Setiap malam, Muhammad Darwish pergi tidur dengan empat selimut. Ini merupakan harapan satu-satunya agar tetap hangat. Seperti semua orang di kota Suriah yang terkepung, Madaya, pria berusia 26 tahun tersebut memiliki beberapa pilihan lain jika ia ingin menghindari kebekuan.
Tidak ada bahan bakar untuk menghangatkan rumahnya atau memasak makanan panas.
“Cuacanya sangat dingin karena kami berada di pegunungan,” ujar Darwish, seorang mahasiswa kedokteran gigi dan satu-satunya tenaga medis yang tersisa di Madaya.
“Suhu mencapai minus 5 derajat celcius di malam hari. Kami takut mati kedinginan.”
Tahun lalu, resor pegunungan Madaya menarik perhatian dunia ketika para pekerja medis menerbitkan foto mengerikan dari penduduk Madaya yang kekurangan gizi, yang menunjukkan bayi bermata lebar tanpa memiliki persediaan susu, dan laki-laki tua yang tubuhnya hanya tersisa tulang dan kulit.
Sekarang setelah Aleppo jatuh, warga mengatakan bahwa mereka takut kota mereka yang dikepung oleh pasukan rezim Asad dan sekutunya sejak Juli 2015, akan menghadapi nasib yang sama.
“Orang-orang hidup dalam ketakutan besar, takut dibombardir, penembakan berat dan penembak jitu,” ujar Darwish mengungkapkan kepada Al Jazeera dari Madaya.
“Orang-orang tida tahu apa-apa mengenai masa depan mereka.”
Madaya adalah salah satu dari sedikitnya 39 komunitas yang dikepung di Suriah. Menurut laporan terbaru oleh Siege Watch, sebuah kelompok pemantau yang dikelola oleh institut penelitian Suriah yang berbasis di AS dan PAX, sebuah tim peneliti perdamaian yang berbasis di Belanda, lebih dari 1,3 juta orang telah terkepung di Suriah, meskipun PBB hanya mengakui sekitar 970.000 orang yang terkepung pada November lalu.
Menurut laporan itu, rezim Suriah dan sekutunya tetap bertanggung jawab atas sebagian besar pengepungan yang ada.
Dengan timur kota aleppo serta Douma di pinggiran Damaskus dan Al-Waer di Homs, Madaya adalah salah satu dari empat komunitas yang dikutip dalam laporan yang sangat membutuhkan bantuan internasional segera untk mencegah bencana kemanusiaan. Musim dingin lalu, sedikitnya 65 dari 40.000 warga di Madaya telah mati kelaparan karena persediaan makanan tidak mencukupi.
Tahun ini, persediaan makanan masih minim. “Ketika kami ingin kehangatan atau menyalakan api untuk memasak sesuatu,kami mematahkan furnitur kami dari ruang tidur atau ruang keluarga, atau apapun yang terbuat dari kayu, kami mematahkannya dan membakarnya agar kami tetap hangat dan untuk memasak,” ujar Darwish.
Pada akhir November, sebuah konvoy bantuan kemanusiaan yang masuk ke kota berisi makanan, susu dan oba-obatan, namun tidak ada bensin atau diesel. Seorang juru bicara Bulan Sabit Merah menegaskan kepada Al Jazeera bahwa konvoy bantuan tidak membawa bahan bakar apapun namun tidak memberikan penjelasan.
“Orang-orang telah membakar segala sesuatu untuk menghangatkan rumah mereka,” ujar Moussa Al-Maleh, warga Madaya yang kehilangan dua anak dalam jangka waktu satu minggu pada bulan lalu.
“Mereka melakukan segalanya untuk mencoba tetap hangat. Ketika salju datang, itu akan menjadi bencana.”
Seorang pengamat mengatakan bahwa konvoy bantuan untuk Madaya gagal membawa segala jenis bahan bakar karena pasukan rezim menentukan barang-barang yang diizinkan.
“Setahu saya, bahan bakar umumnya tidak masuk ke dalam konvoy,” ujar Valerie Szybala, dari Siege Watch.
“Jenis dan jumlah item yang diperbolehkan masuk dalam konvoy bantuan tunduk pada persetujuan oleh rezim Suriah sehingga hampir selalu ada item penting yang dikecualikan”
Orang tua membungkus anak-anak mereka dengan selimut dan selimut untuk tetap hangat dan mereka memiliki bahan untuk merajut topi, syal dan sarung tangan.
“Orang-orang bergantung hanya pada tiga atau empat jenis makanan, beras, gandum bulgur, dan buncis,” ungkap Darwish.
Laporan Siege Watch mengatakan bahwa kelaparan warga sipil yang disengaja adalah pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa Keempat dan karena itu merupakan kejahatan perang.
Pemantau juga mengamati bahwa pengembangan utama adalah bagaimana pasukan Asad telah menggeser taktik pengepungan dari “menyerah atau kelaparan” menuju “menyerah atau mati”.
Tiga bulan terakhir ditandai oleh upaya intensif oleh rezim Asad untuk secara paksa menggusur warga yang terkepung, menggunakan eskalasi militer dan pemaksaan, lapor Siege Watch.
Singkatnya, warga Suriah yang terkepung dan kelaparan selama berbulan-bulan sekarang beresiko dipaksa pindah dari rumah mereka. Evakuasi masyarakat yang dikepung oleh pasukan rezim Asad berlangsung di Daraya dan Moadamiya, pedesaan Damaskus pada Agustus dan September.
Media rezim Asad melaporkan bahwa evakuasi Daraya dilakukan atas dasar “kesepakatan”.
Tapi kelompok pemantau mengatakan gerakan pasukan rezim melakukan kejahatan perang dengan cara memaksa warga untuk keluar dari rumah mereka. (haninmazaya/arrahmah.com)