WASHINGTON (Arrahmah.com) – Seorang remaja Muslim, Ahmad Muhammad, yang menjadi sorotan internasional setelah ia ditangkap ketika seorang gurunya mengira jam buatannya adalah bom, berharap untuk mengakhiri diskriminasi rasial dan Islamophobia.
Ahmad mengatakan bahwa ia merasakan sikap prasangka aparat kepolisian terhadap dirinya yang membenarkan bahwa jam itu adalah bom sebelum melakukan penyelidikan.
“Saya meminta untuk memanggil orang tua saya, mereka bilang kamu tidak bisa memanggil orang tuamu. Saya meminta untuk memanggil pengacara, mereka mengatakan kau terlalu muda untuk memiliki pengacara,” kata Ahmad kepada Anadolu Agency, sebagaimana diansir oleh Al Bawaba, Jum’at (19/9/2015).
“Mereka melanggar hak-hak saya. Meskipun saya seorang anak kecil saya masih memiliki hak di bawah Konstitusi,” tegas Ahmad.
Ahmad mengatakan bahwa ia yakin ia mendapatkan penyaniayaan seperti itu karena ras atau agama yang dianutnya.
“Saya berharap, saya tidak hanya menyingkirkan Islamofobia tetapi juga saya berharap untuk menyingkirkan diskriminasi rasial,” katanya.
Ahmad diborgol dan digiring keluar dari sekolahnya di MacArthur High School di Irving, Texas, oleh polisi pada Senin (14/9) ketika seorang guru mengira bahwa jam buatannya itu adalah bom.
Meskipun Ahmad bersikeras bahwa perangkat itu hanyalah jam, akan tetapi polisi menolak penjelasan Ahmad dan menuntut “penjelasan yang lebih luas” dari fungsi perangkat itu sebelum memerintahkan dia dikirim ke pusat penahanan remaja, didakwa dengan tuduhan membuat sebuah bom tipuan. Dia kemudian dibersihkan dari semua tuduhan itu beberapa hari kemudian .
Aktivis hak-hak sipil dan jutaan pendukung Ahmea di media sosial telah menuduh bahwa nama Ahmad Muhammad – yang merupakan nama yang umum digunakan oleh Muslim – serta warna kulit atau ras dari remaja Amerika keturunan Sudan itu membuat polisi bertindak tidak semestinya.
“Saya tidak merasa takut lagi, sebenarnya saya merasa bahwa sekarang mereka yang takut kepadaku,” katanya.
Dan bahkan Presiden Sudan Omar al-Bashir telah mengundang Einstein muda itu untuk berkunjung.
“Saya akan pergi ke Gedung Putih segera,” kata Ahmad tapi tidak memberikan rincian mengenai kapan kunjungannya ke Washington atau undangan lainnya akan dilakukan.
Ayah Ahmad, Muhammad El-Hassani Muhammad, tidak mengerti mengapa anaknya diperlakukan dengan cara seperti itu oleh aparat polisi.
“Ini aneh bahwa mereka tidak bisa membedakan antara jam alarm dengan bom,” kata Ayah Ahmad.
“Mereka memanggil saya. Ketika saya sampai di sana, mereka mengatakan kepada saya ‘anak Anda telah membuat sebuah bom tipuan’ dan saya melihat benda itu dan saya berkata, ‘itu bukan bom tipuan.’ Saya mengatakan kepada mereka bahwa Anda adalah polisi, Anda bisa mengetahui perbedaan antara bom dan jam alarm.”
“Ini adalah konyol dan memalukan.”
El-Hassani Muhamad mengatakan bahwa polisi memperlakukan anaknya seperti penjahat dewasa, bukan seperti anak sekolah, ketika mereka menempatkan tangan Ahmad di belakang punggungnya, kemudian memborgol dan menahannya.
“Dia dihina, dan dianiaya,” kata El-Hassani Muhamad. “Setiap orang akan takut jika ia dikelilingi oleh lima polisi, terutama bagi anak berusia 14 tahun.”
Ahmad tidak bisa tidur dengan baik selama tiga hari setelah kasus tersebut dan nafsu makannya menurun sejak itu, ungkap Ayah Ahmad.
Ayah Ahmad juga menambahkan bahwa anaknya tidak akan kembali ke sekolahnya lagi. Ahmad saat ini sedang menjalani home schooling.
“Jangan biarkan warna kulit Anda dan agama Anda menghentikan Anda untuk menjadi siapa Anda,” tegas Ahmad.
“Kejadian Itu tidak bisa menghentikan saya. Ini tidak akan menjadi penemuan pertama dan terakhir saya.”
(ameera/arrahmah.com)