JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua MIUMI Aceh, Muhammad Yusran Hadi, menyatakan sangat menyayangkan rilis yang disampaikan oleh Setara Institute baru-baru ini (7/12/2018) di Jakarta yang mengatakan bahwa Banda Aceh termasuk tiga kota paling intoleran di Indonesia.
Pernyataan ini berdasarkan survei mengenai Indeks Kota Toleran 2018 yang dilakukan oleh Setara Institute terhadap 94 kota di Indonesia di mana Banda Aceh menduduki peringkat kedua terendah dengan urutan ke 93.
Survei yang dilakukan sejak November 2017-Oktober 2018 ini menyimpulkan bahwa Banda Aceh sebagai kota paling intoleran di Indonesia menduduki peringkat kedua.
“Pernyataan Setara Institute itu tidak benar. Survei ini tidak didukung oleh data yang valid dan fakta yang ada. Ini jelas pembohongan publik,” kata Muhammad Yusran, Rabu (12/12/2018).
Menurutnya, rilis Setara institute sama saja menuduh syariat Islam yang selama ini diberlakukan di Aceh telah menciptakan kehidupan intoleran di Aceh, khususnya di Banda Aceh sebagai ibukota provinsi Aceh.
Ia menyebut survei ini telah melukai hati umat Islam di Aceh, khususnya di Banda Aceh.
“Saya tinggal di Banda Aceh selama empat puluh tahun sejak saya lahir sampai hari ini, belum pernah saya mendengar atau melihat konflik agama di Banda Aceh,” tegasnya.
Faktanya, lanjut Yusran, Aceh secara umum dan Banda Aceh secara khusus termasuk daerah yang paling toleransi terhadap pemeluk agama dari dulu masa kerajaan Aceh sampai hari ini.
Ia menilai, selama ini Syariat Islam yang berlaku di Aceh telah memberikan kenyamanan kehidupan antar umat beragama. Bahkan hal ini diakui oleh para pemeluk agama lain.
“Kehidupan beragama di Banda Aceh sangat kondusif dan harmonis. Tidak ada konflik atau keributan yang bermotif agama antar pemeluk agama dari dulu sampai hari ini,” terangnya.
Selama ini, ujarnya, para pemeluk agama saling menghormati dan menghargai.
“Banda Aceh termasuk kota yang paling toleran di Indonesia, bahkan dunia sebagaimana yang kami rasakan sebagai warga kota Banda Aceh,” imbuhnya.
Hal ini juga seperti yang disampaikan oleh walikota Banda Aceh Aminullah ketika mendapat kunjungan dari forkompinda dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Blitar baru-baru ini (15/11).
Tahun 2018 Kementrian Agama kota Banda Aceh bersama FKUB Banda Aceh mendeklarasikan Banda Aceh sebagai Kota ramah dan sangat kondusif kehidupan antar umat beragama.
Ini juga diakui oleh umat kristen, Hindu dan Budha yang berdomisili di Banda Aceh.
Sebelumnya pada tahun 2017, Pemko Banda Aceh menobatkan sebuah desa di kota Banda Aceh yang bernama Gampong Mulia sebagai Gampong Sadar Kerukunan setelah melalui penilaian tim Kanwil Kemenag Aceh dan FKUB.
Desa ini dihuni oleh berbagai etnit dan agama (Islam, Budha, Kristen Katolik dan Protestan). Meskipun demikian, tidak ada kasus konflik bermotif agama di desa ini sejak dulu sampai hari ini.
Yusran menuturkan, meskipun penduduk Banda Aceh hampir seratus persen muslim, namun kebebasan beragama dan beribadah sesuai agamanya masing-masing tetap diakui dan dihormati. Tempat-tempat ibadah bagi non muslim diizinkan sesuai aturan izin mendirikannya.
“Tidak ada larangan mendirikan rumah ibadah bagi agama selain Islam kecuali bertentangan dengan aturan yang berlaku. Begitu pula tidak ada larangan mereka beribadah di tempat ibadahnya masing-masing. Bahkan warga non muslim bisa tinggal berdampingan dengan umat Islam,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, di Banda Aceh ada masjid, gereja, vihara, dan Kelenteng. Di Banda Aceh juga ada sekolah kristen yang bernama Metodis.
Bahkan beberapa forum FKUB dari berbagai daerah di Indonesia datang khusus ke Banda Aceh untuk meniru toleransi kehidupan beragama. Ini menunjukkan toleransi kehidupan beragama di Banda Aceh berjalan dengan baik.
“Ini semua fakta yang menunjukkan kehidupan beragama di Aceh sangat toleran dan harmonis. Maka pernyataan Setara Institute tidak benar, karena bertentangan fakta yang ada.”
“Atas dasar apa Setara Institute menjadikan Banda Aceh sebagai daerah intoleransi? Jika kesimpulan ini diperoleh berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukan oleh Setara Institute, maka datanya perlu diragukan dan tidak valid. Terlebih lagi bila bicara tanpa data dan fakta. Ini sama saja pembohongan publik,” tandasnya.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pernyataan Setara Instute tersebut telah menjelekkan dan merusak citra kota Banda Aceh. Tentu saja merugikan pemerintah dan warga kota Banda Aceh.
Ia mendesak Setara Institue segera mencabut pernyataannya tersebut dan meminta maaf kepada pemko dan warga kota Banda Aceh lewat media-media.
“Jangan sampai terkesan bahwa pernyataan Setara Institute seperti itu hanya karena syariat Islam dijalankan di Banda Aceh sehingga dengan mudahnya menyimpulkan Banda Aceh sebagai kota intoleran. Jadi terkesan Setara Institute itu anti syariat Islam,” tegasnya.
(ameera/arrahmah.com)