JAKARTA (Arrahmah.com) – Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) bekerjasama dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) pada Sabtu (12/1/2019) menggelar acara diskusi kemanusiaan.
Diskusi bertajuk “Kesaksian dari Balik Penjara Uighur” itu menghadirkan salah seorang mantan tahanan kamp konsentrasi yang dibuat oleh pemerintah komunis Cina.
Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur, Seyit Tumturk menegaskan bahwa bangsa Uighur telah melihat solidaritas yang ditunjukkan masyarakat Indonesia.
“Masyarakat Muslim Indonesia turun ke jalan dan di Jakarta digelar aksi solidaritas untuk bangsa Uighur. Inilah salah satu sebab saya datang ke Jakarta. Kami kagum dengan Muslim Indonesia yang menyatakan sikapnya secara tegas berada di sisi masyarakat Uighur,” terang Seyit.
Sebagaimana diketahui, pada 21 Desember 2018 lalu, sejumlah aktivis dan ormas Islam menggelar aksi di depan Kedubes Cina di Mega Kuningan, Jakarta. Setelah aksi itu dilakukan, pihak kedutaan Cina di Indonesia mengajak ormas Islam datang ke Cina guna memanipulasi ormas dan tokoh Islam yang diajak ke sana bahwa kamp itu hanya kamp pelatihan biasa. Mereka diajak dan ditunjukkan ke kamp yang disebut kamp untuk kaum Uighur tapi bukan kamp yang sebenarnya.
“Partai Komunis Cina mengingkari kekerasan dan kezaliman yang terjadi di dalam kamp itu. Namun, PBB dan lembaga internasional sudah meneliti secara langsung apa yang terjadi di sana. Hanya saja jumlah pengungsi kamp yang disebut PBB sangat sedikit yaitu satu juta, padahal jumlahnya mencapai 3 juta lebih,” tandasnya.
Pemerintah Cina hingga kini bersikeras menyebut bahwa kamp tahanan khusus bangsa Uighur itu sebagai “kamp pelatihan dan reedukasi”.
“Kalau betul apa yang mereka katakan bahwa itu adalah kamp pelatihan untuk edukasi, kami siap duduk satu meja untuk membeberkan bukti-bukti kedzaliman yg ada di hadapan pemerintah Cina,” jelas Seyit Tumturk.
Secara ringkas, pendiri Asosiasi Solidaritas dan Budaya Turkistan Timur yang berbasis di Kayseri, Turki ini menambahkan bahwa Turkistan Timur pernah berdaulat dan merdeka di tahun 1949. Kemudian kembali dijajah oleh Cina dan diubah namanya menjadi wilayah otonomi Xinjiang.
Secara demografi, pada 1943, etnis Cina (Han) hanya berjumlah 3% di wilayah tersebut. Namun kini sekitar 70% yang menguasai wilayah Urumqi adalah etnis Han. (FajarShadiq/arrahmah.com)