DAMASKUS (Arrahmah.id) — Seorang pria asal Suriah yang selama ini dikenal dengan julukan “Penggali Kubur” akhirnya mengungkap identitas aslinya pada Ahad (13/4/2025), sekaligus mengungkap fakta baru mengenai praktik pembunuhan massal oleh rezim Presiden Bashar al-Assad sebelum kejatuhannya pada Desember 2024.
Dilansir Al Watan News (14/4), pengakuan tersebut disampaikan dalam forum Konferensi Arab di Universitas Harvard, Amerika Serikat, dan dilaporkan secara resmi oleh Kantor Berita Arab Suriah (SANA).
Pria tersebut adalah Mohammed Afif Naifeh, warga Damaskus, yang sebelumnya memberikan kesaksian penting di hadapan Kongres Amerika Serikat dan pengadilan kejahatan perang Suriah di Jerman.
Ia menegaskan kembali keterlibatannya dalam proses penguburan jenazah para korban penyiksaan selama tujuh tahun, dari 2011 hingga 2018, sebelum akhirnya melarikan diri dari Suriah.
Dalam kesaksiannya, Naifeh mengungkap bahwa dua kali setiap pekan, truk dari rumah sakit militer dan markas keamanan tiba membawa antara 300 hingga 600 jenazah yang diduga tewas akibat penyiksaan. Seluruh jenazah itu kemudian dikuburkan secara terburu-buru di kuburan massal yang dirahasiakan lokasinya.
Melansir dari Anadolu Agency (14/4), beberapa korban diketahui merupakan anak-anak yang turut meregang nyawa akibat kekejaman aparat, sebagaimana dijelaskan dalam laporan SANA. Informasi tersebut telah menjadi bagian dari bukti kuat yang memicu sanksi internasional terhadap rezim Assad.
Meski perannya sangat signifikan dalam membongkar kekejaman sistematis tersebut, Naifeh menyerukan pencabutan sanksi internasional terhadap Suriah, yang menurutnya masih berdampak langsung terhadap penderitaan rakyat.
“Empat bulan setelah rezim tumbang, masyarakat Suriah tetap harus menanggung beban ekonomi akibat pembatasan internasional,” ujarnya dalam pidato tersebut.
Ia menekankan bahwa yang paling mendesak saat ini adalah penegakan keadilan terhadap para pelaku kejahatan, bukan hanya mempertahankan tekanan ekonomi.
Kesaksian Naifeh semakin memperkuat laporan-laporan sebelumnya, termasuk dari Farid Nada al-Madhhan, mantan perwira forensik kepolisian militer Damaskus yang dikenal luas dengan nama samaran “Caesar.” Al-Madhhan lebih dahulu mengungkap identitasnya kepada publik pada Februari 2025 dan turut menjadi sumber utama dalam dokumentasi kekejaman negara.
Rezim Assad, yang telah berkuasa selama hampir seperempat abad, resmi berakhir pada 8 Desember 2024, ketika Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia. Selanjutnya, pada 29 Januari 2025, pemerintahan transisi Suriah terbentuk, yang secara resmi membubarkan konstitusi lama, aparat keamanan, fraksi bersenjata, Partai Baath, serta parlemen.
Kesaksian Naifeh dan Madhhan kini menjadi sumbu utama dalam mendorong pengadilan internasional untuk mengusut kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan selama hampir dua dekade kekuasaan otoriter di Suriah. (hanoum/arrahmah.id)