(Arrahmah.com) – Aceh, wilayah ini sudah tak asing lagi di telinga masyarakat dunia karena tsunami yang pernah melanda tanah itu 2004 lalu. Siapa saja yang mendengar Aceh pasti ingatannya tertuju pada tragedi tsunami besar yang menelan korban ribuan jiwa dan akan terharu pada ketegaran masyarakat Aceh untuk bangkit dari bencana.
Kini Aceh kembali booming. Kembali menjadi sorotan dunia. Betapa tidak, wilayah ini menjadi tempat berlabuh sejumlah besar “manusia perahu”. Lebih dari 1.300 Muslim Rohingya dari Myanmar berlabuh di provinsi Aceh dan Sumatera Utara pada pekan lalu, menurut data UNHCR. Di saat pemerintah-pemerintah regional, termasuk Indonesia, menolak kehadiran warga Rohingya atas nama kedaultan negara, warga Aceh tanpa ragu menerima para “manusia perahu” itu dan membantu mereka karena rasa kemanusiaan.
Melarikan diri dari Myanmar untuk menyelamatkan jiwa mereka dari penindasan, warga Rohingya yang tiba di daratan Aceh meneteskan air mata haru karena melihat kebaikan warga Aceh kepada mereka.
Masyarakat lokal Aceh telah memobilisasi donasi makanan, air, pakaian serta dukungan moral yang sangat para pengungsi Rohingya butuhkan setelah menderita di tengah lautan luas.
Di antara mereka adalah Fatimah (18), bukan nama sebenarnya, yang selamat dari perjalanan yang mengerikan itu. Dia memutuskan untuk meninggalkan kamp pengungsian di Sittwe, ibukota Rakhine, Myanmar, setelah suaminya yang nelayan tewas dibunuh dalam kondisi yang misterius setahun yang lalu dan ia tidak bisa lagi bertahan sendirian bersama kedua puterinya yang masih kecil, menurut rilisan UNHCR.
Fatimah berharap bisa bergabung dengan saudarinya di Malaysia. Ia memberikan semua harta yang ia punya -200.000 kyat- untuk turut berlayar dalam perahu sekitar tiga bulan lalu. Perahu yang ia naiki amat penuh sesak oleh pengungsi. Mereka diberi makan dua kali sehari, kadang-kadang nasi, bubur, ikan kering atau kentang. Lebih dari sepekan yang lalu, kru perahu penyelundup meninggalkan mereka di perahu penuh sesak, terombang-ambing di lautan lepas.
“Para nelayan dan orang-orang lokal sangat menolong dan baik pada kami,” kata Fatimah kepada relawan, berdasarkan laporan yang dirilis unhcr.org. “Mereka membawa kami ke masjid terdekat dan mengizinkan kami untuk beristirahat sambil memberikan kami makanan, air dan makanan ringan.”
Puteri pertamanya, Anwara (3), sakit akibat dehidrasi pada hari-hari pertama tiba di Aceh. Seorang perempuan lokal, Rusmawati, bukan nama sebenarnya, mengundang mereka ke rumahnya untuk membersihkan diri mereka, dan khawatir saat melihat gadis kecil itu masih sakit pada hari berikutnya.
“Kami berbicara dalam bahasa yang berbeda, sangat sulit untuk memahami apa yang mereka katakana, tetapi Saya tahu bahwa kami memiliki agama yang sama dan kami merasakan bahwa mereka butuh untuk ditolong,” katanya sambil menangis, berharap Anwara segera sembuh.
Menurut laporan UNCHR, Pada hari-hari pertama perahu itu, mereka ditempatkan di gedung olahraga di Lhoksukon di bawah koordinasi Dinas Sosial, kantor sosial dan kesejahteraan kabupaten tersebut. UNHCR bekerja untuk mendata warga Rohingya di antara kelompok pengungsi, sementara makanan dan pakaian disumbangkan oleh masyarakat lokal dan instansi pemerintah terus berdatangan. Tiga kali sehari staf bergantian untuk menyediakan makanan bagi para pengungsi itu.
Warga lokal juga terus berdatangan untuk melihat kondisi para pengungsi dari Myanmar dan Bangladesh itu. Di antaranya Ani, seorang guru SMA, datang bersama dengan seluruh muridnya dan membawa kardus-kardus mie instan dan makanan ringan. Ani kemudian meminta staf UNHCR untuk memberikan sesi untuk menjelaskan mengapa para pengungsi itu datang dan mengapa masyarakat perlu untuk membantu mereka.
Pada Rabu lalu, ratusan warga lokal berkumpul di luar gedung olahraga, untuk melihat para pengungsi itu. Banyak wanita yang menangis karena rasa simpati dan keprihatinan. Banyak dari pengungsi menyalami tangan-tangan warga, mereka berusaha untuk menunjukkan rasa terimakasih atas kedermawanan dan rasa kasih sayang yang diberikan oleh warga Aceh.
“Anwara sudah membaik hari ini,” kata Fatimah ketika sedang bersiap-siap untuk menumpangi bus yang disediakan pihak imigrasi untuk memindahkan mereka ke tempat pengungsian sementara. “Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan mereka kepada kami,” ujarnya haru.
Selain Fatimah dan pengungsi yang bersamanya, sekitar 7.000 para pengungsi Rohingya lainnya dikabarkan masih terombang-ambing di laut Asia Selatan. Berharap pemerintah negara-negara wilayah ini mau membuka pintu dan memberikan mereka pertolongan. (siraaj/arrahmah.com)