RIYADH (Arrahmah.id) — Proyek kota futuristik Arab Saudi NEOM yang katanya disebut-sebut sebagai “proyek ekologis kelas tinggi”, ternyata menuai banyak kritik internasional atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut laporan terbaru dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), seperti dilansir DW (19/5/2023), warga suku Howeitat yang tinggal di wilayah yang dialokasikan untuk kota NEOM terpaksa mengungsi dan rumah mereka dihancurkan tanpa kompensasi yang memadai.
Satu warga Howeitat telah terbunuh dan hukuman mati dikenakan pada tiga anggota suku lainnya, sementara tiga orang lainnya dijatuhi hukuman penjara 50 tahun atas tuduhan terorisme.
“Meski dituduh melakukan terorisme, mereka dilaporkan ditangkap karena menolak penggusuran paksa atas nama proyek Neom dan pembangunan kota linier sepanjang 170 km yang disebut The Line,” kata laporan itu.
Semua pelanggaran hak asasi manusia ini terjadi terlepas dari janji penguasa de facto Arab Saudi, Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman (MBS) bahwa warga yang terkena dampak pekerjaan konstruksi akan mendapat kompensasi memadai.
“Brosur yang mengkilap tidak menunjukkan bahwa ini adalah kota yang dibangun berdasarkan penggusuran paksa, kekerasan negara, dan hukuman mati,” kata Jeed Basyouni, Direktur Timur Tengah Organisasi HAM Reprieve, kepada DW. Baginya, Neom melambangkan “jurang antara visi hebat MBS tentang Arab Saudi dan realitas represif pemerintahannya.”
Pandangan ini juga digaungkan oleh Lina al-Hathloul, Direktur Komunikasi ALQST, pengawas hak asasi manusia Saudi yang berbasis di London.
“Perhatian utama kami adalah bahwa Neom dibangun di atas darah Saudi,” katanya.
“Pengadilan terhadap suku dilakukan secara tertutup. Untuk memajukan proyek, pengadilan bahkan siap mengeksekusi orang,” kata Lina al-Hathloul.
Neom bukan satu-satunya tempat di Arab Saudi di mana orang-orang digusur secara paksa. Dari Januari hingga Oktober 2022, pihak berwenang di kota pelabuhan Jeddah telah menghancurkan banyak rumah untuk melaksanakan rencana pembangunan perkotaan. Dalam prosesnya, ribuan orang menjadi korban penggusuran paksa, termasuk warga negara asing, sebagaimana dilaporkan Amnesty International.
Di tingkat internasional, ada peluang untuk memengaruhi arah kebijakan hak asasi manusia Saudi, kata Sebastian Sons.
Di masa lalu, tekanan internasional yang meningkat telah menyebabkan eksekusi ditangguhkan, atau aktivis hak asasi manusia seperti Loujain al-Hathloul dibebaskan dari penjara, meskipun terkadang mereka berada di bawah pengawasan ketat dan larangan bepergian.
“Itu berarti bahwa semakin tinggi tekanan pada pemerintah Saudi untuk benar-benar melakukan sesuatu di sini, semakin besar kemungkinan mereka bersedia menemukan perdamaian, solusi yang menyelamatkan muka,” kata Sebastian Sons. (hanoum/arrahmah.id)