JAKARTA (Arrahmah.com) – Larangan penggunaan istilah kafir untuk kalangan di luar Islam menuai kontrovesi pasca hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2019.
“Kata kafir menyakiti sebagian kelompok non-Muslim,” kata KH Abdul Muqsith Ghozali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU di Komisi Maudluiyah pada Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Kamis (28/2/2019).
Lalu, bagaimana penjelasan tentang istilah kafir?
Pengasuh LPD Al-Bahjah, Yahya Zainul Ma’arif, atau biasa disapa Buya Yahya, menjelaskan bahwa istilah kafir adalah penyebutan bagi orang yang tidak mengakui Allah subhanahu wa ta’ala, Islam dan Nabi Muhammad.
Menurut Buya Yahya, soal ini sudah tegas dijelaskan dalam Al-Quran dan hadis. Orang Yahudi dan Nasrani, dnonmuslim itu dari segi bahasa, dalam istilah bahasa Arabnya, mereka dalam Al-Quran disebut kafir.
“Mereka tidak boleh disebut kafir, karena Yahudi, Nasrani. Ini kalimat salah. Justru karena mereka Yahudi dan Nasrani, mereka itu kafir,” ujar Buya Yahya, dalam penjelasannya di channel Youtube Al Bahjah TV, Sabtu (2/3/2019).
“Saudaraku yang Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha, tolong dengar, ini ada kalimat istimewa buat anda. Kalau anda dengar sampai tuntas, jangan anda putus. Jadi sangat salah kalau mereka tidak bisa kita sebut kafir karena mereka ahli kitab, sangat salah. Karena apa? Al-Quran sendiri yang menjelaskan. Ayat yang anak kecil sudah hafal, lamyakunil lazina kafaru, tidak mereka orang-orang kafir. Min ahlil kitab. Ahli kitab dimasukkan. Wal musyrikin, jadi orang kafir ada ahli kitab. Ada orang musyrik, namanya kafaru, orang-orang kafir. Jadi kalau mereka tidak boleh disebut kafir, sangat salah. Karena dalam Al-Quran, istilah kafir sudah ada,” kata Buya Yahya.
Buya menerangkan, kafir dalam istilah bahasa artinya menutup. Dan dalam Islam, kafir adalah istilah bagi orang yang menutup diri, tidak menerima Islam dan tidak menerima Nabi Muhammad.
“Jadi bukan mencaci. Di sini tidak bahasa cacian. Anda tidak usah khawatir saudaraku yang beragama nashrani, kalau Anda dengar suara ini, Anda akan semakin yakin, bahwasanya kalimat kafir sangat tepat.”
“Kalau seorang Hindu, Nasrani, Yahudi dibilang kafir tidak boleh, berarti kebalikannya dong. Berarti mereka bukan kafir. Kafir itu maknanya apa? Tidak mengakui Nabi Muhammad. Kebalikannya apa? Mengakui Nabi Muhammad. Mereka pun tidak mau kalau dikatakan mengakui Nabi Muhammad. Ini coba berpikir sejenak,” lanjutnya.
“Sebenarnya permasalahannya kompleks, tidak tahu tujuannya apa, kita tak mengerti. Tapi kami khusnuzon kepada semua tujuannya baik. Yang ingin menggunakan kalimat nonmuslim, insya Allah tujuannya baik. Cuma kami ingin menjelaskan, kerena apa? Karena ada sangkut pautnya di dalam Al-Quran.”
“Jangan sampai orang di luar Islam nanti lalu kembali ke Al-Quran, loh ini kok Al-Quran ada kafirnya, ini enggak benar ini. Ini hadisnya enggak benar. Kalau orang Islam mudah memahami. Karena nonmuslim itu bahasa Indonesia. Bahasa Arabnya tetap kafir,” paparnya.
Buya menegaskan, penggunaan istilah kafir sudah berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekah. Kemudian, di Madinah, istilah ini pun tetap berlaku dan disebutkan oleh Rasulullah.
“Kenapa kami jelaskan seperti ini? Karena ada istilah ini di dalam Alquran. Dan Alquran berlaku di negeri apa pun. Di negeri kafir, di negeri Islam, di negeri perang, tetap berlaku agama Nabi Muhammad dan istilah Al-Quran.”
“Kita ingin jangan bikin keragu-raguan umat. Jadi makna kafir adalah yang tidak menerima Islam dan Nabi Muhammad. Maka siapa pun yang tidak menerima Islam dan Nabi Muhammad, itu kita sebut kafir. Itu sangat sesuai. Bahkan itu mengukuhkan akidahnya dia, bahwasanya kamu tidak menerima Nabi Muhammad. Lalu bagaimana? Ya dengan agamamu, lakum dinukum waliyadin,” tuturnya.
Lebih jelasnya, simak pemaparan lengkap Buya Yahya berikut ini: