JAKARTA (Arrahmah.com) – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kembali menggelar sidang dugaan kekerasan seksual lima terdakwa karyawan Jakarta International School (JIS), Rabu 22 Oktober 2014. Kali ini, sidang mengagendakan keterangan saksi dari RSCM, dr Oktavinda Safitry, SpF.
Di hadapan Majelis Hakim, Oktavinda menegaskan bahwa kondisi lubang pelepas (anus) korban, MAK tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kekerasan seksual. “Dia dokter yang menangani langsung proses visum korban (MAK) dan mengatakan semua normal dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara medis,” ujar kuasa hukum terdakwa, Patra M. Zen usai persidangan di PN Jakarta Selatan.
Patra menilai, kesaksian Oktavinda memperkuat kesaksian dr Narain Punjabi dari klinik SOS Medika dalam persidangan sebelumnya. Dalam keterangannya, Narain mengaku bahwa korban tidak mengalami kekerasan seksual.
Bahkan, Oktavinda juga menyatakan, pemeriksaan pada MAK tak bisa dilakukan hanya sekali. Senada dengan Narain, Oktavinda mengatakan seharusnya orangtua korban, P, membawa kembali anaknya ke RSCM, namun hal itu tak dilakukan.
Ibu korban, kata Patra, justru membawa korban ke rumah sakit lain, di mana hasil visumnya diduga dapat disesuaikan dengan keinginan pasien.
“Apa yang diminta RSCM persis seperti yang diminta dr Narrain dari SOS Medika, ketika memeriksa MAK pada tanggal 22 Maret. Tetapi, ibu korban tidak mengindahkannya dan mengabaikan permintaan dua rumah sakit itu untuk dilakukan pemeriksaan ulang,” kata Patra, diberitakan VIVAnews.
Diketahui, hasil visum pemeriksaan pada korban di RSCM No 183/IV/PKT/03/2014 pada tanggal 25 Maret 2014 menunjukkan bahwa lubang pelepas korban tidak ditemukan luka lecet, atau robekan. Lipatan sekitar lubang pelepas tampak baik dan kekuatan otot pelepas baik.
Kemudian, hasil visum di RSPI No 02/IV.MR/VIS/RSPI/2014, pada tanggal 21 April 2014 juga menyebutkan bahwa hasil pemeriksaan visual dan perabaan pada anus korban dan tidak menunjukkan adanya kelainan.
Sebelumnya, dr Ferryal Basbeth SAF dari Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia (AIFI) menanggapi bahwa dalam kasus paedofilia, umumnya pelaku hanya satu, namun korban lebih dari satu. Tidak demikian, dalam kasus JIS yang melibatkan lima terdakwa Agun Iskandar, Virgiawan Amin, Zainal Abidin, Syahrial, dan Afrischa.
“Sejak awal kasus ini muncul, alat buktinya lemah. Apalagi rekam medis yang telah ditunjukkan sejumlah saksi di persidangan tidak menunjukkan adanya sodomi,” kata Ferryal.
Apabila melihat hasil pemeriksaan itu, fakta medis menjadi bertolak belakang dengan laporan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) para terdakwa. Dalam BAP disebutkan selama periode Desember 2013-Maret 2014, AK (6th) siswa TK JIS diduga telah mengalami sodomi sebanyak 13 kali.
“Dengan frekuensi sodomi sebanyak itu mustahil kondisi lubang pelepas korban masih normal. Saya sudah lihat hasil visumnya dan kasus ini cenderung dipaksakan, tidak ada fakta medis yang mendukung sodomi itu terjadi,” tegas Ferryal.
Dengan demikian, Ferryal menegaskan bahwa fakta medis lemah dan dugaan kekerasan seksual pada MAK, justru semakin sulit dibuktikan. Bahkan apabila pembuktian dilakukan melalui tes DNA.
Rekayasa dan intimidasi
Terkait, pengacara terdakwa Afrischa, Faizal Roni menilai dari kesaksian Legal & External Affairs PT ISS, Agus Widodo pada Senin, 13 Oktober 2014, 5 terdakwa yang notabene petugas kebersihan JIS itu sejak proses penyidikan dan berada di tahanan diduga mengalami intimidasi. Para terdakwa kasus JIS yakni Agun, Awan, Syarial, Zainal dan Icha.
“Agus mengatakan saat wawancara pertama di Polda Metro (Polda Metro Jaya), ke-5 terdakwa memang mengakui perbuatan mereka. Tapi itu karena ada penyidik di belakangnya,” ujar Faizal di Jakarta, Rabu (15/10/2014), lansir Liputan6.com (15/10/2014).
Dari keterangan Agus itu, menurut Faizal, dia beberapa kali menemui karyawan ISS tersebut di Polda Metro. Pada pertemuan 4 April silam, Agus melihat muka Agun Iskandar dan Virgiawan Amin lebam.
“Karena ada penyidik jadinya mereka ngaku. Tapi, (terdakwa) Syahrial kasih kode dengan kedipan mata ke Agus yang intinya bilang bahwa mereka sebenarnya tidak melakukan tindak asusila itu,” ucap Faizal menirukan kesaksian Agus.
Faizal menjelaskan, kode kedipan mata Syahrial kepada Agus ini dilakukan saat oknum penyidik polisi sedang lengah, sebab posisinya di belakang terdakwa saat pemeriksaan ketika itu. Menangkap isyarat itu, lanjut Faizal, Agus pun merencanakan untuk mengunjungi ke-5 tersangka di tahanan.
“Nah saat menemui 5 tersangka di tahanan, para tersangka menegaskan dan bersumpah jika mereka tidak melakukan hal itu. Saat kunjungan itu Agus juga melihat wajah semua terdakwa lebam, bahkan muka Syahrial sempat tak dikenal Agus,” papar Faizal.
Dalam persidangan pada Senin 13 Oktober 2014, jaksa penuntut umum juga menghadirkan Dewi, timleader di ISS sebagai saksi. Dalam keterangannya, Dewi menyampaikan bahwa berapa informasi yang memperkuat dugaan adanya rekayasa dalam kasus ini.
Patra M Zen, pengacara Agun dan Virgiawan, mengatakan, berdasarkan keterangan Dewi, sesuai SOP (Standar Operasional dan Prosedur) di ISS, petugas kebersihan tidak boleh masuk kamar mandi jika ada siswa. Sebagai tim leader, Dewi tiap pagi melakukan briefing (arahan) terkait plotting (tugas) tempat kerja dan check list apa yang harus dikerjakan para petugas kebersihan.
“Sehingga bisa dipastikan siapa yang hadir dan siapa yang tidak. Setiap hari selaku tim leader saksi harus 7 kali bertemu dengan petugas yang bekerja di hari itu, antara jam 6 – jam 2 siang,” ucap Patra.
Patra menambahkan, dalam kesaksiannya, selaku tim leader yang telah bekerja 10 tahun di JIS saksi tidak pernah dilaporkan atau mendapat komplain terkait perilaku negatif yang dilakukan oleh 5 orang terdakwa.
“Saksi tegas mengatakan, selama bekerja tidak pernah ada komplain dari guru, keamanan, asisten guru yang melihat petugas bergerombol di suatu tempat atau ngobrol ramai-ramai,” ungkap Patra.
Selain itu kata saksi, para terdakwa tidak pernah ada petugas kebersihan dari Cilandak ke PIE tanpa sepengetahuan tim leader. “Sehingga tidak mungkin Zainal dan Azwar ada di JIS PIE dalam waktu bersamaan,” ujar Patra.
Satu hal yang penting dari kesaksian Dewi, menurut Patra, tentang kesaksian Alex yang mengatakan dia melihat Marc dicabuli dengan mengintip dari dalam bilik kamar mandi sangat janggal.
“Menurut Dewi, begitu pintu kamar mandi dibuka, yang terlihat langsung adalah tembok. Jadi fakta-fakta yang terungkap di persidangan (kasus JIS) ini semakin menunjukkan bahwa kasus sodomi itu sesungguhnya tidak ada,” tandas Patra.(azm/dbs/arrahmah.com)