MYANMAR (Arrahmah.id) — Amerika Serikat secara resmi menyatakan, kekerasan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya yang menyebabkan lebih dari 700.000 orang melarikan diri merupakan tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ini adalah babak terbaru dalam sejarah panjang dan penuh gejolak kelompok muslim Rohingya, populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.
Sekitar satu juta orang Rohingya tinggal di negara bagian Rakhine, barat Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Banyak di antara mereka yang jadi korban tindakan keras militer Myanmar tahun 2017.
Lalu siapakah muslim Rohingya ini?
Rohingya merupakan salah satu dari banyak etnis minoritas di Myanmar. Mereka memiliki bahasa dan budaya sendiri, yang berbeda dari orang Myanmar yang hampir 90 persen beragama Buddha.
Secara fisik dan budaya, etnis Rohingya lebih mirip orang-orang Bangladesh dan India daripada dengan Suku Bamar, yang menjadi kelompok etnis terbesar di Myanmar.
Menurut catatan beberapa sumber yang dikutip dari AFP, Rohingya adalah keturunan pedagang dan tentara Arab, Turki, atau Mongol yang pada abad ke-15 bermigrasi ke negara bagian Rakhine yang sebelumnya bernama kerajaan Arakan.
Selama berabad-abad, pedagang Muslim tersebut berbaur dengan para pendatang dari Bangladesh dan India, hingga membentuk etnis Rohingya.
Selama itu pula, mereka sebagai kelompok Muslim minoritas, hidup damai di wilayah Rakhine bersama umat Buddha.
Lantas kenapa mereka dipersekusi?
Konflik antara etnis Rohingya dengan penduduk asli Myanmar mulai terjadi pada akhir abad ke-18, ketika Inggris datang dan menjadikan Myanmar sebagai koloninya.
Saat itu, orang-orang India yang juga dijajah oleh Inggris berdatangan ke Myanmar untuk bekerja, bahkan terkesan “merampas” hak-hak orang Myanmar.
Hal ini membuat orang Myanmar merasa dijajah dua kali, yakni oleh Inggris dan orang-orang India, yang secara fisik mirip etnis Rohingya.
Pada masa Perang Dunia II (1939-1945), banyak Muslim Rohingya yang direkrut oleh Inggris sebagai tentara. Mereka beradu dengan umat Buddha Myanmar yang bersekutu dengan Jepang.
Ketika Inggris berhasil diusir Jepang pada 1942, etnis Rohingya di Rakhine menjadi sasaran kemarahan orang Myanmar. Etnis Rohingya dianggap sebagai sekutu Inggris, dan dengan penampilan fisik yang mirip orang India membuat mereka terjebak dalam sasaran kebencian orang Myanmar.
Orang Rohingya kemudian dipandang sebagai imigran ilegal yang dibawa Inggris dari India dan Bangladesh.
Pada 1947, seiring dengan lahirnya konstitusi baru di Myanmar, etnis Rohingya sempat diberi hak hukum dan suara penuh. Namun, kudeta militer Myanmar pada 1962 yang berujung pada era baru penindasan dan lahirnya undang-undang tahun 1982, menandai dimulainya era ketegangan yang baru.
Undang-undang tersebut membuat etnis Rohingya tidak lagi diakui sebagai kelompok etnis minoritas di Myanmar. Hak-hak mereka dilucuti, dikucilkan secara sosial, dan sejak itu Muslim Rohingya menjadi populasi tanpa kewarganegaan.
Selain menyangkal kewarganegaraan Rohingya, pemerintah Myanmar juga tidak melibatkan mereka dalam sensus penduduk.
Sejak 1970-an, ratusan ribu orang Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh menyusul gelombang kekerasan berturut-turut dari 1978 dan 1991-1992.
Krisis Rohingya semakin memanas ketika militer Myanmar membawa isu agama.
Mereka menghubungkan Muslim Rohingya dengan isu terorisme Islam, yang membuat umat Buddha Myanmar khawatir negaranya akan diambil alih, terlepas dari kecilnya populasi etnis Rohingya.
Kekhawatiran itu seakan menjadi nyata ketika muncul kelompok militan seperti Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang kerap melancarkan serangan balik terhadap pasukan keamanan Myanmar.
Keberadaan ARSA kemudian dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan represif terhadap seluruh etnis Rohingya.
Bentuk kekerasan pemerintahan militer terhadap etnis Rohingya di Myanmar mulai dari pemerkosaan, penganiayaan, pembakaran desa, dan pembunuhan, termasuk terhadap anak-anak.
Selama beberapa tahun terakhir, ratusan ribu etnis Rohingya telah melarikan diri ke beberapa negara tetangga Myanmar seperti Bangladesh dan Indonesia.
Saat ini, diperkirakan masih ada setengah juta orang Rohingya di Rakhine, bagian barat Myanmar. Perbedaan ciri fisik, budaya, agama, dan peristiwa di masa lalu itulah yang membuat etnis Rohingya dibenci di Myanmar. (hanoum/arrahmah.id)