komprehensif ini, maka kekhawatiran terhadap semakin rusaknya generasi akibat sistem pendidikan pragmatis ini menjadi sangat beralasan. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat adalah negeri asal yang merupakan rahimnya sistem pendidikan ala Kapitalis, dimana filsafat pragmatisme yang menjadi ruhnya dan sekulerisme adalah fondasinya. Sementara kedua paham itu bertentangan dengan nilai-nilai dan jati diri bangsa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menganggap perlu diadakan pembahasan yang mendalam dalam rangka mencari solusi atas rusaknya generasi yang dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan pragmatis yang berorientasi pasar ini. Pembahasan ini kemudian diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi bagi para pemangku kepentingan agar rusaknya generasi dapat dihentikan dan dicegah. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia bermaksud mengadakan acara dengan tema CATATAN INTELEKTUAL MUSLIMAH UNTUK BANGSA: SISTEM PENDIDIKAN PRAGMATIS SEBAGAI FAKTOR PENDORONG RUSAKNYA KUALITAS GENERASI.
[1] Prof.Abuddin Nata, Pendidikan di Persimpangan Jalan, 2009
[2] Rum Rosyid, Perselingkuhan Dunia Pendidikan dan Kepentingan Kapitalis, 2010
[3] Sofyan Effendi, GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi, Makalah pada Diskusi “GATS: Neo-imperialisme modern dalam Pendidikan” diselenggarakan oleh BEM KM UGM, Yogyakarta, 22 September 2005
[4] Tabloid Diplomasi, Kunjungan Pimpinan Universitas AS dalam Kerangka Comprehensive Partnership, Edisi Agustus 2009 http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/34-agustus-2009/66-kunjungan-pimpinan-universitas-as-dalam-kerangka-comprehensive-partnership-pada-tanggal-26-juli-1-agustus-2009.html
Latar belakang
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menyadari pentingnya melahirkan generasi berkualitas. Oleh karena itu kualitas generasi suatu bangsa merupakan isu yang sangat penting untuk dicermati semua pihak. Karena kualitas generasi pada dasarnya menentukan kualitas dari bangsa atau peradaban itu sendiri. Bangsa dengan jumlah generasi yang besar namun tidak diiringi dengan kualitas yang memadai, hanya akan terbelenggu dengan banyak masalah, sebaliknya jika generasi dalam jumlah besar tersebut berkualitas, maka akan menjadi aset yang berharga bagi bangsa itu sendiri dan juga peradaban manusia pada umumnya.
Generasi berkualitas yang ideal adalah generasi yang melahirkan barisan pemimpin bangsa yang tidak hanya memiliki keahlian, melainkan juga memiliki kepribadian istimewa yang ditunjukkan oleh integritasnya pada nilai-nilai kebenaran. Kepribadian ini merupakan pancaran dari kesatuan pola pikir dan pola sikap yang benar dan luhur. Generasi seperti inilah yang bisa diharapkan menjadi penerus bangsa, yang akan membawa bangsanya menjadi bangsa besar, kuat, dan terdepan. Generasi seperti ini bila menjadi pemimpin tidak akan menggadaikan negerinya diperas dan dijajah oleh penjajah asing demi untuk memperkaya dirinya dan keluarganya. Tetapi sebaliknya, mereka rela berkorban untuk melindungi negerinya dari cengkraman penjajahan dalam bentuk apapun.
Jika kita menilik kondisi generasi yang ada di Indonesia, maka nampaknya masih jauh dari gambaran generasi berkualitas. Pada level akar rumput kita dapati banyak terjadi konflik horisontal baik yang dilakukan pelajar bahkan mahasiswa, serta pudarnya pergerakan mahasiswa yang kritis, cerdas, dan pro rakyat. Sementara di tingkat elit, fenomena munculnya pemimpin-pemimpin muda tanpa integritas pada pentas politik adalah problem serius. Walhasil, di negeri ini sangat langka mendapati sosok pemimpin berintegritas yang bisa melindungi rakyat. Seluruh realita ini bukan lagi sekedar kasus rendahnya kualitas, namun mengindikasikan secara sistemik bangsa ini telah kehilangan generasinya yang berkualitas.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami betapa strategisnya posisi sebuah sistem pendidikan dalam mewujudkan generasi pemimpin bangsa. Baik pendidikan di tingkat dasar, menengah dan tinggi. Setiap jenjang tersebut memiliki level kontribusi yang khas pada pembentukan karakter generasi dan pemberdayaan generasi tersebut untuk kepentingan strategis bangsa. Peran pendidikan dasar adalah penanaman nilai mendasar yang membentuk karakter kepribadian generasi, pendidikan menengah menyiapkan generasi memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan masyarakat, dan pendidikan tinggi membentuk generasi memiliki kompetensi dan keahlian profesional yang diarahkan untuk kepentingan strategis bangsa yang lebih luas. Sinergi ketiga jenjang tersebut secara berkesinambungan -jika negara memiliki visi dan paradigma kuat- akan melahirkan generasi dengan kualifikasi pemimpin.
Meski demikian suatu sistem pendidikan akan sangat dipengaruhi oleh warna kebijakan dan perangkat sistem negaranya. Sistem politik dan ekonomi punya pengaruh signifikan terhadap visi dan paradigma negara dalam mendesain sistem pendidikannya. Sistem politik pemerintahan yang fungsinya memimpin dan melindungi rakyat, dan sistem ekonomi yang fungsinya mengelola sumber daya ekonomi untuk menyejahterakan rakyat tentu akan menentukan bagaimana sebuah sistem pendidikan itu didesain dan dijalankan.
Begitupula yang terjadi di negeri ini, sistem politik ekonomi yang diterapkan jelas sangat mempengaruhi sistem pendidikannya. Ketika sistem politiknya diwarnai oleh pragmatisme politik yang kental dan sistem ekonominya memiliki tata kelola SDA yang kapitalistik dan tidak mensejahterakan rakyat; maka yang terjadi justru dengan mudahnya arus pragmatisme merasuki sistem pendidikan nasional di semua jenjang. Bahkan dari tingkat dasar. Lompatan-lompatan kebijakan selama dua dekade terakhir, membawa pergeseran signifikan bagi kualitas generasi kita ke arah perusakan. Sikap pemerintah yang sekedar mengikuti arus global dan sistem pendidikan nasional yang miskin visi hanya mengarahkan penciptaan kapasitas peserta didik untuk memenuhi kebutuhan pasar atau industri.
Memang benar suatu bangsa membutuhkan sumber daya manusia untuk mengisi kebutuhan industri. Namun harus dilandasi dengan bangunan mentalitas yang benar dan berdasar kepada kekuatan visi negaranya. Krisis kepemimpinan yang dialami oleh bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari orientasi pendidikan kita yang hanya memenuhi tuntutan pasar global akibat dari sistem pendidikan nasional yang miskin visi. Sehingga generasi yang dilahirkan dari sistem ini adalah generasi yang tidak berkarakter yang hanya mengikuti dan memenuhi apa yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Maka bangsa kita tak lebih dari bangsa pekerja.
Pendidikan yang berorientasi kepada kebutuhan pasar bebas berarti telah menjadikan pendidikan layaknya komoditas yang diperdagangkan. Pendidikan kemudian tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, kapitalistik, dan pragmatis. Berbagai komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen pengelolaan, dan berbagai komponen pendidikan lainnnya harus tunduk pada hukum pasar dan logika bisnis. Selain itu, pendidikan yang dijual tersebut harus mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional yang kredibel, melalui sertifikat akreditasi yang diakui (recognize).
Lembaga pendidikan dengan pendekatan bisnis juga harus memiliki sistem dan infra-struktur yang dijiwai oleh budaya bisnis yang unggul (corporate culture). Logika bisnis yang bertumpu pada pola pikir materialistik, ekonomis, dan pragmatis. Setiap orang yang akan memasuki sebuah perguruan tinggi misalnya, terlebih dahulu bertanya: Nanti kalau sudah lulus bisa jadi apa? Kerjanya di mana? Dan gajinya berapa? Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan ini tentunya adalah: jika sudah lulus akan memiliki gelar dan keahlian yang sangat mudah mendapatkan kerja dengan gaji yang besar. Jika program studi atau satuan pendidikan tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka program studi tersebut akan kehilangan pasar.
Sistem pendidikan pragmatis berorientasi pasar sebenarnya berkembang bukanlah tanpa sengaja. Awalnya digagas di Amerika Serikat yang menemukan hasil penelitian pada tahun 60-an terkait investasi di bidang pendidikan, yang ternyata investasi di bidang pendidikan jauh lebih menguntungkan daripada investasi di bidang saham.[1] Setelah itu, Amerika Serikat membiayai penelitian terapan di bidang pendidikan tidak kurang dari enam miliar dollar. Hasilnya, Amerika Serikat memiliki sistem pendidikan pragmatis yang berorientasi pasar. Standarisasi terhadap semua aspek pendidikan mereka lakukan, dan hasilnya diakui dunia karena lulusannya sangat unggul dan mampu bersaing merebut peluang. Untuk itu sejak tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia. [2]
Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia, hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah satu komoditas yang diperdagangkan. Kesepakatan ini dimotori oleh WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.
Dengan ditandatanganinya GATS, walhasil sistem pendidikan pragmatis yang pro-pasar semakin banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia. Agar GATS berkiprah di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia maka intervensi pemerintah dalam sektor jasa harus dihilangkan. Indonesia dengan penduduk lebih dari 210 juta jiwa, dengan tingkat partisipasi pendidikan tinggi sekitar 14% dari usia 19-24 tahun, ditambah visi dan perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah akhirnya mutu pendidikan juga rendah, maka Indonesia pun menjadi incaran negara-negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan.
Enam negara yang telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan adalah Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sepanjang hayat, dan pendidikan profesi, dan vokasi. Jelas modus kerjasama seperti ini akan lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi. Sebuah kerjasama pendidikan kalau dilaksanakan dalam kondisi interdependensi simetris antar negara memang dapat menguntungkan kedua negara untuk mengembangkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Tapi dalam kondisi interdependensi a-simetris dan lebih-lebih bila penyediaan jasa pendidikan tinggi lebih dilandasi oleh motif for-profit semata, maka negara berkembang yang jelas akan menjadi korban dan dikorbankan.[3]
Ironisnya pada perkembangannya, arus pragmatisasi sistem pendidikan kini kian tak terbendung, pintu masuknya bukan hanya dari WTO dengan GATS-nya, melainkan juga langsung melalui kerjasama bilateral. Adalah kemitraan komprehensif (comprehensive partnership) antara Indonesia dengan Amerika Serikat, dimana salah satu bidang yang menjadi kesepakatan adalah bidang pendidikan. Dan karena istimewanya bidang pendidikan, Amerika Serikat secara khusus menginvestasikan dana sebanyak 165 juta US-dollar untuk menguatkan pendidikan tinggi Indonesia dalam berbagai program selama 5(lima) tahun ke depan.
Sebagai langkah awal dari kerjasama ini adalah kunjungan pimpinan beberapa universitas di AS ke Indonesia untuk mengadakan pertemuan dengan para pejabat terkait di Departemen Pendidikan Nasional, dan melakukan site visit ke beberapa kampus perguruan tinggi di Indonesia yang berpotensi dan memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan universitas-universitas di AS. Kunjungan ini diharapkan dapat mendefinisikan bidang-bidang kerjasama secara lebih spesifik serta mengatur strategi dan langkah-langkah yang diperlukan. Kunjungan berlangsung dari tanggal 26 Juli hingga 1 Agustus 2009, dan delegasi yang melakukan kunjungan ke Indonesia ini berjumlah 31 orang, terdiri dari 26 orang pimpinan dari 25 universitas, Deputy Assistant Secretary of States, DoS, Presiden USINDO, Presiden dan Direktur East West Center. Hasil kunjungan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Presiden Obama tentang kerjasama RI-AS di bidang pendidikan sebelum melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada tahun ini. [4]
Dengan adanya kemitraan komprehensif ini, maka kekhawatiran terhadap semakin rusaknya generasi akibat sistem pendidikan pragmatis ini menjadi sangat beralasan. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat adalah negeri asal yang merupakan rahimnya sistem pendidikan ala Kapitalis, dimana filsafat pragmatisme yang menjadi ruhnya dan sekulerisme adalah fondasinya. Sementara kedua paham itu bertentangan dengan nilai-nilai dan jati diri bangsa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menganggap perlu diadakan pembahasan yang mendalam dalam rangka mencari solusi atas rusaknya generasi yang dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan pragmatis yang berorientasi pasar ini. Pembahasan ini kemudian diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi bagi para pemangku kepentingan agar rusaknya generasi dapat dihentikan dan dicegah. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia bermaksud mengadakan acara dengan tema CATATAN INTELEKTUAL MUSLIMAH UNTUK BANGSA: SISTEM PENDIDIKAN PRAGMATIS SEBAGAI FAKTOR PENDORONG RUSAKNYA KUALITAS GENERASI.
[1] Prof.Abuddin Nata, Pendidikan di Persimpangan Jalan, 2009
[2] Rum Rosyid, Perselingkuhan Dunia Pendidikan dan Kepentingan Kapitalis, 2010
[3] Sofyan Effendi, GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi, Makalah pada Diskusi “GATS: Neo-imperialisme modern dalam Pendidikan” diselenggarakan oleh BEM KM UGM, Yogyakarta, 22 September 2005
[4] Tabloid Diplomasi, Kunjungan Pimpinan Universitas AS dalam Kerangka Comprehensive Partnership, Edisi Agustus 2009 http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/34-agustus-2009/66-kunjungan-pimpinan-universitas-as-dalam-kerangka-comprehensive-partnership-pada-tanggal-26-juli-1-agustus-2009.html