Oleh Uqie Nai
Member Akademi Menulis Kreatif
Ada gula ada semut. Peribahasa ini sering digunakan masyarakat dalam percakapan sehari-hari. Meski terdengar klise, tapi peribahasa ini kerap mencerminkan kehidupan individu, kelompok atau bahkan lembaga pemerintah yang bersinggungan dengan sesuatu yang ‘menguntungkan.’ Sebagai makanan manis, gula memang memiliki daya tarik tersendiri bagi semut untuk menyantapnya. Namun tak hanya semut, hal itu juga berlaku di kehidupan kapitalistik saat ini. Pemerintah dalam waktu dekat akan memberlakukan cukai terhadap produk-produk yang mengandung gula (pemanis) sesuai dengan Perpres Nomor 76 Tahun 2023.
Melalui Kementerian Keuangan, pemerintah akan segera memungut cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) dengan target dari peneriman cukai tersebut sebesar Rp4,39 triliun di tahun pertama ditetapkan yakni 2024.
Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menyebut pemberlakuan cukai ini bukan semata menambah penerimaan negara, namun tujuan utamanya adalah mengendalikan risiko dari banyaknya penyakit tidak menular yang terjadi di masyarakat, seperti diabetes. (Tirto.id, 23/2/2024)
Cukai MBDK Bentuk Kegagalan Negara Menjaga Kesehatan Masyarakat
Kebijakan cukai untuk produk berpemanis sebetulnya sudah direncanakan pemerintah sejak 2016 dan tahun 2024 ini rencananya akan mulai direalisasikan. Namun tentu saja realisasinya tak semudah seperti membalikan telapak tangan, akan ada pihak yang diuntungkan dan ada yang dirugikan.
Tujuan utama pemberlakuan cukai MBDK menurut pemerintah adalah membatasi konsumsi masyarakat terhadap minuman yang mengandung pemanis. Pemberlakuan ini bertujuan melindungi masyarakat dari faktor risiko penyakit tidak menular seperti diabetes. Penyakit ini bahkan telah banyak diidap oleh anak-anak usia 10-14 tahun dengan jumlah peningkatan mencapai 70 kali lipat pada tahun 2023. (cnbcindonesia.com, Kamis 2/2/2023)
Melindungi masyarakat dari berbagai penyakit adalah tanggung jawab negara tanpa perlu menerapkan pajak jika akhirnya rakyat juga yang dirugikan. Para pengusaha bisa dengan mudah membayar pajak dengan cara membebankan pajak di setiap produk yang dibeli konsumen. Jadi bukan pengusaha itu sendiri sebetulnya yang membayar pajak tapi rakyat sebagai konsumen.
Negara, sepertinya tidak mau tahu tentang kondisi itu selama cukai yang diberlakukan tetap lancar. Padahal jika benar negara mementingkan kesehatan publik, negara bisa mengedukasi pihak produsen agar tidak memproduksi pangan menggunakan zat berbahaya, salah satunya dengan menyediakan bahan baku dengan harganya yang terjangkau. Negara juga harus memberikan alternatif berupa produk pengganti dengan bahan yang aman tapi menyehatkan; melakukan pengawasan produksi hingga distribusi, atau membatasi penggunaan bahan plastik hingga membatasi izin pendirian pabrik. Jika perusahaan melanggar, negara bisa menutup operasional pabrik dan distribusinya.
Di samping upaya tersebut negara tidak boleh melupakan tugas pokoknya yakni memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dengan gizi dan nutrisi seimbang seperti susu, daging, ikan, sayuran dan buah-buahan kepala per kepala, secara mudah, murah bahkan gratis dan berkesinambungan.
Sayangnya, tanggung jawab itu tak mungkin dilakukan negara saat ini karena sumber-sumber kekayaan negara yang diperuntukkan untuk rakyat seperti tambang emas, batu bara, mineral, hutan, laut dll. diserahkan kepada swasta (lokal dan asing). Satu-satunya pendapatan negara yang terus digenjot adalah pajak. Itu pulalah yang dilakukan negara terhadap MBDK atau produk lain sekiranya bisa mendatangkan cuan. Kesehatan rakyat hanyalah tameng agar pemalakan berlabel ‘pajak’ bisa berjalan tanpa hambatan. Fakta ini semakin mempertegas bahwa negara dalam sistem kapitalis dianggap terlalu berlebihan menyikapi kesehatan dengan kebijakan fiskal. Kebijakan ini justru menunjukkan ketidakmampuan negara menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik yang salah satunya memberikan hak kesehatan.
Mekanisme Islam Tentang Kesehatan dan Pajak
Kesehatan adalah hak individu masyarakat yang harus dipenuhi negara. Dan Islam dengan seperangkat aturannya telah memberikan arahan agar hak dan tanggung jawab ini terealisasi. Salah satunya adalah dengan menerapkan kebiasaan sehat yang dicontohkan Rasulullah saw. yakni makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang. Mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, dan makan untuk takwa, bukan sekadar memuaskan hawa nafsu.
Allah Swt. telah berfirman: “Wahai manusia, makanlah kalian dari apa-apa yang ada di bumi yang halal lagi baik.” (QS. al Baqarah: 186)
Dikabarkan dalam sebuah riwayat, karena kebiasaan sehat yang dicontohkan Rasul saw. tersebut telah membuat seorang tabib (dokter) menganggur. Pasalnya, sejak ia tinggal selama dua tahun di Madinah tak ada satupun pasien datang menemuinya hingga ia menyangka bahwa masyarakat takut bertemu dengannya. Hal ini pun ia tanyakan kepada Rasulullah lalu beliau berkata: “Bagaimana mungkin mereka takut padamu, kematian saja tidak mereka takuti. Jika tidak percaya silahkan cari di sudut-sudut kota dan sekitarnya.” Tabib yang merupakan hadiah dari Raja Muqauqis itu pun akhirnya berjalan berkeliling dan membenarkan apa yang disampaikan Rasulullah saw. bahwa tidak ada warga yang sakit.
Meski kehadiran tabib itu diperuntukkan untuk baginda Rasulullah saw. tapi beliau tidak menggunakan jasanya untuk kepentingan pribadi melainkan diberikan untuk seluruh masyarakat yang ingin berobat. Karena beliau saw. sebagai kepala negara di Madinah saat itu bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warganya.
Dalam Islam, mengkonsumsi makanan dan minuman halal lagi tayib adalah suatu keharusan, dan negara berkewajiban menjamin semua produk yang beredar di tengah masyarakat mengandung dua unsur ini, selain untuk menjaga kesehatan juga menjaga ruhiyah ketakwaan masyarakat karena akan menjadi salah satu penentu amal seseorang diterima Allah Swt.
Terkait tanggung jawab penguasa, Rasulullah saw. telah bersabda: “Imam (pemimpin) itu laksana penggembala. Dan ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi urusannya (rakyat).” (HR Bukhari)
Di samping bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan, negara wajib memenuhi kebutuhan primer masyarakat seperti sandang, pangan dan papan secara merata, kepala per kepala. Untuk pembiayaan, negara memiliki sumber-sumber keuangan yang berasal dari ghanimah, kharaj, fa’i, usyr, dharibah (pajak), zakat, harta orang murtad, dan hasil dari pengelolaan kekayaan alam (SDA). Sumber pemasukan negara terutama SDA akan dikelola negara secara mandiri dan akan menutup celah bagi pihak swasta atau asing yang ingin menguasai aset publik ini.
Adapun pajak atau dharibah, negara hanya akan memberlakukannya di saat dharurat, yakni saat kas keuangan negara kosong sementara kebutuhan rakyat harus segera dipenuhi. Mekanisme pemberlakuan pajak (dharibah) ini selain bersifat sementara hingga kebutuhan itu terpenuhi, yang dikenai pajak pun hanya warga laki-laki muslim yang kaya (berkecukupan) saja.
Demikianlah tanggung jawab pemimpin dalam sistem Islam berikut pemberlakuan pajak yang sangat berbeda dengan sistem saat ini yakni demokrasi kapitalisme. Sistem yang datang bukan dari aturan syara’ hingga menjadikan negara dan penguasa tak menjalankan tugasnya untuk melayani rakyat dan bertindak pun hanya berdasarkan manfaat (keuntungan), bukan berdasarkan syariat. Wallahualam bissawwab