Oleh Yulisna Zein | Pegiat Literasi
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( PPPA) Arifah Fauzi menyambut baik kehadiran Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) yang diikuti bukan hanya calon ulama laki-laki, namun juga calon ulama perempuan. Terlebih lagi di tengah dinamika sosial yang begitu kompleks saat ini, membutuhkan sosok ulama yang memiliki perspektif gender.
Dalam kesempatan tersebut beliau juga membeberkan Fakta Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 sekitar satu dari empat perempuan usia 15- 64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual dari pasangan dan atau selain pasangan sepanjang hidupnya.
Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan, sekitar 50,78 persen anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidup mereka. Persentase anak laki-laki sebesar 49,83 persen sedangkan untuk anak perempuan sebesar 51,78.
Dari data di atas menunjukkan kita bahwa perjuangan untuk mengakhiri ketimpangan gender dan kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi persoalan besar yang sudah harus kita selesaikan bersama- sama.
Tidak salah jika dikatakan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan hal penting untuk dapat mewujudkan ketahanan keluarga. Hanya saja yang menjadi masalah adalah pemberdayaan perempuan seperti apa yang mampu mewujudkannya?
Sarat Aroma Feminisme
Apabila kita melihat konsep pemberdayaan perempuan yang ditawarkan oleh Menag, terlihat jelas bahwa feminisme yang diusung. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan Menag yang menyatakan bahwa yang menjadi sorotan adalah peran perempuan dalam menciptakan generasi berkualitas serta mendorong kesetaraan gender di Indonesia sehingga pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas utama.
Adanya konsep kesetaraan gender ini mendorong perempuan mendapatkan hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Pemberdayaan perempuan versi feminisme mengarah pada pemberdayaan perempuan dalam politik dan ekonomi. Ini sama saja dengan memberikan kebebasan kepada perempuan agar bisa berkiprah dalam masyarakat setara dengan dan berkiprah dalam dunia kerja agar bisa menghasilkan sesuatu secara materi. Tentu saja hal ini harus diwaspadai.
Ketika perempuan memilih bekerja ataupun berkecimpung dalam politik praktis, mereka harus berjibaku dari pagi hingga petang bahkan malam, atau dari malam hingga pagi lagi, demi sebuah kemandirian dan kebebasan atas nama kesetaraan. Apa yang kemudian didapat? Terkurasnya tenaga dan pikiran. Sementara itu, para suami mereka yang juga pulang dari bekerja membutuhkan perhatian dan pelayanan dari para istri, akibatnya komunikasi tidak tercapai.
Ketika kurangnya komunikasi ini terjadi di antara pasangan suami istri tentu kelamaan akan menjadi bara dalam sekam yang akhirnya memicu konflik di antara mereka. Tidak hanya itu, anak-anak pun sering kali menjadi korban. Buah hati di rumah yang menunggu senyuman dan belaian lembut tangan sang bunda akhirnya harus menelan kekecewaan. Mereka bahkan tak sempat memberi senyuman, ataupun sekedar sapaan karena anaknya sudah tertidur akibat kelelahan menunggu .
Betul bahwa perempuan harus berdaya, hanya saja tidak dengan pemberdayaan versi feminisme yang merupakan buah dari sistem sekuler kapitalisme yang masih diterapkan hingga detik ini.
Kemana Pemberdayaan Perempuan Harus Menuju?
Sungguh pemberdayaan perempuan ala kapitalisme sekuler telah menggiring perempuan keluar rumah dan berpeluang besar menjadikan perempuan ikut menjadi pemutar roda industri kapitalistik.
Sekarang saatnya bagi kita meninggalkan konsep pemberdayaan perempuan ala kapitalis dan kembali pada sistem yang berasal dari sang pencipta, yaitu Islam. Islam tegak di atas keyakinan bahwa Allah Swt adalah pencipta dan sekaligus sebagai pengatur kehidupan. Oleh karena itu, dari aspek syariat bagi pengaturan kehidupan, termasuk tentang hubungan perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan pembagian peran dan fungsi di antara keduanya, Islam memiliki konsep yang ideal, lurus, dan komprehensif.
Adapun pemberdayaan perempuan perspektif Islam adalah upaya pencerdasan muslimah hingga mampu berperan menyempurnakan seluruh kewajiban yang datang dari Allah Swt, baik dalam peran utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait maupun berjanji sebagai bagian dari masyarakat. Pemberdayaan perempuan muslimah diarahkan sebagaimana ia berperan sebagai istri dan ibu sesuai tutunan Islam dan orang yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Ia pun turut serta membawa umat menuju kesejahteraan dengan melakukan dakwah di tengah umat.
Di sisi lain, kepala negara (khalifah) di dalam sistem adalah raa’in yang akan menjalankan tanggung jawab jawabnya dan menjamin hak-hak dan mensejahterakan rakyatnya sesuai dengan tutunan syarak.
Kewajiban ini tidak akan dibebankan kepada rakyat, terutama perempuan. Negara akan membebaskan dari kemiskinan sehingga akan lahir kesejahteraan bagi rakyat. Kesejahteraan rakyat merupakan konsekuensi logistik dari adanya keadilan ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara (Khilafah), yaitu terpenuhinya semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhamul Iqtishadiy fil Islam)
Sungguh Islam telah memberikan peran dan keistimewaan bagi keduanya. Ketika keduanya mampu menjalankan peran dan posisi tersebut sesuai dengan tutunan Islam, sesungguhnya kemuliaan dan kebahagiaan akan dapat diraih.
Oleh karena itu, ketika seorang muslimah bisa berperilaku sebagai istri dan ibu, atau dengan kata lain mampu menjalankan peran utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait dengan maksimal dan menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya, kemuliaan pun dapat diraih. Dengan berusaha menjalankan perintah Allah secara kafah, seorang istri akan dapat menjalankan kewajibanya dan memenuhi hak-hak suaminya. Sebaliknya pula, para suami akan memenuhi hak-hak istrinya dan menjalankan kewajibannya sesuai tuntunan Islam.
Islam juga tidak hanya mengatur peran perempuan, melainkan juga menjamin peran tersebut dapat terealisasi dengan sempurna melalui serangkaian hukum yang praktis. Upaya pemberdayaan keduanya tidak boleh lepas dari upaya pemberdayaan anggota masyarakat secara keseluruhan sesuai sudut pandang Islam. Langkah yang harus dilakukan seluruh muslim (laki-laki maupun perempuan) tidaklah berbeda.
Langkah awal yang dilakukan adalah mengubah pola pikir diri kita dan umat dengan tsaqafah Islam sehingga umat akan berpikir dan berbuat dengan cara yang benar dan landasan yang benar, yaitu akidah Islam. Adapun caranya yaitu dengan membina diri kita dan umat dengan Islam.
Melalui pelatihan ini, akan terbentuk pemahaman Islam di tengah umat yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku berperilaku dan mendorong mereka untuk siap bergerak menyampaikan dakwah Islam, yang diatur oleh hukum-hukum Islam, dan senantiasa mengupayakan agar pemerintahan Allah dan Rasul-Nya tegak di muka bumi ini. Dengan sistem Islamlah kita akan mampu meraih kemajuan, yaitu sebagai umat terbaik, khaira ummah di muka bumi ini, Insya Allah.
Wallahua’lam