SANA’A (Arrahmah.com) – Saat perang Yaman hampir mendekati satu tahun pertama, keadaan sistem kesehatan di sana tidak pernah membaik. Lebih dari 6.000 orang, sekitar setengah dari mereka adalah warga sipil, telah tewas sejak dimulainya kampanye udara oleh pasukan koalisi pimpinan Saudi melawan milisi Syiah Houtsi Maret 2015.
Menurut laporan PBB, lebih dari 21 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaaan, sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan bahwa sistem kesehatan Yaman berada di ambang kehancuran, lansir Al Jazeera pada Sabtu (12/3/2016).
Tariq Noman, seorag ahli bedah jantung dari Yaman yang berbicara di Konferensi Krisis Kemanusiaan di Qatar pada bulan lalu, mengatakan bahwa situasi saat ini adalah bencana.
“Milisi Houtsi telah menyerang rumah sakit, ambulans dan staf medis secara langsung. Rumah sakit di Taiz telah menjadi target penembakan dari Houtsi hampir setiap harinya,” ujar Noman kepada Al Jazeera.
“Tapi apa yang bisa kami lakukan? Kami harus pergi bekerja dan melakukan pekerjaan kami.”
Noman mengatakan bahwa pekerjaannya merawat pasien dengan beberapa luka tembak, patah tulang dan cidera pembuluh darah.
“Kami menerima setiap jenis cidera trauma yang bisa Anda bayangkan, dan kami mencoba sebaik mungkin untuk menyelamatkan banyak nyawa semampu yang kami bisa dan meminimalkan cacat dengan sumber daya dan pasokan medis yang sangat tipis. Kami juga merawat beberapa anggota Houtsi yang tertangkap oleh pasukan perlawanan. Kami tidak membeda-bedakan, karena pekerjaan kami adalah kemanusiaan.”
Noman yang mendirikan rumah sakit lapangan untuk mengobati para pengunjuk rasa yang terluka selama pemberontakan Yaman di tahun 2011, mencatat bahwa pelayanan kesehatan di Yaman tidak pernah sampai ke standar karena kelalaian kronis oleh rezim pimpinan Ali Abdullah Saleh, namun perang telah membuat semuanya semakin memburuk.
Sejak Februari lalu, Noman bekerja di rumah sakit pemerintah di Taiz yang telah dikepung oleh pemberontak Houtsi.
Menurut PBB, 600 fasilitas kesehatan telah dianggap non-fungsional karena kerusakan yang berhubungan dengan konflik atau kekurangan staf dan perlengkapan.
“Pengiriman bantuan kesehatan di negara ini menjadi lebih menantang dari sebelumnya,” ujar Pranav Shetty, koordinator kesehatan Korps Medis Internasional.
“Kami telah mencoba untuk memberikan pasokan ke tempat-tempat seperti Taiz dan Aden, tetapi sifat tak terduga dari konflik telah menjadi rintangan utama untuk semua badan bantuan dan organisasi internasional yang beroperasi di Yaman,” lanjut Shetty mengatakan kepada Al Jazeera.
Ia menambahkan bahwa proses negosiasi dengan kelompok yang berbeda yang mengendalikan wilayah menghadirkan mimpi buruk bagi pekerja bantuan.
Bahkan, ketika pasokan bantuan tiba di kota terkepung seperti Taiz, mereka tida selalu mencapai penerima atau mereka tiba terlambat setelah obat-obatan penting telah kadaluarsa. Rumah sakit juga tidak memiliki peralatan yang diperlukan untuk beroperasi disaat jumlah korban terluka melonjak tajam dengan 27.000 orang dilaporkan terluka di Yaman sejak Oktober 2015.
Untuk mengatasi kebutuhan yang meningkat, staf rumah sakit telah melatih relawan dan mahasiswa kedokteran dalam merespon keadaan gawat darurat. Ketika dokter menerima sumbangan dana, mereka berbagi dana dengan relawan.
“Semua orang miskin di Yaman. Mereka tidak memiliki makanan. Kami mencoba untuk membantu mereka dengan makanan dan jatah kami,” ujar Noman.
“Tidak ada yang makan dengan baik di Yaman.”
Menurut laporan PBB, sekitar 14 juta orang di Yaman membutuhkan akses ke pelayanan kesehatan, dan konsultasi pasien ke fasilitas kesehatan negara itu menurun sekitar 20 persen sejak konflik dimulai. (haninmazaya/arrahmah.com)