BANDAR SERI BEGAWAN (Arrahmah.com) – Kelalaian untuk mengatasi kritik terkait pelaksanaan undang-undang hukum pidana Syari’ah 2013 bisa mempengaruhi pelaksanaan hukum Syari’ah di Brunei, kata Mufti Negara, sebagaimana dilansir oleh Brunei Times.
“Diamnya kita dapat diartikan seolah-olah kita setuju dengan kritik mereka; bahwa kritik mereka sudah benar. Jika pengkritik itu mengatakan bahwa hukum Allah SWT tidak manusiawi, dan kami tetap diam, maka seluruh dunia akan berpikir bahwa kita salah dan bahwa mereka (para pengkritik) itu yang benar,” kata Yang Berhormat Pehin Datu Seri Maharaja Dato Paduka Seri Setia Ustaz Dr H. Abdul Aziz Juned.
H. Abdul Aziz Juned menyampaikan pidato pada sebuah lokakarya yang bertujuan untuk mengelola kritik yang ditujukan terhadap penerapan undang-undang pidana Syari’ah 2013. Lokakarya ini diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien (SOASCIS), Universiti Brunei Darussalam.
Selama lokakarya tersebut, berbagai reaksi dan kritik terhadap penerapan Syari’ah Islam dikumpulkan. Para peserta menggunakan informasi itu untuk memahami pemikiran di balik masing-masing reaksi dan kritik tersebut.
Kritik terhadap penerapan Syari’ah Islam tidak bisa dihindari, terutama dari kalangan non–Muslim dan dunia barat, kata mufti negara.
Mengambil tindakan cepat dan tepat adalah salah satu cara untuk menangani kritik dan mengatasi kebingungan, kata dia, sebagaimana yang telah disarankan oleh Yang Mulia Sultan dan Yang Di–Pertuan Brunei Darussalam dalam sebuah titah.
Titah itu disampaikan dalam pertemuan dengan anggota Dewan Agama Islam Brunei pada tanggal 5 Mei.
Mufti negara, dalam sambutannya, mengelompokkan berbagai reaksi terhadap penerapan UU Syari’ah Islam menjadi tiga kelompok.
Reaksi pertama adalah mereka yang sepenuhnya mendukung dan menjunjung tinggi penerapan Syari’ah Islam; yang kedua dari orang-orang yang sangat menentang (orang-orang dari luar Islam); dan yang ketiga datang dari mereka yang mendukung beberapa aspek Syari’ah Islam dan juga menolaknya.
“Ini adalah kewajiban kita untuk mengatasi reaksi dari para pengkritik yang termasuk dalam kelompok kedua dan ketiga,” katanya.
Pada saat yang sama, mufti negara mengatakan bahwa Brunei tidak perlu khawatir terhadap perlawanan yang datang dari orang-orang di luar Islam.
“Tidak perlu bagi kita untuk panik atau putus asa dan berharap bahwa mereka menerima kita. Mereka tidak akan berhenti dan tidak mungkin bagi mereka untuk menerima hukum Syari’ah.“
Namun, ia menekankan bahwa perhatian kita harus diberikan kepada kelompok oposisi yang datang dari umat Islam sendiri yang berasal dari rusaknya iman mereka, karena ini adalah salah satu risiko terbesar yang mungkin berasal dari pemahaman yang salah terhadap ajaran Islam.
Dalam komentarnya mengenai reaksi dari orang-orang yang terjebak di antara mendukung dan menentang hukum Syari’ah, mufti negara mencontohkan pendapat yang berasal dari seorang profesor yang mengatakan bahwa Islam di Arab Saudi dan di nusantara tidak sama karena adanya perbedaan budaya.
Mufti negara menggambarkan pendapat tersebut sebagai suatu kebingungan.
“Islam adalah Islam di mana pun kita berada. Islam tidak tunduk pada budaya; budaya yang harus tunduk kepada Islam,” katanya.
Pendapat dari seorang profesor yang mengatakan bahawa seharusnya Brunei tidak perlu terburu-buru dalam menerapkan hudud, menurut Mufti bahwa pendapat itu menyesatkan dan menyimpang, karena hukum Allah SWT itu bukanlah hal yang baru, akan tetapi telah ada selama lebih dari seribu tahun“.
“Mereka yang berpendapat bahwa tidak perlu melakukannya dengan terburu-buru, mereka sebenarnya melakukan hal itu dengan sangat terlambat karena Syari’ah Islam telah disampaikan dalam Al–Quran selama lebih dari 1.000 tahun yang lalu, sementara Islam datang kepada kami (Brunei) 600 tahun lalu,” katanya.
Mufti negara menunjukkan keterkejutannya terhadap pendapat dari seorang akademisi yang mengatakan bahwa hukuman atas kejahatan berdasarkan Syari’ah Islam dihasilkan oleh ulama Islam di masa lalu, berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al–Quran dan Hadis.
Akademisi itu juga menggambarkan Titah Sultan Brunei terhadap penerapan Syari’ah Islam sebagai sesuatu yang arogan karena pengakuan Sultan bahwa penerapan Syari’ah Islam di Brunei merupakan hidayah dari Allah SWT kepadanya.
“Apakah benar, bahwa jika orang melakukan perbuatan baik dan mereka mengakui bahwa itu adalah petunjuk dari Allah hal itu dianggap sebagai sikap arogansi? Apakah ini benar? Bagi saya, ini bukan arogansi; ini adalah sikap tawadu‘ (rendah hati).
“Mereka yang mendasarkan tindakan mereka kepada Allah adalah mereka yang selalu mengingat Allah dan mereka tidak pernah arogan,” tegas mufti negara.
(ameera/arrahmah.com)