Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani | Pakar Kajian Akhir Zaman
(Arrahmah.com) – Di antara pembahasan akhir zaman yang mengundang kontroversi adalah persoalan umur umat Islam. Buku yang sempat menghebohkan umat Islam lantaran mengangkat persoalan هرمجدون آخر بيان يا أمة الإسلام. Ditulis oleh Amin Muhammad Jamaluddin. Dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia berjudul Huru-hara Akhir Zaman.
إِنَّمَا أَجَلُكُم فِي أَجَلِ مَنْ خَلَا مِنَ الْأُمَمِ مَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعَصْرِ وَمَغْرِبِ الشَّمْسِ
“Sesungguhnya ajal kalian dan ajal umat-umat yang telah lalu hanyalah seperti masa antara shalat ashar dan tenggelamnya matahari.”
(HR. Al-Bukhari no. 3459)
Mengomentari buku yang menghebohkan ini, Al-Ustadz Hamid bin Abdillah Al-‘Ali mengatakan bahwa beliau tetap menghargai niat dan usaha penulisnya untuk mengingatkan umat Islam akan datangnya hari kiamat. Dan beliau juga berpesan agar para pembaca buku ini tidak gampang bersu’uzhan kepada penulisnya. Namun beliau juga mengingatkan kepada penulis buku ini agar tidak menggunakan rujukan yang tidak ada sumber hadits yang kuat dan menghindari hadits palsu.
Pangkal yang menjadi pembahasan umur umat Islam adalah berangkat dari hadits tentang sisa ajal (umur) Umat Islam sebagaimana yang termuat dalam riwayat berrikut:
“Perumpamaan kaum Muslimin dan Yahudi serta Nasrani, seperti perumpamaan seorang yang mengupah satu kaum (Yahudi) untuk melakukan sebuah pekerjaan sampai malam hari, namun mereka melakukannya hanya sampai tengah hari. Lalu mereka pun berkata, “Kami tidak membutuhkan upah yang engkau janjikan pada kami, dan apa yang telah kami kerjakan, semuanya bagi-mu” Ia pun berkata, “Jangan kalian lakukan hal itu, sempurnakanlah sisa waktu pekerjaan kalian dan ambillah upah kalian dengan sempurna”. Mereka (Yahudi) pun menolak dan meninggalkan orang itu. Maka orang itu mengupah beberapa orang (Nasrani) selain mereka (Yahudi), ia berkata: “Kerjakanlah sisa hari kalian dan bagi kalian upah yang telah aku janjikan untuk mereka (Yahudi)”. Sehingga ketika tiba waktu sholat Ashar, mereka (Nasrani) berkata, “Ambillah apa yang telah kami kerjakan untukmu dan juga upah yang engkau sediakan untuk kami.” Orang itu berkata, “Sesungguhnya sisa waktu siang tinggal sedikit.” Mereka (Nasrani) tetap menolak, sehingga orang itu mengupah satu kaum yang lain (Muslimin) untuk melanjutkan pekerjaan sehingga selesai sisa hari mereka (Nasrani). Maka kaum itu (Muslimin) pun bekerja pada sisa hari mereka (Nasrani), yaitu sehingga terbenamnya matahari dan mereka pun mendapat upah yang sempurna yang dijanjikan kepada dua kelompok sebelumnya. Seperti itulah perumpamaan mereka (Yahudi dan Nasrani) dan perumpamaan apa yang kalian (Muslimin) terima pada cahaya (hidayah) ini.[1]
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا أَجَلُكُم فِي أَجَلِ مَنْ خَلَا مِنَ الْأُمَمِ مَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعَصْرِ وَمَغْرِبِ الشَّمْسِ
“Sesungguhnya ajal kalian dan ajal umat-umat yang telah lalu hanyalah seperti masa antara shalat ashar dan tenggelamnya matahari.” (HR. Al-Bukhari no. 3459)
Juga disebutkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Kami duduk di sisi Rasulullah Saw dan waktu itu matahari sudah tertutup gunung Qauqi’ain setelah Ashar, Nabi bersabda: Tiadalah umur kalian dibandingkan dengan umur orang dahulu kecuali seperti sisa siang hari yang sudah lewat. (Musnad Ahmad 8/176)
Hadits-hadits di atas semuanya menunjukkan bahwasanya apa yang tersisa dari umur dunia dibandingkan umurnya yang telah lalu adalah waktu yang sangat sedikit. Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum terakhir yang hidup di muka bumi, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terakhir yang Allah subhanahu wa ta’ala utus kepada manusia.
Rasulullah saw memberikan perumpamaan bahwa sisa umur umat Islam seperti sisa waktu ashar hingga terbenamnya matahari. Karena dalam riwayat lain disebutkan bahwa umur orang Yahudi seperti jarak antara waktu Shubuh dengan Dhuhur, sedang umur orang Nashrani seoerti jarak antara waktu Dhuhur dengan waktu Ashar. Maka terbenamnya matahari bisa bermakna berakhirnya umur umat Islam, yaitu ketika datangnya angin lembut yang mencabut setiap nyawa yang di dalam hatinya ada keimanan walapun sebesar biji sawi. Batas waktu tersebut menggambarkan jarak yang sangat dekat dengan peristiwa kiamat, sebab yang tersisa di muka bumi tinggal orang kafir, dimana kiamat dalam bentuk kehancuran alam semesta akan menimpa kepada mereka. Dengan demikian waktu maghrib adalah waktu dekatnya kiamat dan waktu setelahnya bisa juga bermakna hari akhir atau kehidupan akhirat. Wallahu a’lam bish shawab.
Pesan yang tersirat di balik perumpamaan umur umat Islam seperti sisa waktu antara Ashar hingga Maghrib
Ada yang menarik untuk direnungkan ketika Rasulullah saw menggambarkan bahwa kehidupan kita sekarang seperti kondisi bada Ashar. Pada saat yang sama Allah swt mengingatkan manusia akan pentingnya memperhatikan waktu Ashar. Allah berfirman: Demi waktu Ashar (wal Ashri). Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (Al-Ashr ;1-3)
Para ulama menjelaskan bahwa apabila Allah swt bersumpah dengan makhluk-Nya, maka itu merupakan isyarat agar manusia memperhatikan apa yang menjadi objek sumpah tersebut. Karena, pasti hal itu sangat penting untuk dan memiliki makna yang sangat mendalam. Maka, dalam hal ini Allah menginginkan agar manusia memperhatikan waktu Asharnya.
Kalau kita perhatikan secara umum, ternyata perilaku kebanyakan manusia dalam menggunakan waktu bada ashar sangat tergantung dengan rencana dan planing mereka di waktu isya dan setelahnya. Jika mereka memiliki rencana, program dan pekerjaan penting, maka mereka akan menggunakan waktu Asharnya untuk menyiapkannya. Namun bila mereka tidak memiliki rencana dan planing besar untuk bada Isya-nya, maka kebanyakan kita cenderung santai dan menggunakan waktu Ashar untuk hal hal yang tidak bernilai.
Jika hal itu kita kiaskan dengan perbandingan umur umat Islam dan perjalanan waktunya, maka bisa kita simpulkan bahwa sikap hidup manusia di dunia (tentang bagaimana mereka menggunakan usia dan mengisi kehidupannya), semua sangat tergantung dengan rencana dan program dia nanti dalam kehidupan alam barzakh dan akhiratnya.
Karenanya, visi dan paradigma manusia tentang kehidupan di dunia sangat tergantung dengan rencana dan planing mereka tentang kehidupan akhiratnya. Bagi orang beriman, karena dia akan merencanakan kehidupan akhirat yang terbaik (surga), maka dia akan mengisi waktu dalam kehidupannya untuk memperbanyak bekal bagi kehidupan akhiratnya. Seorang mukmin sadar bahwa surga sangat mahal, maka harus ditebus dengan amalan spesial yang bisa mendatangkan rahmat Allah swt.
Allah mengingatkan orang-orang beriman untuk tidak meniru gaya dan lifestyle orang kafir, dimana kebanyakan orang kafir menjadikan dunia seperti taman bunga yang membuat mereka tergoda untuk memetiknya.
Allah berfirman:
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. [Ali Imran / 3 : 196-197]
Dalam ayat lain disebutkan:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى (131)
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabb kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Thaha 131)
Maka, bagi orang kafir dunia seperti bunga yang merah merona, segar, cantik, indah dan bau harumnya menggoda seseorang untuk memetiknya. Namun, begitu bunga tadi dipetik, maka tak berapa lama bau harumnya akan hilang, keindahannya akan pudar, merah segarnya akan segera layu, lalu mengering dan hilang ditiup angin.
Begitulah kehidupan orang kafir, semua capaian materi duniawi yang berhasil mereka peroleh, seperti bunga yang bentuk dan bau harumnya menggoda. Namun setelah mereka mencapai semua kenikmatan materi tadi, maka dunia yang mereka peroleh harus ditinggalkan begitu saja saat ajal telah mendatanginya.
Adapun bagi orang beriman, dunia adalah ladang amal, negeri bercocok tanam. Bunga bukanlah hasil akhir. Musim bunga bukanlah waktu untuk memanen. Justru masa itu merupakan permulaan untuk menjadi buah yang kelak akan dipanen.
Orang beriman akan bersungguh-sungguh menggunakan waktunya di dunia untuk beramal sebanyak yang bisa dilakukannya, pada saat yang sama mereka akan menikmati sekedar kebutuhannya. Selebihnya akan mereka jadikan sebagai tabungan amal yang kelak dipetiknya saat berjumpa dengan Allah swt.
[1] HR Al Bukhari
(samirmusa/arrahmah.com)