Kepolisian Indonesia mengaku memberi bantuan dana pada keluarga terpidana teroris. Mengapa mereka tidak dibebaskan saja agar tidak menjadi beban negara?
GLOBALISASI tata keamanan berdasarkan kepentingan dan tafsir politik Amerika, telah memunculkan ajang bisnis baru, yang terbentuk dan dipertahankan bukan saja lewat proses-proses politik, tetapi secara mendasar melalui dinamika sebuah pasaran baru, yaitu industri terorisme. Tidak mengherankan, bisnis baru ini telah memberi berkah bagi banyak orang, banyak negara, dan tentu saja bagi mereka yang menjual keahlian dan harga diri dengan menjadi komprador Amerika Serikat. Kepolisian Indonesia, adalah lembaga keamanan yang paling banyak meraup untung dari bisnis ini. Barangkali, dari keuntungan ini pulalah polisi dapat membantu keluarga para teroris, sebagaimana diungkapkan Direktur I/Kantramas Mabes Polri, Brigjen Pol Surya Darma, sebagai balas budi atas jasa para terpidana teroris itu.
Brigjen Pol Surya Darma terus terang mengakui bahwa,”Selama ini polisi justru sering membantu keuangan keluarga para terpidana teroris. Uang itu, kata Surya, ada yang digunakan untuk bayar uang sekolah anak-anak, buka usaha dan lain-lain. Jadi, polisi yang sering dibilang thaghut itulah yang justru banyak membantu kehidupan para keluarga teroris. Biaya yang dikeluarkan polisi untuk melakukan ‘pembinaan’ kepada para terpidana dan keluarga teroris dalam sebulan bisa mencapai ratusan juta rupiah.” (Sabili, 8/3/2007).
Mengingat derita para keluarga terpidana kasus teroris, memang pantas mereka diberi bantuan. Masalahnya, apa dasar hukum yang digunakan kepolisian untuk menyantuni keluarga para terpidana teroris yang sekarang sedang meringkuk di penjara? Bila yang dijadikan dasar pertimbangan adalah moral dan rasa kemanusiaan, maka pelaku pidana korupsi atau kriminal yang dipenjarakan, keluarganya juga berhak mendapatkan santunan serupa. Sebab, rasa kemanusiaan juga menuntut adanya perlakuan yang adil guna meringankan beban keluarga para terpidana itu.
Pertanyaan yang tidak kalah pentingnya adalah sumber finansial. Kepolisian menyantuni keluarga terpidana teroris, sumber dananya dari mana? Apakah berasal dari dana kepolisian sendiri atau APBN, atau bantuan negara yang sedang memerangi teroris? Jika bersumber dari dana kepolisian, atau APBN, apakah DPR menyetujui bila negara membiayai kehidupan keluarga mereka yang dianggap musuh negara itu?
Broker Terorisme
Pasca peristiwa “Black September”, runtuhnya WTC di New York, Indonesia menjadi lahan subur bagi AS untuk menancapkan pengaruhnya melalui intervensi ekonomi di Indonesia dengan dalih memerangi terorisme. Pada 2 Agustus 2002, melalui Keduataan Besar AS di Indonesia, Departemen Luar Negeri AS menggelontorkan dana lebih dari US$ 50 juta kepada pemerintah Indonesia guna membiayai proyek bertajuk “Program Anti-Terorisme Jangka Panjang”. Sekitar US$ 47 juta akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan polisi, sedangkan sekitar US$ 4 juta akan digunakan untuk pelatihan bagi TNI.
Wakil Ketua Sub Anggaran Komisi III DPR, HRM Pupung S. Wirjohamidjojo, kepada wartawan pernah menyatakan, sumber dana pembangunan kantor Polda yang dikerjakan tidak ditemukan dalam APBN Tahun 2004 ataupun 2005. Berdasarkan proposal rencana pembangunan, Gedung Densus 88 Antiteror Polda terdiri dari 23 lantai dan menelan biaya Rp 617 miliar. Total anggaran yang diperlukan mencapai Rp 1,1 triliun, termasuk renovasi gedung utama dan pembangunan kawasan Polda lainnya (Kompas, 7/12).
Dalam beberapa kesempatan, Firman mengatakan bahwa pembangunan Gedung Densus 88 Antiteror menggunakan anggaran multiyears. Artinya, dana pembangunan disesuaikan dengan kekuatan keuangan negara yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kepala Bidang Humas Komisaris Besar I Ketut Untung Yoga Ana mengatakan, keterbatasan anggaran membuat renovasi dan pembangunan fisik dilakukan dengan memperhitungkan skala prioritas. “Kebetulan saja prioritas pembangunan di bidang reserse, lalulintas, narkoba, juga humas,” katanya. Sedangkan untuk Sabhara dan Brimob belum mendapat alokasi. “Saya juga kasihan melihat mereka yang datang ke rumah sendiri seperti tamu. Harapannya, pembangunan bisa dilanjutkan,” katanya.
Selain kepolisian, aparat penegak hukum juga memperoleh berkah dari bisnis terorisme ini. Tidak kurang dari Ketua DPR RI Agung Laksono sendiri yang angkat bicara, mempertanyakan hibah dari pemerintah Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 750 ribu bagi Kejaksaan Agung yang akan digunakan untuk mendanai satuan tugas (satgas) antiteror. Pada 27 Juli 2005, di gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Agung Laksono menyatakan khawatir ada maksud tertentu di balik pemberian hibah dana tersebut. “Kejaksaan Agung harus menjelaskan kenapa dibiayai AS, bukan diambil dari APBN. Soal dana, masak harus dibiayai oleh asing,” katanya.
Sedangkan Mahkamah Agung pimpinan Bagir Manan kecipratan dana sebesar US$ 20 juta. Bantuan meliputi perumusan undang-undang dan amandemen, modernisasi administrasi pengadilan, komputerisasi sistem informasi, serta pelatihan. Mahkamah Agung (MA) dan Pemerintah AS kemarin (26/7) menandatangani nota kesepahaman mengenai bantuan untuk melaksanakan Program Pembaruan Pengadilan Khusus. Bantuan yang diberikan melalui The United States Agency for International Development (USAID) nilainya mencapai US$ 20 juta.
Dalam acara penandatanganan bantuan tersebut, MA diwakili oleh ketuanya, Prof. Dr. Bagir Manan dan Hakim Agung Paulus Effendi Lotulung sebagai Ketua Tim Pembaruan MA. Sementara, Pemerintah AS diwakili oleh Duta Besar (Dubes) AS untuk Indonesia B. Lynn Pascoe dan Direktur USAID Indonesia William Fred. Bantuan ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah AS sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Hibah untuk Sasaran Strategis yang ditandai. Secara spesifik, bantuan ini akan meliputi perumusan undang-undang dan amandemen, modernisasi administrasi pengadilan, komputerisasi sistem informasi, serta pelatihan.
Dalam dinamika pasar industri terorisme, kepolisian dan aparat hukum di Indonesia, secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri memposisikan diri sebagai broker atau makelar, dan menjadikan aktivis Islam sebagai korbannya. Sementara pemerintah melakukan tindak kejahatan terhadap rakyatnya sendiri, dengan memberlakukan UU Anti-Teroris terhadap mereka yang menjadi korbannya. Karena itu, DPR hendaknya memiliki keberanian untuk membatalkan UU Anti-Teroris. Dan aparat Densus 88 yang dibentuk oleh kepolisian dalam urusan ini harus dibubarkan. Seluruh personilnya harus dimintai pertanggung jawaban hukum, dan diperlakukan sebagai penjahat kemanusiaan.
* Risalah Mujahidin Edisi 7 Th I Rabiul Awal 1428 H / April 2007 M, hal. 16-19.
*Dapatkan Rislah Mujahidin edisi ke 7 di Ar Rahmah Media Hub 021 6884 1087 ( Hanya waktu kerja )