ISTANBUL (Arrahmah.id) — Biara Khora yang menyimpan penggalan sejarah Kristen di Turki dan Timur Tengah kini kembali dijadikan masjid. Setelah Hagia Sophia, Khora adalah gereja kedua yang berubah fungsi layaknya di era Kesultanan Ottoman.
Dilansir DW (14/5/2024), selama 450 tahun Biara Khora berfungsi sebagai rumah ibadah bagi umat Kristen di era Konstantinopel. Fungsi tersebut mulai berubah di bawah kekuasaan Sultan Mehmet dari Ottoman yang menamai kota di dua benua itu sebagai Istanbul pada 1453 dan mengalihkan banyak bangunan gereja menjadi masjid, termasuk Hagia Sophia.
Biara Khora akhirnya menjadi Masjid Kariye. Mosaik dan karya seni fresko dari tradisi Kekristenan, yang memenuhi dinding dalam bangunan, ditutup oleh lapisan untuk menjamin ibadah shalat.
Seiring berdirinya Republik Turki pada 1923 oleh Mustafa Kemal Atatürk, kedua bangunan bersejarah dialihfungsikan sebagai museum. Status tersebut kembali diubah pada tahun 2018 oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan ketika mengumumkan Hagia Sophia sebagai rumah ibadah umat muslim, dan Masjid Kariye pada tahun 2020.
Bagi pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan, AKP, perubahan status kedua warisan budaya UNESCO itu menyimpan klaim abadi sebagai pewaris kekuasaan Ottoman dengan mengedepankan corak keislaman.
Dalam publikasi teranyar, pemerintah Turki menggunakan istilah “penaklukan” ketika mengumumkan perubahan fungsi bangunan. Pun kantor urusan agama di Turki, Diyanet, menyebut kembalinya Haga Sophia dan Biara Khora sebagai “pampasan perang,”
“Hagia Sophia adalah bukti bahwa kita sekarang menduduki kawasan ini. Hagia Sophia ibaratnya adalah pedang penaklukan, hak berkuasa atas Turki,” kata orang kepercayaan Erdoğan, Numan Kurtulmuş, tahun 2020 silam.
Nikolaos Uzunoğlu, Presiden Federasi Universal Yunani Istanbul, menilai tinggi Biara Khora “karena merupakan bangunan terpenting dari era Renaisans terakhir di Kekaisaran Bizantium dan menggambarkan esensi agama Kristen.”
Arsitek dan restorator Turki Zeynep Ahunbay menekankan bahwa Khora sangat penting bagi sejarah seni.
“Ada banyak bekas bangunan Bizantium di Turki yang rusak akibat gempa bumi dan kemudian dipugar. Namun Anda dapat melihat mosaik di bangunan-bangunan ini tidak terpelihara dengan baik, seperti yang ada di Khora” kata dia.
Ahunbay yakin bahwa corak bangunan tersebut harus dipulihkan sesuai dengan masa lalunya. Namun karya seni kekristenan tidak diharapkan dalam fungsinya sebagai masjid.
Yunani bersikap berang merespons keputusan Turki. Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis, misalnya, akan terbang ke Ankara pada hari Senin (20/5). Dia mengaku “terganggu” oleh perubahan status tersebut dan ingin menyampaikan ketidakpuasannya kepada Erdoğan.
Banyak warga Turki yang juga khawatir dengan perubahan status Biara Khora karena dampaknya terhadap perdamaian antaragama. Uzunoğlu, contohnya, merujuk pada “Aliansi Peradaban”, yang didirikan pada tahun 2006 atas inisiatif Turki dan Spanyol dalam kerangka PBB. “Mengingat inisiatif ini, kepekaan antaragama harus berada pada tingkat tertinggi untuk saling meningkatkan dialog dan toleransi,” kata Uzunoğlu.
Ahunbay melihat keputusan tersebut sebagai bukti betapa pemerintahan AKP telah menyimpang dari gagasan negara sekuler yang digariskan Atatürk. Jika dulu masjid-masjid bekas gereja dialihkan sebagai museum di era sekularisme, sekarang fungsi agama lebih dikedepankan. Ini adalah sebuah langkah mundur. Saya tidak berpikir itu tepat untuk warisan budaya.”
Menurut teolog Islam İhsan Eliaçık, perubahan status Biara Khora menjadi Masjid Kariye tidak diperlukan untuk alasan praktis, karena banyaknya rumah ibadah umat Islam di sekitar Khora dan Hagia Sophia.
“Tidak ada yang membutuhkan bangunan ini sebagai masjid,” kata dia.
Menurutnya, keputusan mengenai kedua bangunan tersebut saling terkait: “Pemerintah menyimpan niatan politik dengan mengubah gereja dan museum menjadi masjid,” kata Eliaçık.
“Karya seni di Gereja Khora menceritakan kisah agama Kristen. Itu adalah bangunan bersejarah milik umat manusia. Oleh karena itu, ia harus tetap menjadi museum.” (hanoum/arrahmah.id)