“Pawai Untuk Kembali (The Great Return March) yang akan dilakukan pada Jum’at seharusnya sudah terjadi sejak lama. Kami tidak menginginkan apapun dari orang ‘Israel’. Kami hanya ingin kembali dengan damai ke rumah,” ungkap Al-Ashi, seorang nenek berusia 82 tahun.
Pada hari Jum’at, warga Palestina akan menuntut hak mereka untuk kembali dalam enam minggu aksi “pawai untuk kembali” di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem
Di atas kursi kayu kecil yang terletak di depan rumahnya di Al-Nasr kota Gaza utara, duduk Fadila Al-Ashi berusia 82 tahun, dia bersemangat untuk mendiskusikan topik favoritnya yaitu masa lalu yang indah dan rumahnya di Beersheba, yang hari ini menjadi salah satu kota di “Israel” selatan.
“Saya duduk di sini sejak cucu saya memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk bertanya tentang kampung halaman saya. Saya masih ingat semuanya seolah-olah itu baru terjadi kemarin,” kata Al-Ashi kepada MEE.
“Saya lahir dan tinggal di Beersheba selama 12 tahun. Ayah saya adalah pemilik toko kecil, dan meskipun kami tidak punya banyak uang saat itu, kami jauh lebih bahagia daripada sekarang.”
Al-Ashi adalah salah satu dari korban pengusiran yang berjumlah lebih dari 750.000 orang Palestina, mereka dipaksa mengungsi dari kota-kota dan desa-desa mereka di wilayah Palestina yang dijajah, demi untuk mendirikan negara “Israel” pada Mei 1948, dimana orang Palestina menyebut peristiwa itu sebagai Nakba (malapetaka).
“Pada suatu hari kami bangun dan kami mengetahui bahwa pasukan ‘Israel’ telah menyerbu lingkungan kami. Mereka memaksa kami untuk meninggalkan rumah tanpa pemberitahuan sebelumnya,” kata Al-Ashi. “Kami berjalan berjam-jam sampai kami tiba di Gaza, yang situasinya tidak lebih baik dari pada desa kami. Kami tidur selama beberapa hari di kandang kuda dan berpikir kami akan segera kembali ke desa kami, tetapi hal itu tidak pernah terjadi.”
Menurut Al-Ashi, impian kembali bagi para pengungsi Palestina hanyalah masalah waktu. “Kami memiliki kunci rumah kami yang tergantung di dinding rumah selama bertahun-tahun. Kami meminta ayah kami untuk menyingkirkannya, tetapi dia selalu menolak dan mengatakan kami akan segera pulang,” katanya.
“Pawai untuk kembali yang akan dilakukan pada Jum’at seharusnya sudah terjadi sejak lama. Kami tidak menginginkan apapun dari orang ‘Israel’. Kami hanya ingin kembali dengan damai ke rumah,” Al-Ashi menyimpulkan.
Pawai Untuk Kembali (The Great Return March)
Jaringan besar aktivis Palestina – yang didukung oleh faksi Palestina – sedang mempersiapkan aksi massal 46 hari untuk menuntut hak mereka kembali. “The Great Return March” dijadwalkan akan dimulai pada 30 Maret di beberapa daerah termasuk Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem. Penyelenggara juga menyerukan agar dilakukan protes dan pawai di Yordania, Suriah, dan Libanon.
Hari tersebut (30 Maret) bertepatan dengan apa yang disebut warga Palestina sebagai Hari Tanah, yaitu peringatan atas peristiwa di mana pasukan “Israel” menewaskan enam orang Palestina selama protes terhadap penyitaan tanah pada tahun 1976.
“Kami berencana untuk melakukan aksi pawai damai di mana kami bahkan tidak akan melempar batu,” tegas Ahmed Aburtema, juru bicara komite penyelenggara aksi pawai di Gaza. “Bahkan jika tentara ‘Israel’ menggunakan kekuatan penuh untuk membubarkan demonstrasi, kami tidak akan berhenti sampai kami menyeberangi perbatasan dan mencapai desa-desa kami yang telah dirampas,” tambahnya.
Militer “Israel” mengerahkan lebih dari 100 penembak jitu di perbatasan Gaza menjelang demonstrasi massal yang direncanakan, menurut laporan Reuters.
Protes diperkirakan akan berlanjut hingga 15 Mei, yang bertepatan dengan peringatan ke-70 peristiwa Nakba.
Namun menurut penyelenggara, pawai massal tahun ini juga merupakan tanggapan terhadap keputusan terbaru dari “kesepakatan akhir” yang diambil oleh Presiden AS Donald Trump, yang mengakui bahwa negara Palestina hanya terdiri dari Gaza dan setengah dari Tepi Barat, sementara Yerusalem tidak termasuk. Kesepakatan itu juga mengkompromikan hak pengembalian warga Palestina ke kampung halaman mereka. “The Great March” akan menegaskan hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri, tambah penyelenggara.
Pawai itu juga sebagai bagian dari tuntutan atas pelaksanaan penuh Resolusi Majelis Umum PBB 194 Desember 1948, yang menetapkan bahwa “para pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diizinkan untuk kembali secepatnya pada tanggal pengajuan izin.”
‘Kami tidak punya pilihan’
Halima Abudayya (95), telah menjalani 70 tahun terakhirnya untuk bermimpi agar bisa kembali. Dia berasal dari Dayr Sunayd, sebuah desa Palestina di distrik Gaza yang berada di bawah mandat Inggris ketika tragedi keluarganya terjadi. “Saya punya tiga anak dan hamil ketika kami mengungsi. Itu adalah hari tersulit dalam hidupku,” kenang Abudayya.
“Tentara ‘Israel’ tiba di desa kami dengan truk. Mereka merazia semua rumah dan tidak segan untuk melepaskan tembakan bagi warga Palestina yang tidak meengikuti kehendak mereka. Kami harus tidur di tanah pertanian ayahku pada malam hari dan kembali ke rumah di pagi hari,” lanjutnya. “Kemudian kami dipaksa dengan todongan pistol untuk masuk ke mobil yang mengantarkan kami ke suatu tempat di dekat perbatasan Gaza, kami tinggal di sana selama tiga hari, dan kemudian dipindahkan lagi ke Jalur Gaza.”
Ketika ditanya apakah dia masih memiliki kunci rumahnya, Abudayya berbicara tentang bagaimana mereka tidak pernah membutuhkannya.
“Kami tidak pernah memiliki kunci untuk rumah kami. Sebelum Nakba (malapetaka) terjadi, desa kami begitu aman sehingga kami bahkan tidak perlu mengunci pintu rumah kami.”
Abudayya menangis, teringat akan saudara laki-lakinya yang ditembak dan dibunuh oleh tentara “Israel”, sehingga mereka tidak punya banyak pilihan. “Itu adalah situasi antara mati atau pergi.”
“Jika para aktivis berhasil mencapai wilayah yang diduduki pada hari Jumat, hal pertama yang akan mereka lihat adalah lahan pertanian 30 are milik ayah saya. Saya harap remaja masa kini dapat melakukan apa yang tidak bisa kami lakukan tujuh puluh tahun yang lalu. ”
Menurut Halima, pemukim Israel telah mengubah lahan pertanian ayahnya menjadi peternakan lebah.
Dayr Sunayd adalah satu dari sekitar 400 desa berpenghuni yang hancur pada tahun 1948.
“Israel” telah memberlakukan blokade yang sangat ketat di Jalur Gaza sejak 2007 setelah Hamas menguasai Gaza dari pasukan yang setia kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas, satu tahun setelah ia memenangkan pemilihan legislatif.
Pada bulan Juli 2017, sebuah laporan PBB mengungkapkan bahwa kondisi kehidupan hampir dua juta penduduk – termasuk 1,3 juta pengungsi – secara signifikan semakin memburuk dan Jalur Gaza telah menjadi “penjara terbuka” bagi warga Palestina.
“Orang-orang di Gaza sangat putus asa, mereka percaya situasinya tidak akan bertambah buruk,” kata Ramy Abdu, pendiri dan mantan ketua Monitor Hak Eropa-Mediterania. “Sudah saatnya komunitas internasional menganggap pengungsi Palestina sebagai manusia yang memiliki hak politik dan kemanusiaan, bukan hanya sekolompok manusia yang rapuh dan terus membutuhkan pasokan bantuan.”
Abu Hani Al-Khatib, seorang tukang cukur berusia 83 tahun yang memiliki sebuah toko kecil di pasar Feras yang terkenal di kota Gaza tengah, mengatakan dia tidak menginginkan apapun selain kembali ke Karatiyya, sebuah desa Palestina di timur laut Jalur Gaza.
Menurut Al-Khatib, Jaffa kehilangan sebagian besar penduduk Arabnya karena mereka harus melarikan diri dari serangan intens di desa-desa mereka pada akhir tahun 1940-an.
Dia mengatakan bahwa orang-orang Palestina tidak punya pilihan selain melarikan diri dari serangan mematikan yang dilancarkan ke kota-kota dan desa-desa mereka. “Kami meninggalkan rumah kami dan tidak membawa apa pun bersama kami. Kami pikir kami akan kembali dalam dua atau tiga hari. Namun kini sudah tujuh puluh tahun, dan kami belum pernah kembali.”
Al-Khatib menyesalkan sikap masyarakat internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah membahas krisis dan menyusun resolusi selama 70 tahun namun belum menghasilkan apapun “seolah-olah persamaan itu sulit”.
Palestina berada di bawah kekuasaan Inggris dari 1917 hingga 1948, ketika pasukan Inggris mundur setelah berbulan-bulan melakukan pertempuran sengit. Pada tahun 1917, Arthur Balfour, sekretaris luar negeri Inggris pada waktu itu, berjanji untuk membantu mendirikan sebuah rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina, yang lebih dikenal sebagai deklarasi Balfour.
“Bahkan jika kita, penduduk yang semula mengungsi, mati, cucu-cucu kita tidak akan menetap sampai mereka menghidupkan kembali mimpi kita selama 70 tahun ini. Sesederhana itu,” kata Al-Khatib. (Rafa/arrahmah.com)