Oleh: Silmi Dhiyaulhaq, S.Pd
Praktisi Pendidikan
(Arrahmah.com) – Di tengah gembar-gembor memasuki era revolusi industri 4.0, serta masuknya Indonesia menjadi negara maju, ada beberapa masalah di Indonesia yang masih membutuhkan fokus perhatian. Salah satunya adalah stunting atau tubuh anak pendek karena kurang asupan gizi dalam jangka waktu yang lama.
Angka stunting Indonesia masih jauh dari standar WHO. Pada 2015 Indonesia menjadi negara kedua di Asia Tenggara dengan jumlah stunting paling banyak menyusul Laos. Menurut catatan Kata Data, prevalansi stunting anak balita pada 2015 adalah 36,4 persen. Artinya, saat itu lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta anak balita mengalami stunting.
Terbaru, Indonesia menempati urutan ke-4 dunia dan masih kedua di Asia Tenggara dalam hal balita stunting. Pemerintah diingatkan melakukan evaluasi pembangunan keluarga agar persoalan ini teratasi. Kementerian Kesehatan Tahun 2019 mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta atau 27,7 persen balita di Indonesia menderita stunting (merdeka.com, 21/12/2020).
Deputi bidang pembangunan, komunitas dan kebudayaan masyarakat Bappenas Subandi Sardjoko mengatakan masalah stunting di Indonesia terjadi di hampir semua wilayah dan kelompok sosial-ekonomi. Meski tren stunting mengalami penurunan, jumlah ini masih jauh dari nilai standar World Health Organization (WHO) yang seharusnya di bawah 20 persen.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Muhajir Effendi mengatakan, Presiden Joko Widodo menginginkan hanya satu badan khusus yang menangani persoalan stunting di tanah air agar lebih fokus. Pemerintah menargetkan penurunan stunting dari 27,7 persen menjadi 14 persen pada 2024 mendatang (merdeka.com, 31/10/2020).
Menurutnya, permasalahan stunting menjadi penting mengingat hal tersebut berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil riset yang mengungkapkan sebesar 54 persen angkatan kerja tidak maksimal karena pada 1000 kelahiran pertama pernah mengalami masalah stunting.
Bila ditelaah penyebab stunting ada dua, pertama kesehatan yang kurang baik pada ibu saat hamil. Kedua, karena kurangnya asupan gizi pada awal kehidupan dan masa balita karena pola pengasuhan yang kurang tepat. Namun yang terjadi saat ini, sebenarnya masyarakat bukan tidak mau mengonsumsi makanan yang bergizi. Kemampuan ekonomi mayoritas masyarakat yang tak memadai karena miskin serta adanya kesenjangan sosial yang begitu tinggi menjadi penyebabnya. Selain itu harga bahan pokok terus melambung tinggi. Bagi rakyat kecil, hal ini sangat menyengsarakan.
Gagalnya negara menjamin kesejahteran, salah satunya terpenuhinya pangan bergizi individu per individu rakyat memang hal yang mutlak terjadi bila negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Sebab sistem ekonomi kapitalisme berorientasi pada materi (untung rugi) dan sangat diskriminasi karena pro kepentingan modal. Sementara rakyat selalu dianggap beban.
Sebagaimana kita ketahui, masalah stunting ini dianggap menjadi beban APBN negara. Pemerintah menyebut potensi kerugian negara akibat stunting mencapai 2-3 persen produk domestik bruto (PDB) atau sekira Rp.260 triliun – Rp.390 triliun per tahun. Untuk itulah pemerintah berkomitmen untuk segera menurunkannya hingga 14 persen.
Hal ini merupakan bentuk lepas tangan pemerintah dalam mengurus rakyatnya. Sebab dalam sistem ekonomi kapitalis pemerintah hanya difungsikan sebagai regulator untuk memenuhi seluruh kepentingan pemilik modal yang telah membantu mereka mencapai kursi kekuasaan. Selain itu, penerapan sistem ekonomi kapitalisme juga meniscayakan distribusi logistik pangan yang tidak adil. Hal ini berimplikasi pada semakin tajamnya ketimpangan sosial.
Islam memiliki langkah solusi yang komprehensif atas setiap problematika kehidupan. Dalam kaca mata Islam, permasalahan stunting merupakan kewajiban negara yang wajib untuk dituntaskan, karena merupakan bagian dari tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
Mekanisme Islam mengatasi stunting berawal dari pemenuhan kebutuhan pangan dan nutrisi masyarakat individu per individu. Negara juga tidak mendominasikan ketersediaan pangan semata-mata pada impor. Sebaliknya, negara akan fokus pada peningkatan produksi pertanian dan pangan, berikut segala riset dan jaminan kelancaran seluruh proses pengadaannya. Negara juga memiliki akurasi data untuk ketersediaan dan distribusi pangan agar tepat sasaran.
Negara khilafah benar-benar menunaikan mandatnya selaku khadimul ummah (pelayan umat) dengan melaksanakan sabda Rasulullah saw., “Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari).
Islam sebagai agama agung, telah menorehkan tinta emas kehidupan manusia dalam berbagai aspek. Kemajuan ilmu pengetahuan hingga kesejahteraan masyarakat turut menjadi catatan gemilang ketika peradaban Islam tegak di muka bumi. Kesejahteraan hidup benar-benar dirasakan setiap individu masyarakat pada waktu itu. Produksi pangan berlimpah dan memenuhi kebutuhan semua populasi. Satu orang saja yang mengalami kelaparan segera diatasi. Seperti tindakan Khalifah Umar bin Khattab yang bersegera memenuhi kebutuhan pangan keluarga miskin dengan stok pangan Baitul Mal secara memadai.
Beberapa bentuk aturan atau kebijakan dalam khilafah hingga mampu menjamin kesejahteraan bagi rakyat antara lain:
Pertama, khilafah menetapkan bahwa setiap muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab untuk bekerja guna memberikan nafkah baginya dan bagi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini didukung dengan lapangan pekerjaan memadai yang disediakan oleh negara.
Kedua, Islam mengatur jika masih ada kekurangan atau kemiskinan yang menimpa seseorang, maka tanggung jawab itu menjadi tanggung jawab sosial. Maksudnya keluarga dan tetangga turut dalam membantu mereka yang masih dalam kekurangan dengan berbagai macam aturan Islam seperti zakat, sedekah dan lainnya.
Ketiga, khilafah memiliki kebijakan dalam mengatur kepemilikan kekayaan negara sesuai Islam. Ada kepemilikan individu, umum dan negara yang semua diatur sedemikian rupa untuk kemakmuran rakyat. Seluruh hasil dari kepemilikan tersebut kemudian akan masuk dalam Baitul Mal yang menjadi pusat kekayaan khilafah. Tujuannya adalah untuk menjamin kehidupan per-individu rakyat agar benar-benar mendapatkan sandang, pangan dan papan. Serta untuk mewujudkan jaminan bagi rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, pertanian, industri, infrastruktur dan lainnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa , pantaslah jika khilafah mampu mencapai puncak kesejahteraan rakyatnya hingga berlangsung selama 13 abad dan meliputi hampir dua pertiga dunia. Bahkan, rekaman jejak emas masa peradaban Islam hingga sekarang masih ada dan bisa ditemukan dalam banyak catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh orang nonmuslim.
Sebagai contoh adalah apa yang ditulis Will Durant seorang sejarawan Barat. Dalam bukunya “Story of Civilization” Dia mengatakan, “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka.
Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”
Bagi khilafah, sumber daya manusia adalah kekuatan peradaban dan kecemerlangan pemikirannya adalah kekayaan tak ternilai, yang semuanya itu semata-mata menjadi bekal untuk menuju ketaatan kepada Allah Swt. Sehingga masalah kesejahteraan dan terjaminnya asupan gizi bagi rakyat menjadi hal yang sangat penting bagi negara.
Selanjutnya, khilafah memberikan jaminan ketahanan dan pembangunan keluarga yang berlandaskan akidah Islam. Agar keluarga mampu menjadi pilar peradaban. Khilafah juga akan menjamin keberlangsungan pendidikan generasi. Agar di samping menjadi generasi muslim kuat dan sehat, mereka juga terjaga dalam keimanan dan ketakwaan.
Tak ayal, memang sudah waktunya kaum muslimin dan manusia seluruhnya beralih pada satu-satunya sistem alternatif untuk mengelola kehidupan ini, yaitu dengan menerapkan sistem pemerintahan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah, penegak syariah kaaffah.
Wallahu ’alam bishshawab.
(*/arrahmah.com)