Jakarta (Arrahmah.com) – Seolah perburuan tiada akhir, aparat penegak hukum saling bahu membahu dalam menangani sidang-sidang perkara terorisme yang terus digelar secara marathon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl. Ampera Raya Kemang. Pada Rabu 5 Mei 2010 dilaksanakan gelar perkara atas nama Putri Munawarah.
Wanita mungil itu dengan ditemani anak lelakinya yang masih berusia 4 bulan tanpa ditemani suaminya karena telah tewas dalam penyergapan Densus 88 beberapa waktu lalu di Jebres, Solo, Jawa Tengah. Ia duduk sambil memangku bayinya dan dijaga ketat anggota wanita Densus 88 di ruangan Jaksa sambil menanti panggilan masuk ke ruang sidang.
Simpatisan pendukung yang hadir yang hendak sekedar membawakan buah tangan pun tak diijinkan berbicara dengan Putri dengan alasan yang tidak jelas. Akhirnya setelah penantian sejak pukul 10 pagi dari jadwal, molor hingga jam 12.30 sidang baru dimulai.
Agenda sidang adalah mendengarkan beberapa keterangan saksi antara lain Bejo, Amir Abdillah, Suratmin dan Supriyanto. Hakim Ketua memulai pertanyaan kepada saksi Amir Abdillah dengan pertanyaan yang bertubi-tubi hingga memakan waktu jalannya sidang hampir 60 menit.
Pertanyaan hakim yang nampak jelas diarahkan agar saksi melegitimasi isu-isu teroris walaupun dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak ada relevansinya dengan dakwaan yang ditujukan kepada Putri Munawarah yaitu tuduhan menyembunykan informasi tentang terorisme.
Sementara di lain pihak, Tim Pengacara Muslim (TPM) yang diketuai Achmad Michdan menanyakan kepada saksi sehubungan dengan barang bukti yang diajukan jaksa kepada majelis hakim berupa koper hitam yang berisi kabel-kabel yang diduga bom. Achmad Michdan menanyakan “Apakah barang bukti tersebut ada di rumah Putri Munawarah?” Amir Abdillah pun menjawab “Tidak”.
Saksi kedua yang hadir kemudian adalah Bejo, awalnya pertanyaan yang diajukan majelis hakim tak berhubungan dengan pokok dakwaan, karena pertanyaan seputar koper hitam yang sama sebagaimana ditanyakan kepada Saksi Amir Abdillah. Bejo mengaku hanya mengetahui Noordin M Top dengan panggilan Syeikh.
Sebagaimana pertanyaan Hakim dan Jaksa kepada saksi pertama memang sangat jelas pertanyaan kepada Bejo juga terkesan penggiringan opini ke arah tindak pidana terorisme. Melihat jawaban-jawaban Bejo yang kurang memuaskan akhirnya jaksa menanyakan aktifitas saksi selama berada di rumah Susilo (alm.) suami Putri Munawarah.
Jaksa bertanya: “Apakah anda tidak mencuci? Siapa yang mencucikan baju anda? Apakah anda memasak?” Bejo tidak menetahui kalau Susilo Adib adalah suami Putri karena almarhum mengaku bahwa Putri berada bersama kedua orang tuanya. Dan ia juga mengaku bahwa ia tidak bergaul dengan wanita selama berada di rumah Susilo karena di rumah Susilo ada hijab (pembatas ruangan antara pria dan wanita).
Melihat pengakuan Bejo yang tidak konsisten salah seorang pengacara dari TPM terperanjat ketika mengajukan pertanyaan yang kemudian mendapatkan pengakuan dari Bejo bahwa ia diminta dan di ajarkan oleh penyidik dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan untuk meringankan Putri Munawarah.
Di tengah jalannya persidangan tiba-tiba salah seorang hakim anggota ijin meninggalkan ruang sidang dan digantikan oleh hakim yang lain karena ada keperluan.
Saksi ketiga yang dihadirkan adalah Suratmin, Ketua RT yang bertugas di tempat tinggal Putri Munawarah dan suaminya. Ia telah telah menjabat sebagai Ketua RT sejak 1997 sampai sekarang.
Ketika ditanya tentang penyergapan aparat Densus 88 ia mengaku menyaksikan kejadian tersebut dan ia dijemput oleh anggota Densus 88. Saat dijemput oleh Densus 88 ia melihat laptop, handycam merk Sony, buku tabungan, jam tangan, senjata laras panjang yang rusak.
Pada 16 September 2009 ia mendapat laporan warga yang datang kepadanya pada pukul 22.30 WIB, bahwa ada yang melempar rumah Pak Sriyono (pemilik rumah) dengan petasan dan 4 orang meninggal dunia. Akhirnya diketahui yang meninggal adalah Noordin M Top, Susilo, Aji, ia lupa yang satu dan yang terluka adalah Putri Munawarah.
Ketika ditanya TPM tentang isi karung di lokasi kejadian, ia mengaku menurut Densus 88 isinya potassium dan belerang karena isinya tidak dibuka. Selang seminggu kemudian ia didatangi Densus 88 untuk menandatangani surat. Saksi juga mengaku ia tak pernah ada pertemuan dengan Putri.
Pada pagi hari setelah penyergapan ia melihat Putri dalam keadaan terluka di kamar mandi lalu dilarikan ke Rumah Sakit. Ia mendapat laporan simpang siur dari warganya antara pistol dan petasan.
Saksi terakhir keempat adalah Suprianto yang merupakan kakak ipar Putri Munawarah, ia juga yang mengambil jenazah dari RS.
Alhasil dari kehadiran empat saksi yang semuanya hampir tidak berkaitan dengan pokok dakwaan, akankah para penegak hukum dapat memenuhi kebutuhan keadilan yang didambakan masyarakat dengan keadilan yang bermartabat?
Dari beberapa fakta persidangan dan simpang siurnya berita tentang terorisme di Indonesia, aparat hukum seolah mengajak masyarakat untuk membangun image baru tentang penegakan hukum dengan berbagai prestasi semu. Tentu ini akan menjadi pekerjaan tiada akhir bagi penegak hukum hingga anggota masyarakat dan kelompoknya dapat memperoleh keadilan yang tidak mencederai makna hukum yang sebenarnya.
Melihat makin gencarnya perburuan, penangkapan dan pembunuhan aparat Densus 88 kepada para tersangka terorisme, akankah ini semua akan dapat meredam aksi teroris di Indonesia??? Kita lihat saja hasilnya… (Ummu Sumayyah)