Oleh Bashar Abu Zikri
Rifaat Ridwan, paramedis Palestina, tidak tahu bahwa saat ia mengenakan seragam medis dan membawa tas P3Knya di pagi buta itu, misi tersebut akan menjadi yang terakhir dalam hidupnya. Bersama rekan-rekannya, ia berangkat untuk menyelamatkan warga Palestina yang menjadi korban serangan ‘Israel’ di kawasan Tal Sultan, barat Rafah, selatan Gaza, pada dini hari 23 Maret 2025.
Pukul 05.20 pagi, sebuah tim gabungan dari Palang Merah Palestina, Pertahanan Sipil, dan sebuah badan PBB bergerak menanggapi panggilan darurat dari warga yang terluka dan terkepung.
Mereka berangkat dengan niat murni kemanusiaan—hanya membawa perban dan hati yang tulus. Namun, tanpa disadari, mereka justru menjadi sasaran berikutnya dari tentara pendudukan ‘Israel’.
Apa yang seharusnya menjadi misi penyelamatan, berubah menjadi pembantaian berdarah. Tak lama setelah tim berangkat, komunikasi terputus. Beberapa jam kemudian, pasukan pendudukan ‘Israel’ menyatakan wilayah itu sebagai “zona militer tertutup”.
Rifaat Ridwan, yang tanpa sadar mendokumentasikan misi terakhirnya melalui ponselnya, justru mengabadikan kejahatan perang yang mengguncang dunia. Itulah detik-detik terakhir sekelompok paramedis Palestina yang dibunuh dengan kejam oleh tentara ‘Israel’.
Rekaman yang Mengguncang
Ponsel Rifaat ditemukan bersama jenazahnya, merekam adegan terakhir yang mengungkap kebrutalan pembantaian itu. Rifaat berada di ambulans ketiga dalam konvoi yang juga termasuk mobil pemadam kebakaran—semua dengan tanda jelas dan lampu darurat menyala.
Saat mencari ambulans lain yang hilang kontak, tim menemukannya terparkir di pinggir jalan. Seorang paramedis dalam rekaman itu berteriak, “Mereka berserakan di tanah! Lihat, lihat!” Rifaat dan rekan-rekannya turun untuk memeriksa rekan mereka yang terluka.
Tapi ketika penyelamat berubah menjadi sasaran, tembakan senapan mesin dan senjata tentara ‘Israel’ menghujani mereka.
Rifaat terluka. Di detik-detik terakhirnya, ia terus berdoa memohon ampunan kepada Allah dan meminta maaf kepada ibunya karena memilih jalan pertolongan yang membawanya pada bahaya. Doanya terhenti seiring berhentinya detak jantungnya.
Setelah jenazah ditemukan, terungkap bahwa ‘Israel’ membunuh 8 petugas Palang Merah dan 6 petugas Pertahanan Sipil malam itu. Seorang paramedis lain, Asad Al-Nassasra, ditangkap.
Mereka bukan sekadar angka. Mereka adalah manusia dengan keluarga, mimpi, dan kisah hidup. Melalui laporan ini, kami menyoroti sisi kemanusiaan mereka melalui kesaksian Ibrahim Abu Kass, yang telah membersamai para syuhada bertugas selama bertahun-tahun.
Rifaat Ridwan (24): Cucu Baik Hati yang Mengabadikan Kejahatan
“Dia selalu membantu wanita tua yang ditemuinya,” kata Abu Kass. “Ia meminta doa tulus mereka, lalu berpamitan dengan kelembutan yang membuatmu mengira itu neneknya sendiri.”
Ashraf Abu Lubda (32): Si Tenang
Dengan wajah serius dan kacamatanya, Ashraf memberi ketenangan bagi rekan-rekannya. Sejak jadi relawan pada 2021, ia selalu menyiapkan sahur untuk rekan-rekannya selama Ramadan.
Izzuddin Sha’at (51): Sang Ayah yang Penuh Candaan
Dikenal dengan ketenangan dan selera humornya, mottonya adalah:
“Kita akan kembali jika ditakdirkan. Jika tidak, maka itu juga takdir kita.”
Sebelum pindah ke Rafah, ia bekerja di Khan Yunis. Ia selalu memastikan rekan-rekannya istirahat cukup dan makan malam, bahkan mencatat nama agar tak ada yang terlewat.
Muhammad Bahoul (36): Si Pembuat Keajaiban
Ia dikenal karena kemampuannya menemukan solusi bagi pengungsi, meski dalam kondisi sulit.
Mustafa Khafaja: Abu An-Nur (Ayah Sang Cahaya)
Ayah dari seorang anak 15 tahun ini sering tinggal di markas berhari-hari demi tugas. Putranya adalah “cahaya” yang menerangi jalannya.
Mohammed Al-Hilah: Seorang pemuda berusia 23 tahun yang memiliki selera humor dan jiwa suka menolong.
Abu Kass menceritakan salah satu kisah tentangnya: “Suatu hari yang hujan, ada seorang wanita tua yang ingin menyeberang jalan tetapi tidak mampu. Mohammed dan Mustafa berbicara tentang kemitraan mereka—’Apakah kita mitra? Tentu, apa pun tugasnya!’ Mereka pun sepakat: ‘Ayo bantu wanita itu menyeberang.’ Mereka membawakan kursi, mendudukkannya, lalu mengangkatnya dengan hati-hati ke seberang jalan. Sambil tersenyum, mereka membawanya seolah-olah dia adalah pengantin, sementara wanita itu bersorak dan mendoakan mereka.”
Raed Al-Sharif: Fotografer dengan Impian Besar
Abu Kass berkata, “Aku mencintai Raed, yang berusia 25 tahun dan gemar mengambil foto—entah yang lucu, serius, atau candid. Raed berharap suatu hari dunia bisa melihat karyanya dan merasakan penderitaan bangsanya melalui fotonya.”
Ia mulai menjadi relawan dengan Palang Merah Palestina pada 2018, saat usianya baru 18 tahun, selama protes Great March of Return.
‘Israel’ menewaskan 214 pengunjuk rasa, termasuk 46 anak-anak, dan melukai 36.100 orang, sekitar 8.800 di antaranya adalah anak-anak.
Raed adalah anak bungsu dari lima bersaudara dan belum menikah, meskipun keluarganya berharap ia akan menikah setelah perang. Namun, itu tidak terjadi. Ayah Raed menceritakan “penantian mengerikan selama 9 hari” untuk mengetahui nasib anak bungsunya itu, berjuang melawan kepastian bahwa Raed mungkin telah dieksekusi bersama rekan-rekannya.
“Raed Al-Sharif, 25 tahun, bermimpi menyampaikan pesan bangsanya kepada dunia melalui lensanya.”
Dokter Saleh Ma’amar: Sang Pemberani
Meskipun pernah terluka dalam misi sebelumnya, Saleh (42) bersikeras kembali bekerja untuk menyelamatkan nyawa.
Saudaranya, Hussein, bercerita kepada Al Jazeera bahwa “Saleh sangat mencintai pekerjaannya dan segera kembali setelah pulih dari operasi pada 2024.”
Pada Februari lalu, Saleh sedang dalam misi membantu korban luka ketika pasukan ‘Israel’ menembaki tim medis—padahal mereka sudah memberi tahu keberadaan mereka.
Saleh terluka parah di bahu dan dada, harus dirawat di rumah sakit, tetapi begitu sembuh, ia langsung kembali bertugas.
Abu Kass menggambarkan keberaniannya: “Ia berdedikasi untuk membantu. Ia selalu bilang, ‘Di mana ada orang yang berteriak minta tolong, di situlah kita harus berada.’”
Asad Al-Nassasra: Si Penyayang Anak-Anak
Abu Kass menuturkan bahwa Asad (47) adalah ayah dari 6 anak dan memiliki kesabaran luar biasa saat berinteraksi dengan anak-anak. “Setiap kali melihat anak-anak bermain di jalan, ia akan mendekati mereka, membagikan permen, dan membujuk mereka pindah ke tempat yang lebih aman.”
Anak-anak kemudian mengenali triknya dan bermain-main, tertawa berkata, “Kami tahu akal-akalanmu!” Tapi Asad tidak pernah marah, ia terus membagikan permen dengan sabar.
Jenazahnya tidak ditemukan saat tim pencari internasional datang. Satu-satunya saksi yang selamat, Munther Abed, mengatakan Asad “ditangkap, diborgol, dan dibawa pergi.”
Anaknya, Mohammed, bercerita bahwa Asad terakhir kali berbicara dengan keluarga pada malam ia menghilang, mengatakan ia akan sarapan dengan rekan-rekannya di markas Palang Merah Palestina.
Saat keluarga mencoba menghubunginya mendekati waktu sahur, tidak ada jawaban. Mereka kemudian mengetahui bahwa tidak ada yang bisa menemui Asad atau tim medis lainnya.
“Ia selalu mengingatkan kami bahwa setiap kali ia pergi bertugas, mungkin ia tidak akan kembali,” kata putranya. Namun, meski tahu risikonya, Asad tetap melanjutkan misi penyelamatannya.
Laporan Khusus
Laporan ini, disusun oleh tim Al Jazeera, menyoroti sisi kemanusiaan para syuhada dari tim pertahanan sipil dan Palang Merah Palestina. Mereka mengorbankan nyawa untuk membantu warga Gaza yang terus dibombardir dan dibunuh secara sistematis oleh pendudukan ‘Israel’ selama 18 bulan terakhir.
Kisah-kisah ini diceritakan oleh Ibrahim Abu Kass, seorang paramedis yang hidup dan bekerja bersama para pahlawan ini, mengenal detik-detik kehidupan mereka sebelum gugur.
“Mereka bukan hanya petugas medis—mereka adalah saudara, ayah, dan sahabat yang mengorbankan segalanya untuk rakyat Gaza.” (zarahamala/arrahmah.id)