Berkerumun di sekitar gedung yang terbakar setelah dibombardir oleh rezim Assad di Aleppo, Mujahidin asing (dari luar negara-red) yang berjuang bersama dengan Mujahidin setempat mengatakan mereka berperang untuk mendirikan sebuah negara Islam di Suriah.
Di antara rekan-rekan revolusioner dan warga sipil, para pejuang asing ini dihormati karena kedisiplinan mereka dan jika Assad jatuh, mereka mungkin akan menyelesaikan perjuangan untuk kekhilafahan Islam.
Seorang Mujahid asal Turki di distrik Karm al-Jabal, Aleppo menyatakan tekad untuk mencapai terbentuknya sebuah negara di bawah hukum Islam di mana negara-negara Barat sangat mengkhawatirkan hal ini.
“Suriah akan menjadi negara Islam dan Syariah ditegakkan dan kami tidak akan menerima apa-apa lagi. Demokrasi dan sekulerisme telah benar-benar ditolak,” ujarnya yang menyebut dirinya Khattab seperti dilansir Reuters.
Memakai pakaian sporty dengan jenggot panjang dan membawa AK-47 di bahunya, ia memperingatkan siapa saja yang mungkin menghalangi. “Kami akan melawan mereka, bahkan jika mereka adalah salah satu kaum revolusioner atau siapapun,” ujar Khattab, yang meninggalkan pekerjaannya sebagai supir untuk berperang di Afghanistan selama dua tahun dan kemudian pindah ke Suriah sejak enam bulan lalu.
Seorang anggota dari unit Jundullah, Khattab memiliki sedikit pengetahuan tentang bahasa Arab, ia berbicara di puing-puing gedung dengan penerjemah Suriah dan menolak untuk difoto atau difilmkan karena takut diidentifikasi saat kembali ke Turki.
Amerika Serikat telah menetapkan kelompok Jabhah an-Nushrah sebagai organisasi “teroris” pada bulan Desember lalu dan menyatakan bahwa kelompok tersebut terkait dengan Al Qaeda. Namun penduduk setempat dan bahkan warga Palestina serta Muslim di seluruh dunia menyatakan dukungannya terhadap kelompok ini.
Di Aleppo, kota terbesar di Suriah, pengaruh kelompok ini sangat terasa. Banyak Mujahid yang berlalu-lalang melintasi jalan-jalan yang hancur dengan mobil yang dihiasi bendera Islam hitam.
Mujahidin juga tak jarang bekerjasama dengan unit FSA di mana banyak anggota FSA memuji keterampilan tempur Mujahidin-telah terasah di Afghanistan dan Irak-dengan mengatakan mereka adalah salah satu pejuang paling berani meskipun cenderung tertutup. Meskipun sebenarnya banyak di antara anggota Jabhah an-Nushrah merupakan Mujahid pemula yang sebelumnya belum pernah terjun di medan Jihad manapun.
Salah satunya adalah Abu al-Harits, seorang pemuda dengan tubuh kekar berusia 27 tahun dari Azerbaijan yang berbicara di sebuah pangkalan di Karm al-Jabal, Aleppo.
“Ini adalah pertama kalinya saya memulai Jihad, karena tidak ada yang lebih buruk daripada Bashar. Bahkan Stalin masih memiliki belas kasihan dibanding dengan dia (Assad),” ujarnya yang mengenakan topeng dan seragam militer berwarna hijau dengan emblem bendera Islam berwarna hitam di lengannya.
Kekhawatiran terhadap para Mujahid setelah jatuhnya Assad karena menolak negara demokrasi di masa depan semakin menjadi di kalangan Barat dan petinggi FSA sekuler.
Beberapa Jihadis menyatakan ketidakpercayaan terhadap FSA dan beberapa petingginya. Karena mereka memiliki sedikit perbedaan dengan Barat dan negeri-negeri Islam yang mendukung FSA.
“Semua berbicara tentang kebebasan, demokrasi dan negara sekuler dan keadaan kebebasan terbuka seperti sistem Amerika dan Eropa, Islam tidak dipedulikan sama sekali,” ujar Abu Muawiyah (25), seorang Mujahid bertubuh kurus yang mengatakan ia berasal dari pedesaan Aleppo.
“Adabeberapa kelompok yang berperang seperti FSA, yang memiliki hubungan ke negara lain seperti Turki, Arab Saudi dan Qatar dan negara-negara ini memiliki hubungan dengan Amerika Serikat,” ujarnya. “Amerika akan melawan kelompok Islam. Itu jelas bagi semua orang.”
Tujuan yang sama
Sementara Washington telah membentuk Koalisi Nasional dan menyatakan sebagai satu-satunya wakil rakyat Suriah yang “sah”, penunjukkan fron an-Nushrah sebagai organisasi “teroris” telah membuat marah banyak pemimpin faksi pemberontakan. Mereka mengatakan walaupun berbeda ideologi, tetapi mereka melawan musuh yang sama.
Front an-Nushrah memiliki reputasi kedisiplinan yang terkenal dan sangat sulit menemukan orang yang akan mengkritik hal itu. Abu Abdo, seorang pejuang di garis depan di Aleppo, mengatakan ia telah mencoba bergabung dengan kelompok itu, namun ditolak karena dirinya seorang perokok.
Kolonel Abduljabbar Oqaidi, yang memimpin dewan militer revolusionel di Aleppo juga membela an-Nushrah. “Kami mungkin berbeda pemikiran dengan mereka,” ujarnya kepada Reuters.
“Mereka sengit dan lotal dan hingga hari terakhir mereka melawan rezim bersama kami, kami belum melihat ‘ekstrimisme’ mereka. Mereka tidak melakukan sesuatu yang membuktikan mereka adalah teroris,” ujarnya. “Siapapun yang berperang melawan reim adalah mujahid dan seorang revolusioner dan kami mencium dahi mereka,” lanjutnya.
Sebaliknya, dukungan terhadap FSA terus mengikis di Aleppo karena beberapa kasus penjarahan.
“Unit terbersih di lapangan, dengan tidak adanya korupsi di jajarannya adalah Front an-Nushrah. Kelompok ini kini memiliki basis yang populer. Mungkin ideologi mereka jauh dari rakyat, tapi rakyat menyukasi an-Nushrah,” ujar Abu Ahmed yang memimpin unit Brigade al-Tawheed di Aleppo.
“Ketakutan terhadap an-Nushrah terjadi karena intimidasi media,” katanya. (haninmazaya/arrahmah.com)