GAZA (Arrahmah.id) — Seiring masuknya perang Gaza ke tahun kedua, para analis memperingatkan bahwa serangan brutal militer Israel atas Gaza sudah masuk kategori bencana strategis. Meskipun memiliki kekuatan militer yang besar dan melancarkan serangan yang sangat menghancurkan, Israel gagal total mencapai tujuan-tujuan utama yang mereka tetapkan.
Hampir 42.000 warga Palestina tewas dibunuh Israel dan Gaza hancur, tetapi tujuan menghilangkan Hamas, melumpuhkan infrastruktur militer, serta membebaskan sandera, semuanya gagal total.
“Secara resmi, Israel memulai operasi ini dengan dua tujuan: pertama, menyelamatkan sandera, dan kedua, menghancurkan Hamas secara militer … dan jelas, kedua tujuan ini belum tercapai,” kata Zoran Kusovac, seorang analis geopolitik dan keamanan, seperti dilansir Anadolu Agency (5/10/2024).
Walaupun Israel telah menimbulkan kerugian besar di pihak Hamas, gagasan bahwa kekuatan kelompok ini telah hancur masih terlalu dini. Andreas Krieg, analis kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, menegaskan upaya Israel untuk menetralkan Hamas gagal total.
“Kami memperkirakan sekitar 40-50% dari batalyon Hamas telah dihancurkan atau tewas. Namun, ini tidak berarti bahwa unit-unit tersebut sudah tidak operasional,” ungkap Krieg, dosen senior di King’s College London. Ia menekankan unit-unit kunci Hamas masih tetap berfungsi dan tetap menjadi ancaman signifikan.
“Mereka (Israel) mungkin telah menewaskan banyak pejuang Hamas, tetapi jumlahnya tidak cukup untuk mengatakan bahwa Hamas sudah hancur secara operasional.”
Kusovac menambahkan, memerangi kelompok gerilya seperti Hamas jauh lebih kompleks daripada sekadar menghancurkan infrastruktur militer mereka.
“Ini adalah gerakan gerilya yang khas. Di banyak negara yang dijajah, mengalahkan gerakan gerilya hampir tidak mungkin, kecuali Anda mengusir penduduknya dari wilayah tersebut. Satu-satunya cara efektif untuk memusnahkan gerakan gerilya adalah dengan taktik ‘bumi hangus’.”
Menurut Kusovac, para perencana militer Israel sudah sejak awal menyadari bahwa mereka tidak bisa mencapai tujuan ini. “Menarik sekali melihat bagaimana militer Israel terseret dalam operasi selama satu tahun tanpa tujuan militer yang jelas.”
Ia menambahkan, “Sejak awal, militer Israel pasti tahu bahwa Anda tidak bisa memusnahkan Hamas tanpa mengosongkan Gaza dari penduduknya.” Meski ada tokoh sayap kanan Israel yang mungkin mendukung gagasan ini, ia mengatakan, rencana semacam itu tidak mungkin terlaksana karena akan mendapat penolakan dari negara-negara Arab tetangga serta penduduk Gaza sendiri.
Tujuan Israel lainnya, yakni membebaskan sandera yang ditahan Hamas, juga menjadi kegagalan total menurut para ahli. Krieg menyebut pendekatan militer Israel terhadap penyelamatan sandera sebagai kesalahan strategi besar.
“Lebih banyak sandera yang dibebaskan melalui dialog, diskusi, dan mediasi pada November tahun lalu daripada yang berhasil dibebaskan melalui cara militer,” katanya. Ia juga menyoroti bahwa setiap kali pasukan Israel (IDF) mencoba melakukan operasi militer untuk membebaskan sandera, hasilnya justru tragis. “Setiap kali IDF mencoba membebaskan sandera, mereka biasanya malah membunuh para sandera tersebut.”
Krieg menekankan pendekatan non-militer jauh lebih efektif dalam membebaskan sandera, sebuah pandangan yang juga disepakati Kusovac. “Jika tujuan utama Israel adalah pembebasan sandera, ya jelas itu belum tercapai,” kata Kusovac, seraya menambahkan hanya sejumlah kecil sandera yang berhasil dibebaskan, sementara mayoritas masih berada di tangan Hamas.
Israel memang berhasil merusak sebagian infrastruktur militer Hamas, tetapi kehancuran total masih jauh dari kenyataan. Krieg mencatat serangan besar Hamas terhambat oleh kerusakan besar di Gaza, namun struktur inti kekuatan militer Hamas sebagian besar masih tetap utuh.
“Kehancuran besar di Gaza menyebabkan banyak infrastruktur militer yang digunakan Hamas kini rusak atau hancur,” jelas Krieg. “Ini membuat Hamas lebih sulit melancarkan serangan roket ke wilayah Israel.”
Namun, jaringan terowongan Hamas, yang merupakan bagian penting dari strategi pertahanan mereka, masih menjadi tantangan besar bagi Israel. Hanya sepertiga dari terowongan tersebut yang diklaim telah dihancurkan, dan banyak dari jaringan terowongan itu masih berfungsi dengan baik, tambah Krieg.
Kusovac menambahkan bahwa meskipun Israel berhasil mengurangi kemampuan Hamas untuk melancarkan serangan misil besar, kelompok tersebut belum sepenuhnya hancur. “Hamas belum musnah,” ujarnya.
Ironisnya, upaya Israel di Gaza justru meningkatkan dukungan terhadap perlawanan Palestina, meskipun tidak selalu terhadap Hamas secara langsung. Menurut Krieg, kekejaman yang dialami penduduk Gaza selama operasi militer Israel hanya memperkuat semangat perlawanan.
“Semangat perlawanan di kalangan warga Palestina dan penduduk Gaza, yang telah mengalami 12 bulan penderitaan, kini semakin meningkat,” kata Krieg. Israel justru memicu efek yang berlawanan dengan yang diinginkannya, memperkuat “keinginan warga Palestina untuk melawan dengan kekerasan.”
Kusovac juga menekankan hal yang sama, dengan menunjukkan bahwa para pemimpin Hamas terus melaporkan peningkatan jumlah rekrutan. “Perekrutan mereka berjalan sangat baik, penderitaan selama setahun terakhir ini menjadi ajang perekrutan yang sangat efektif bagi Hamas,” ucapnya.
Para pakar sepakat bahwa perang berkepanjangan ini telah menjadi skenario mimpi buruk bagi Israel. Tentara Israel mengalami kerugian besar, sementara taktik gerilya Hamas, yang melibatkan penembak jitu, alat peledak rakitan (IED), dan serangan mendadak, terus menimbulkan kerusakan signifikan pada pasukan Israel.
“Ini adalah perang paling mematikan bagi Israel, bukan hanya dalam jumlah tentara yang tewas, yang jumlahnya mencapai beberapa ratus, tetapi juga, lebih penting lagi, jumlah tentara yang cacat akibat luka-luka,” kata Krieg.
Jaringan terowongan Hamas di bawah Gaza tetap menjadi “pusat gravitasi” terbesar mereka dari segi strategi militer. Ketidakmampuan Israel untuk menghancurkan jaringan terowongan ini, atau memenangkan dukungan penduduk sipil Gaza, menyebabkan Israel menghadapi pertempuran di dua front sekaligus.
“Israel kalah dalam dua pertempuran utama,” kata Krieg. “Pertama adalah pertempuran fisik melawan jaringan terowongan, dan yang kedua adalah kegagalan merebut hati dan pikiran rakyat Gaza, yang kini semakin bersedia untuk melawan Israel jika ada kesempatan.”
Fase kedua dari perang ini, di mana Israel mencoba menguasai dan mengendalikan wilayah Gaza, menambah tantangan baru. “Anda berada dalam situasi di mana mayoritas penduduk di lapangan tidak ingin bekerja sama dengan Anda. Mereka ingin menyerang dan membunuh Anda,” ucap Krieg. “Itulah jelas skenario mimpi buruk bagi pasukan militer mana pun, karena mustahil bagi militer untuk menguasai wilayah di mana penduduknya tidak ingin diperintah.” (hanoum/arrahmah.id)