Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, Minggu, 6 Juni 2004. Seorang wanita paruh baya, kurus, dan berkaca mata itu terlihat bingung. Kemarahan terlihat memancar dari wajah wanita berkewarganegaraan AS yang menjabat sebagai Direktur ICG (International Crisis Group) Indonesia ini. Apa boleh buat, wanita berambut pirang itu memang harus “angkat koper” dari negeri ini. Pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 826 akhirnya membawa wanita tersebut meninggalkan Indonesia menuju Singapura.
Wanita tersebut adalah Sidney Jones. Wanita asal Amerika berperawakan kurus tinggi tersebut memang sangat tidak disukai bangsa ini. Dirinya seringkali melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan merugikan negeri ini. Laporan dan hasil penelitian lembaga yang dipimpinnya, International Crisis Group (ICG), memang sering menyakitkan bagi bangsa negeri ini, terutama kaum Muslimin.
Selama di Indonesia, Sidney Jones aktif memata-matai aktivitas kaum Muslimin, Mujahidin, dan juga wilayah-wilayah strategis. Biasanya, hasil laporannya selain dipublikasikan di situsnya, juga dikirimkan secara berkala ke luar negeri, ke negara-negara Barat sebagai donatur ICG. Padahal dalam laporan dan penelitiannya tersebut banyak hal tidak benar, bahkan lebih banyak yang mendiskriditkan kaum muslimin dan aktivitasnya.
Ketidaksukaan kepada Sidney Jones pernah diperlihatkan oleh mahasiswa Muslim di kota Semarang. Di kota tersebut, sedikitnya 50 mahasiswa dari dua kelompok yang berbeda, yakni Perhimpunan Mahasiswa Muslim Antarkampus (Pammas) dan Forum Komunikasi Mahasiswa IAIN Walisongo, membakar boneka yang menyerupai Sidney Jones di halaman Kantor Citibank, di Jalan Pahlawan, Semarang.
Aksi para mahasiswa yang memaksa masuk ke halaman kantor bank swasta asing itu, sempat dihalang-halangi satpam dan puluhan polisi dari Polwiltabes Semarang. Sempat terjadi ketegangan karena terjadi aksi saling dorong di pintu pagar. Gagal menerobos pintu pagar, mahasiswa kemudian nekad melompat pagar dan masuk ke halaman kantor tersebut.
”Kita harus melihat lebih dalam lagi, sebenarnya sejauh mana manfaat penelitian ICG tentang demokrasi dan demokratisasi bagi rakyat Indonesia, karena ternyata hasil studinya justru diserahkan kepada negaranya,” tukas Mukhtarom, salah seorang demonstran.
Sewaktu meninggalkan Indonesia di tahun 2004 Sidney Jones sempat mengatakan kepada Tempo News Room di ruang kerjanya : “Apa boleh buat, saya harus pergi beberapa lama dan berharap bisa kembali ke Indonesia,”
Teryata, Sidney Jones tidak mau berlama-lama meninggalkan Indonesia. Setahun kemudian dia sudah kembali ke negeri ini dan melakukan aktivitas yang sama, memata-matai kaum muslimin. Dalam perhelatan Islamic Book Fair ke 7 di Istora Senayan, wanita yang selalu mengumbar senyum itu terlihat berjalan dengan seorang lelaki paruh baya, yang juga berkacamata dan terlihat sebagai warga negara asing. Seperti biasa, Sidney Jones memantau perkembangan penerbitan Islam dan aktivitas kaum Muslimin dalam pameran tersebut.
Di situs resmi ICG sendiri, Sidney Jones mulai membuat laporan-laporan bulanannya tentang aktivitas Islam dan kaum Muslimin. Dalam laporan terbarunya, yang dirilis bulan Februari 2008, Sidney Jones mengangkat tema Industri Penerbitan Jama’ah Islamiyyah. Tentu saja, sebagaimana laporan-laporan terdahulunya, laporan kali ini begitu tendensius, dan berupaya membuat citra buruk terhadap aktivitas dakwah dan jihad kaum Muslimin.
Tampaknya Sidney Jones tidak kapok dengan pendeportasiannya waktu itu. Padahal, karena laporannya tentang Mujahidin Maluku dan Poso dengan tajuk “Weakening Indonesia’s Mujahidin Networks: Lessons from Maluku and POSO” dia dideportasi.
Sejak membuka kantornya di Jakarta pada tahun 2000, ICG telah menerbitkan 37 laporan dan briefing paper berkaitan dengan masalah konflik termasuk Aceh, Papua, Jemaah Islamiyah, kekerasan komunal, dan transisi Indonesia dari era militer ke civil society. Seluruh laporan ICG dapat dilihat dan di-down load di situs mereka
Laporan Bohong dan Menyakitkan
Sidney Jones sudah berada di Indonesia cukup lama, yakni sejak era 1970-1980-an di bawah payung LSM asing Amnesty International dan Human Right Watch. Sudah pasti, LSM yang dipakai hanya kedok dari misi sebenarnya, memata-matai kaum muslimin. Aktivitasnya mulai meningkat dan namanya mulai populer ketika Sidney Jones masuk dalam camp AS untuk memerangi kaum muslimin dan mujahidin yang dicap sebagai terorisme, pasca WTC tahun 2001. Setahun setelah itu, Sidney Jones merilis makalah berjudul Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case of The Ngruki Network; in Indonesia. Inilah laporan bohong dan menyakitkan pertama yang dibuatnya.
Sidney Jones, berasal dari New York Amerika, dan lahir pada tanggal 31 Mei 1952. Dia adalah Lulusan Universitas Pennsylvania di bidang Studi Oriental dan Hubungan Internasional. Dia juga pernah di Universitas Pahlevi di Shiraz, Iran, selama setahun. Sejak awal dia sudah aktif di Ford Foundation selama tujuh tahun hingga 1984. Selain itu, dia juga aktif di Amnesty International dan Human Right Watch. Akhirnya, mulai Mei 2002, ia berganti organisasi dari Human Right Watch ke International Crisis Group atau ICG, dimana dia menjadi direktur organisasi tersebut yang berbasis di Belgia, untuk wilayah Indonesia.
Pasca Bom Bali I Sidney Jones pun kembali mengeluarkan laporan bohong dan menyakitkan seputar masalah tersebut dengan judul “Jaringan Teroris Indonesia: Cara Kerja Jemaah Islamiyah”. Dalam laporan tersebut Sidney Jones memfitnah Ustadz Abu Bakar Baasyir ikut dalam beberapa rapat yang membahas rencana peledakan bom Bali.
Ustadz Abu Bakar Baasyir angkat bicara melalui sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi dari Rumah Sakit Polri tempat dia di rawat, membantah tuduhan itu. Ia meminta Jones agar memberikan bukti-bukti yang mendukung kebenaran isi laporannya itu. Dan tentu saja Sidney Jones tidak bisa memberikan bukti-bukti atas kebohongannya tersebut.
Pada laporan sebelumnya, Sidney Jones berkesimpulan bahwa Baasyir adalah pemimpin spiritual organisasi Jamaah Islamiyah, organisasi yang mendapat stempel terlarang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Mendapat kecaman keras, Sidney Jones meralat keterangannya. Rapat yang menurutnya berlangsung di Surabaya, Jawa Timur dan Lamongan serta Mojokerto, Jawa Tengah pada bulan September 2002, tidak membahas rencana peledakan bom Bali. Sidney Jones juga meralat keterangannya bahwa Ustadz Abu Bakar Baasyir hadir dalam rapat itu. Sebelumnya ia mengatakan bahwa Ustadz Abu Bakar Baasyir hadir dalam rapat-rapat tersebut dan menentang rencana peledakan bom, berdasarkan keterangan sumbernya yang juga ikut hadir.
Lalu, siapa sumbernya Sidney Jones yang ikut hadir tersebut ? Mengapa Sidney Jones tidak memberitahukan secara terus terang kepada publik ? Bukankah sumber Sidney Jones selama ini adalah pihak kepolisian atau intelejen ?
Lewat SMS (pesan tertulis lewat telepon genggam) kepada Tempo News Room, ia mengaku telah menyerahkan laporan ini kepada polisi. Namun, beberapa menit sebelumnya dalam sebuah wawancara, Sidney Jones justru mengatakan sebaliknya. “Tidak melaporkan secara resmi ke polisi. Tidak ada yang bisa dijadikan sebagai bukti bagi polisi,” kata dia. Sungguh plin-plan dan tidak profesional apa yang dilakukan oleh Sidney Jones dan ICGnya ini.
Dalam laporan keduanya ini Jones juga membuat kesimpulan bahwa sekitar 50 peristiwa peledakan bom yang tejadi di berbagai tempat mulai April 1999 hingga bom Bali, merupakan hasil kerja JI. Namun dalam wawancara dengan Tempo akhir Oktober 2002 lalu, Jones dengan jelas mengatakan, “Saya tidak tahu apakah organisasi ini ada dibelakang beberapa pengeboman.”
Jadi, Sidney Jones ini bisa dengan seenaknya menuduh JI sebagai pelaku peledakan dan secepatnya pula dia menafikan ucapannya tersebut. Betul-betul tidak bisa dipegang ucapannya tersebut.
Perilaku buruk Sidney Jones ini juga disampaikan oleh Yudi Latif, seorang peneliti LIPI dan mengomentari pendapat Sidney Jones yang mengeneralisir pesantren sebagai basis terorisme. Menurut Yudi Latif, Sidney Jones telah melakukan sweeping generalization, generalisasi serampangan. Kalau pun dia menemukan satu pesantren, apakah kemudian seluruh pesantren kemudian bersimpati terhadap terorisme? Jangan-jangan bukan pesantren yang ia temukan, tapi hanya alumni-alumni pesantren tertentu, yang barulah punya aspirasi terhadap terorisme setelah berinteraksi dengan relasi-relasi sosial di luar pesantren, dengan berbagai elemen, ideologi, dan kekecewaan-kekecewaan sosial yang terjadi. Itu namanya pos pro toto, bagian kecil dijadikan statement untuk keseluruhan.
Biasanya, demikianlah cara dan metode yang sering dilakukan oleh Sidney Jones dan orang-orang serta lembaga semisalnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Geert Wilders dengan filmnya Fitna, mengutip-ngutip Islam sebagian-sebagian untuk kemudian dijadikan kesimpulan untuk menggambarkan Islam dan kaum Muslimin secara keseluruhan. Sebuah tindakan dan sikap yang menunjukkan kebodohan pelakunya terhadap Islam.
Memang, kalau membaca laporan-laporan Sidney Jones begitu saja, tanpa memahami latar belakangnya dan situasi perang salib global saat ini akan terkecoh. Namun, bagi aktivis Islam dan kaum muslimin yang ‘sadar’ maka tidak mudah dan percaya terhadap laporan Sidney Jones, alias harus dilakukan tabayyun terlebih dahulu untuk tidak membuangnya begitu saja.
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyyah Majelis Mujahidin dalam sebuah artikel, dikatakan bahwa aktivitas Sidney Jones lebih kental nuansa intelejennya daripada seorang ilmuan atau peneliti. Berikut kutipannya :
Sejak tahun 1980-an, ketika merebak kasus subversi yang diidentikkan dengan gerakan Islam radikal, dan ketika banyak aktivis Islam ditahan dan mendapat perlakuan tidak wajar dari pemerintah Orde Baru, Sidney Jones dengan bendera Amnesti Internasional tampil sebagai pembela yang simpatik dan manusiawi. Ia banyak mendokumentasikan berbagai proses pengadilan, dokumen persidangan, dan berbagai data lainnya. Semuanya itu, ternyata menjadi barang berharga pasca-tragedi WTC 911, suatu hal yang barangkali tidak diduga, bahkan oleh Sidney Jones sendiri. Secara teknis upaya pengumpulan data yang dilakukan Sidney Jones dan kemudian dipublikasikan dalam bentuk laporan berkala, tidak perlu dibantah. Ia lumayan berpengalaman di bidang itu. Namun, hal yang juga tidak bisa dibantah adalah adanya kepentingan intelijen yang menyertai gerak langkahnya, terutama di masa propaganda anti-terorisme digencarkan AS. Baik itu intelijen asing seperti CIA, yang tentu saja bekerja sama dengan lembaga intelijen maupun LSM lokal di Indonesia.
Setiap laporan yang dipublikasikan, dilengkapi dengan catatan kaki, maraji’ (merujuk) yang jelas dan terang sumber-sumbernya, baik dari media massa, buku-buku, wawancara, termasuk juga dari dokumen (informasi) intelijen. Bagi mereka yang berada di “lapangan” ketika membaca laporan yang diterbitkan ICG, meski perlu sedikit waktu, namun tetap bisa dirasakan bagian-bagian mana yang berasal dari dokumen (informasi) intelijen, mana informasi yang jelas faktanya dan mana yang hanya fiktif belaka. Laporan ICG tentang terorisme, sebenarnya kebanyakan berasal dari dokumen (informasi) intelijen lokal.
Dari fakta ini jelas bahwa laporan ICG tidak selalu akurat, bahkan seringkali hanya sebuah kebohongan yang menyakitkan kaum muslimin. Masih menurut Irfan S Awwas, Pada laporannya tanggal 8 Agustus 2002 misalnya, di bawah judul, “Al Qaeda in Southeast Asia: ‘Ngruki Network’ in Indonesia”, antara lain dikesankan bahwa penulis dan Agus Dwikarna (kini menjadi terpidana 10 tahun penjara di Filipina), sudah berkawan sejak lama, semenjak menjadi sesama aktivis menentang asas tunggal Pancasila. Padahal, penulis pertama kali berjumpa dan kenal Agus Dwikarna pada Agustus 2000, ketika ia membawa banyak partisipan dari Makassar mengikuti Kongres Mujahidin I yang diadakan di Yogyakarta.
Agus Dwikarna adalah aktivis KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariah Islam) di Sulawesi Selatan, jauh sebelum Kongres Mujahidin berlangsung. Kemudian, Agus Dwikarna menjadi wakil sekretaris Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin periode 2000-2003.
Patut dipertanyakan, dari mana Sidney Jones mendapat informasi itu? Kemungkinan dari dokumen (informasi) badan intelijen. Sebab, bila ia mewawancarai penulis atau Agus, pastilah tidak akan ada kesalahan laporan seperti itu.
Jadi, pengusiran Sidney Jones harusnya tidak dilakukan hanya untuk permainan politik belaka demi segelintir orang atau rezim yang berkuasa, melainkan harus dilakukan secara serius dan permanen. Hal ini dikarenakan keberadaan LSM asing tersebut sudah meresahkan dan membahayakan kaum Muslimin. Lembaga semacam ICG yang tugasnya memprovokasi serta berperan sebagai intelejen serta kaki tangan pasukan salib, utamanya AS, sudah seharusnya dienyahkan sampai ke akar-akarnya dari tengah-tengah kaum Muslimin. Ini adalah sebuah kewajiban bersama yang harus segera dilaksanakan. (M.Fachry/arrahmah.com)