KABUL (Arrahmah.com) – Pemeriksaan yang cermat terhadap berbagai laporan dan gambar/rekaman video bersama dengan kesaksian saksi mata dan korban, menjelaskan bahwa warga sipil Afghanistan adalah terget utama serangan mematikan yang dilancarkan oleh tentara salibis internasional NATO.
Meskipun pasukan koalisi mengklaim bahwa pembantaian sipil sebelumnya tidak sengaja, gerakan perdamaian yang dipimpin oleh rakyat Afghan yakin bahwa pembunuhan pembunuhan tersebut merupakan kelalaian paling buruk yang disengaja.
Kehadiran militer asing dan intervensi dalam sepuluh tahun terkahir telah memperburuk situasi Afghanistan sementara korban sipil terus meingkat menciptakan ketegangan antara pasukan koalisi, pemerintah boneka Afghan dengan rakyat Afghanistan.
Kejadian ini lebih lanjut dibawa ke dalam perspektif kerusakan manusia dan material semata akibat perang semata. Tidak ada yang menjadi terbiasa atau percaya dalam metode tidak logis ini, pemboman di dalam negeri untuk perdamaian.
Mentalitas ini tidak dibenarkan dan tidak sesuai norma. Kisah kekerasan harus selalu dipertanyakan. Orang-orang Afghan menginginkan keadilan dan akuntabilitas. Tidak mengherankan, mereka mendapatkan respon yang biasa dari NATO-sebuah penolakan awal korban sipil, pergeseran menyalahkan pemberontakan, investigasi sesekali dengan masuk ke jumlah palsu kematian sipil dan jarang meminta maaf secara resmi. Ini telah menjadi pola NATO. Menjelaskan dan kembali mengulangi serangan mematikan terhadap sipil sebagai “kesalahan”. Selanjutnya ini membuktikan bahwa solusi militer di Afghanistan bukanlah pilihan yang tepat.
Pasukan pimpinan NATO dilengkapi dengan teknologi paling canggih dengan kemampuan zoom bahkan pada benda terkecil dengan visi yang tepat. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa begitu banyak warga sipil sekarat. Untuk meletakkannya dalam perspektif, berikut ini adalah ikhtisar singkat terkompilasi dari serangan NATO baru-baru ini :
Dilaporkan bahwa total tiga kekejaman sipil dilakukan oleh pasukan koalisi dalam dua minggu. Perkiraan yang benar adalah empat.
– Distrik Alahsay, provinsi Kapisa (5 sipil) pada 17 Februari 2011
– Distrik Khoygani, provinsi Nangarhar (6 sipil) pada 20 Februari 2011
– Distrik Ghazi Abad, provinsi Kunar (60 lebih sipil) dalam empat hari operasi NATO
– Pegunungan Nanglam di provinsi Kunar (9 anak laki-laki) pada 1 Maret 2011.
Di provinsi Kapisa pada Kamis, 17 Februari, Gubernur distrik Alahsay, Muhammad Umar menegaskan bahwa lima warga sipil tewas oleh serangan udara NATO. Lima warga sipil, tiga dari mereka terdiri dari seorang pria dewaa dan dua anak-anak, dilaporkan mengalami kelaparan parah selama beberapa bulan terakhir dan putus asa untuk berburu, maka mengapa mereka membawa peralatan berburu burung.
Di provinsi Nangarhar pada 20 Februari, seluruh keluarga berjumlah enam orang tewas oleh serangan udara NATO di rumah mereka di distrik Khoygani. Sebuah foto yang diambil oleh Reuters menunjukkan bahwa rudal itu langsung menghantam atap rumah keluarga. Orang tua dan empat anak mereka berada di dalam ketika rudal tersebut menghantam rumah itu.
Setelah empat hari operasi NATO di distrik Ghazi Abad, provini Kunar, lebih dari 65 sipil tewas dan ini telah dikonfirmasikan oleh gubernur setempat. Lebih dari separuh korban adalah perempuan dan anak-anak. Berlawanan dengan banyak bukti, NATO menyatakan tidak ada warga sipil yang tewas dan kemudian bersikeras bahwa pemberontak (baca : Mujahidin-red) di antara korban tewas, meskipun penduduk desa menolak dengan keras pernyataan ini.
Dua laporan dari tim investigasi Afghanistan :
“Begitu warga desa mendengar tembakan dan pesawat menderu di atas kepala, mereka semua berjuang untuk berlindung di dalam parit tua yang digunakan oleh Mujahidin selama berjihad melawan Uni Soviet.”
“Mereka yang berhasil mencapai parit tewas ketika parit itu runtuh setelah dihantam roket atau bom yang ditembakkan dari helikopter koalisi,” ujar penyelidikan.
“Mereka yang berada dalam perjalanan menuju parit dibunuh oleh roket atau peluru. Saya mengunjungi parit, saya melihat orang tua, darah mengering, melihat perempuan dan pakaian anak-anak. Aku melihat dinding parit penuh noda darah. Aku melihat potongan selimut dan selimut kapas dari penduduk desa karena saat itu cuaca dingin,” ujar salah seorang penyidik.
Dalam upaya untuk menyembunyikan berita, NATO menahan dua jurnalis Al Jazeera, Abdullah Nizami dan Saedullah Sahel selama penyelidikan pembantaian massal di Kunar. Samer Alawi, kepala biro Al Jazeera di Kabul menyatakan penangkapan tersebut sebagai tindakan represif karena membuat mereka menyimpan laporannya. Laporan lain yang dirilis bulan lalu oleh Coloumbia Journalism Review, telah mendokumentasikan kesulitan pelaporan jumlah jujur dari perang Afghanistan.
Pada tanggal 1 Maret, helikopter NATO menewaskan 9 anak laki-laki Afghanistan, dan melukai satu lainnya. Hal ini terjadi tanpa peringatan terlebih dahulu, satu per satu anak menjadi sasaran. Mereka berusia tujuh sampai sembilan tahun, anak-anak itu berasal dari keluarga miskin dan tengah mengumpulkan kayu bakar di pegunungan. Bagaimana mungkin tentara NATO, sekali lagi, sulit membedakan antara anak-anak dengan Mujahidin?
Jenderal David Petraeus meminta maaf atas pembunuhan ini, namun mengenai serangan sebelumnya (yang menewaskan 65 orang lebih), ia menuduh orang tua Afghan sengaja membakar anak-anak mereka. Juru bicara Hamid Karzai menggambarkan komentar AS sebagai komentar yang rasis, menghina dan keterlaluan. Karzai sendiri telah menolak permintaan maaf Petraeus. Mohammad Bismil, saudara dari dua anak laki-laki yang tewas saat itu, tidak mempedulikan permintaan maaf Petraeus dan mengatakan : “Pilihan saya saat ini adalah mengangkat Kalashnikov, RPG atau mengenakan rompi peledak untuk membunuh lawan”.
Ayah dari dua anak itu mengatakan “mereka tidak memiliki nilai kemanusiaan dan tidak peduli dengan anak-anak”. (haninmazaya/arrahmah.com)