Oleh : Yuliyati Sambas, S.Pt
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam
(Arrahmah.com) – Pembelajaran adalah proses belajar yang dibangun untuk mengembangkan kreativitas berpikir peserta didik. Ia diselenggarakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru, dan kemampuan menguasai materi pelajaran dengan baik. Maka pembelajaran perlu didesain dengan baik, karena melibatkan interaksi peserta didik, pendidik (guru) dan sumber belajar pada sebuah lingkungan belajar. (amongguru.com)
Apa mau dikata, sejak pandemi merebak, proses pendidikan sebagai bagian vital dari pembentukan generasi berkualitas menemukan banyak kendala. Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) melalui metode daring pun menjadi satu pilihan yang paling rasional demi menghindarkan tersebarnya wabah di tengah masyarakat.
PGRI sebagai satu organisasi perkumpulan guru terbesar di negeri ini merasa turut terpanggil untuk mengambil peran sentral. Mewujudkan proses pendidikan bermutu di tengah terbatasnya ruang gerak pembelajaran tersebab pandemi yang mesti dituntaskan.
Salah satunya adalah apa yang diselenggarakan di Jawa Barat. Dilansir oleh dara.co.id bahwa telah dilaksanankan Konferensi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Bandung masa bakti XXII tahun 2020-2025. Acara ini mengangkat tema “Mewujudkan PGRI sebagai Organisasi Profesi dan Perannya dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Abad ke-21”, digelar di Gedung PGRI, Katapang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (31/8/2020).
TB Rucita sebagai Ketua Pelaksana Konferensi PGRI Kabupaten Bandung mengungkapkan bahwa kegiatan ini bisa lebih membentuk karakter guru-guru sehingga makin profesional dan inovatif. Terlebih, di masa pandemi Covid-19 ini, kinerja guru-guru pengajar agak terbatas dimana harus mematuhi protokol kesehatan.
Namun demikian, dalam proses perjalannya didapati pembelajaran daring (PJJ) menemukan banyak aral yang menjadi PR bersama untuk diselesaikan. Mulai dari kendala dari sisi kuota, fasilitas teknologi berupa gawai atau komputer, penguasaan teknologi siswa dan guru, juga sinyal. Hingga problem terkait tingkat daya serap siswa, efektivitas tersampaikannya materi ajar, dan perumusan kurikulum yang tepat diterapkan di masa pandemi.
Diperparah dengan fakta awetnya wabah singgah di negeri ini. Mengakibatkan efek kebosanan, stressing dan problem psikologis menjangkiti siswa, orangtua siswa hingga pihak guru. Tak heran muncul istilah anak bosan, orangtua darting, guru pun pusing. Hasil survey yang dilakukan oleh 4 dosen Fakultas Psikologi Unpad tampaknya bisa mewakili bukti buruknya dampak penerapan PJJ yang berkepanjangan. Penelitian ini spesifik menyasar 862 siswa, orangtua dan guru di Kota Bandung. Didapatkan hasil 19,6 persen mengaku cemas dan khawatir, 12,5 persen merasakan bosan, 9 persen merasa akan kehilangan kemampuan penguasaan materi, dan sebanyak 8,3 persen menyatakan butuh liburan di saat PJJ diperpanjang seperti yang terjadi saat ini. (Kompas.id, 13 Juli 2020)
Dari semua problematika efek pandemi bagi dunia pendidikan, tentu dibutuhkan setiap komponen bergandeng tangan. Mulai dari individu siswa yang bersinergis dengan orangtua dalam menjabarkan dan melaksanakan proses pembelajaran di rumah dengan sebaik-baiknya. Pihak sekolah terutama para guru, terus merumuskan kreativitas dan profesionalitasnya dalam menyampaikan setiap materi ajar agar bisa dipahami oleh siswa. Dan yang tak kalah urgennya adalah peran negara yang wajib hadir seutuhnya membersamai proses pendidikan. Guna mewujudkan pendidikan yang baik dan berkualitas baik di masa normal, terlebih ketika menghadapi ujian pandemi.
Menyadari hal itu kita bisa melihat kesungguhan upaya telah dilakukan oleh pihak individu dan sekolah dalam hal ini para guru. Meski tak semua masyarakat berada pada kondisi berkecukupan, namun perjuangan banyak individu demi teraihnya pendidikan bagi anaknya patut diapresiasi. Bertebarannya contoh mulia dari para orangtua yang berjuang dengan segenap kekuatan demi bisa mengadakan fasilitas gawai dan kuota bagi buah hati mereka.
Dari sisi siswa, mencari akses sinyal bagus menjadi perjuangan tersendiri bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Tak sedikit dari mereka harus ridha menempuh jarak yang jauh ke balik tebing, pegunungan, pinggiran sungai dan seterusnya. Mereka mengesampingkan keselamatan diri, demi meraih kebutuhan berupa pendidikan. Atau juga anak-anak SD yang bertarung menaklukan hari dengan berjualan es buah, pempek, nasi bungkus, cilok bahkan ayam kesayangan. Semua demi bisa membeli kuota dan HP untuk belajar daring.
Tapi tentu pemerintah jangan menutup mata, membiarkan masyarakat berjuang sendiri-sendiri. Kasus viralnya seorang ayah yang sampai gelap mata mengambil solusi mencuri. Atau ada siswi yang rela menggadaikan kehormatannya. Terakhir kejadian mengiris hati, seorang ibu yang tega menganiaya anak hingga tewas, dipicu oleh luapan emosi menghadapi ruwetnya menjalani pembelajaran daring. Semua itu adalah fakta-fakta miris yang tak seharusnya ada, jika pemerintah mau lebih memperhatikan kondisi rakyat beserta semua kebutuhan akan kesejahteraannya.
Kreativitas, profesionalitas dan kesungguhan upaya pihak sekolah dalam hal ini para guru pun patut diacungi jempol. Mereka berusaha memadukan sistem daring dan luring, dengan tujuan mampu sedikit mengurai benang kusut masalah pembelajaran di masa pandemi ini. Demikian banyak cerita heroik para guru demi bisa tersampaikannya amanah mendidik dan mengajar pada para siswa. Ada guru-guru yang demikian ikhlas merekap hasil tugas belajar dari siswanya hingga tengah malam. Tak sedikit dari mereka kesulitan kuota, maka meski dengan jarak yang jauh dan dalam kondisi pandemi mereka tetap berangkat ke sekolah. Demi bisa menggunakan fasilitas wifi gratis dari sekolah. Bertebaran kisah mengharukan para guru di wilayah terpencil. Mereka ikhlas hati berkeliling mengunjungi rumah-rumah siswa atau titik-titik tertentu yang tak sedikit, untuk pembelajaran luring atau sistem guru kunjung.
Sekali lagi pemerintah tentu tidak semestinya abai melihat semua kerja keras hingga kesulitan yang dihadapi rakyat. Sangat dibutuhkan peran institusi negara yang mampu menyelesaikan permasalahan ini. Dengan sumber daya APBN, kebijakan, dan perangkat kenegaraan lain yang ada di bawah kuasanya. Hal itu akan menjadi sokongan dengan daya jangkau yang meluas di tengah masyarakat.
Kebutuhan kuota, pengadaan HP, dan kendala sinyal menjadi sesuatu yang sulit untuk diselesaikan secara tuntas. Meski belakangan -sesudah sistem PJJ dilaksanakan selama setengah tahun- September ini pemerintah mengucurkan bantuan kuota sebesar Rp7,2 triliun. Namun besaran dan proses pembagiannya masih memunculkan kerumitan tersendiri. Tiang-tiang koneksi internet yang digadang-gadang mampu untuk menjawab satu di antara segudang persoalan nyatanya hingga kini belum mampu terealisasi. Semua memperlihatkan betapa negara masih belum ada seutuhnya untuk membereskan buruknya kondisi pendidikan di masa pandemi.
Sungguh semua keruwetan yang terjadi di atas tak lepas dari paradigma bernegara yang diadopsi oleh negeri ini. Sistem ekonomi kapitalis sekuler telah berhasil mencerabut kesungguhan dari pemerintah dalam mengurus setiap hajat kehidupan dari rakyat. Pemerintah memosisikan diri sebagai penjual sementara rakyat adalah pembeli dalam hubungannya atas akses kebutuhan hidup. Pendidikan menjadi salah satu aspeknya, sehingga muncul pameo miris ‘yang tak punya duit ga bisa sekolah’.
Begitupun dengan kebutuhan berupa kesehatan dan keamanan. Juga hajat dasar rakyat lainnya seperti sandang, pangan dan papan. Semua wajib ditebus dengan uang yang tak sedikit. Khasnya hubungan dagang antara penjual dan pembeli. Maka banyak anak negeri yang terengah-engah demi menebus biaya kebutuhan hidup yang kian melangit.
Sementara akses rakyat atas pekerjaan makin dipersempit dengan dibuatnya mekanisme kebijakan free trade market. Dimana arus jual beli barang, jasa bahkan pekerja bebas tanpa ada bentuk perlindungan negara bagi rakyatnya. Para pekerja asing pun sukses merangsek, menggeser posisi lahan pekerjaan yang semestinya ada untuk rakyat pribumi.
Itu dalam kondisi normal. Apatah lagi di saat wabah menyerang. Semua kian gelap. Prinsip kapitalis yang digenggam erat makin membutakan mata para punggawa negeri ketika mengurus rakyat. Abainya mereka terhadap kesulitan rakyat, kecenderungan mereka untuk lebih memilih menghamba pada kepentingan korporat dibanding rakyat. Seluruh fakta memilukan itu datang silih berganti tanpa rakyat pahami kemana hendak mengadu.
Sungguh sangat berbeda dengan pandangan Islam terkait hal ini. Islam sebagai agama paripurna, terdiri dari akidah sebagai dasar pijakan yang kokoh. Juga syariat yang terpancar demikian indah karena berasal dari Zat yang Maha Pencipta. Mustahil ada cacat dan cela jika manusia sebagai makhluk mau untuk menjalani kehidupannya dengan tunduk atas kuasa-Nya.
“…. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS. an-Nahl ayat 89)
Islam memandang bahwa perkara pengurusan rakyat adalah tanggungjawab penguasa. Dimana di yaumil hisab kelak, kedua kakinya tak kan bergeser hingga seluruh persoalan yang terjadi pada individu-individu di bawah pengurusannya selesai ditanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Seorang imam (penguasa) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Pendidikan sebagai urusan yang dibutuhkan oleh setiap individu rakyat tentu merupakan bagian dari perhatiannya. Islam mengamanatkan pada para penguasa untuk memberi kemudahan akses terhadapnya. Maka negara akan mengupayakan proses pendidikan berkualitas dapat diperoleh secara mudah dan gratis oleh semua lapisan rakyat (berdasarkan sirah Nabi saw. dan dalam kitab “Tarikh Daulah Khilafah Islam”, al-Baghdadi, 1996). Tentu dengan kualitas yang tak dibeda-bedakan. Perkara yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/perguruan tinggi, metode pengajaran, pemilihan bahan ajar. Juga penyediaan sarana prasarana pendidikan dimana termasuk di dalamnya adalah urusan penggajian para guru. Semuanya menjadi fokus perhatian penguasa (negara).
Lantas dari mana negara mendapatkan sumber dana yang luar biasa besar untuk mengcover itu semua? Baitulmal adalah jawabannya. Sebagai badan pemerintah yang mengurusi kas negara senantiasa siap mengucurkan dana dengan segera. Sumber dananya berasal dari harta milik rakyat (almilkiyah ammah), dalam hal ini sumber daya alam yang melimpah.
Adapun terkait pandemi, Islam mengamanatkan untuk diselesaikan dengan segera menggunakan prosedur yang telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw. dan diterapkan juga oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab.
Kala itu baik Rasulullah maupun Umar bin Khattab memberlakukan kebijakan serupa lockdown atas daerah terdampak wabah. Diberlakukan kebijakan berupa phsycal distancing, social distancing, dipisahkan yang sakit dari yang sehat, sementara yang sakit segera diobati. Disertai dengan full support atas semua kebutuhan rakyat yang ada di sana. Tak lupa edukasi dalam memperkokoh nafsiyah tiap individu bahwa wabah itu adalah sebentuk ujian dari-Nya yang wajib disikapi dengan penuh kesabaran dan rasa ridha. Sebagai bekal imun terbaik bagi semua rakyat yang terdampak.
Sementara bagi wilayah yang tak terdampak, tetap diberi keleluasaan untuk melakukan aktivitas seperti biasa.
Semua hal itu menjadi ikhtiar terbaik, demi terselesaikannya wabah dengan segera. Dengan tidak menzalimi rakyat sedikit pun, karena semua kebutuhan rakyat termasuk pendidikan tetap diselenggarakan dengan sebaik-baiknya oleh negara.
Hal ini mustahil bisa diwujudkan jika sistem kapitalis sekuler tetap melingkupi negeri. Lebih jauh butuh pula sinergisitas dari seluruh pihak, yakni individu, komponen masyarakat (termasuk di dalamnya sekolah) juga negara. Untuk saling mendukung mewujudkan sistem pendidikan yang berkualitas di masyarakat baik di masa normal maupun saat pandemi.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
(*/arrahmah.com)