(Arrahmah.com) – Dalam artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif menjelaskan bahwa menerapkan syariat Allah SWT dalam semua aspek kehidupan merupakan wujud dari iman. Dalam artikel kali ini, beliau menjelaskan bahwa penerapan syariat merupakan wujud dari memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya SAW.
***
5). Sebagai penutup penjelasan mengenai urgensi penerapan syariah ini, kami akan menunjukkan bahwa penerapan syariah dalam semua aspek kehidupan merupakan sikap memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya yang mengandung kehidupan dan kebaikan.
Sebagaimana disebutkan oleh firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَجِيبُواْ لِلّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُم لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya jika menyeru kalian kepada apa yang membawa kehidupan bagi kalian.” (QS. Al-Anfaal (8): 24)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata, “Firman Allah ‘jika menyeru kalian kepada apa yang membawa kehidupan bagi kalian‘ merupakan sifat yang senantiasa melekat pada setiap perkara yang Allah dan Rasul-Nya mengajak kepadanya, sekaligus menerangkan faedah dan hikmah ajakan tersebut, karena hidupnya hati dan ruh adalah dengan beribadah keapda Allah, senantiasa menaati-Nya, dan senantiasa menaati Rasul-Nya.” (Tafsir As- Sa’di, 3/125)
Sesungguhnya menolak syariah Islam dan tidak memenuhi Allah dan Rasul-Nya untuk menerapkan syariah Islam merupakan sikap memenuhi panggilan hawa nafsu, itulah kesesatan yang jauh di dunia dan azab yang pedih di akherat.
Allah SWT berfirman:
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ
“Jika mereka tidak memenuhi ajakanmu maka ketahuilah bahwasanya mereka mendengarkan hawa nafsunya dan siapakah yang lebih sesat melebihi orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mengikuti petunjuk Allah?” (QS. Al-Qashash (28): 50)
Allah SWT berfirman:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami telah menjadikanmu sebagai khalifah di bumi maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan kebenaran dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sehingga hawa nafsu menyesatkanmu dari jalan Alah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah, bagi mereka azab yang pedih pada hari perhitungan kelak disebabkan mereka melupakan hari perhitungan amal perbuatan.” (QS. Shad (38): 26)
Allah juga berfirman:
وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar batasan-batasan Allah, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka. Ia kekal di dalamnya dan baginya azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’ (4): 14)
Imam Ibnu Katsir berkata tentang makna ayat ini:
“Karena ia telah mengganti hukum Allah dan menentang hukum Allah. Perbuatan ini hanya akan timbul dari sikap tidak ridha dengan pembagian dan hukum Allah. Karena itu Allah membalasnya dengan menghinakannya dalam azab yang pedih dan kekal.” (Umdat at-Tafsir, 3/125)
Nash-nash Al-Qur’an dan as-sunnah telah memperingatkan untuk tidak meminta putusan perkara kepada selain hukum Allah. Allah SWT berfirman,
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kalian terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukm Allah maka ketahulah bahsawanya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan dosa-dosa mereka yang telah mereka perbuat. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Maidah (5): 49)
Syaikh Abu Hibatullah Ismail bin Ibrahim al-Azhari al-Khathib al-Hasani berkata, “Allah memerintahkan kepada nabi-Nya untuk mememutuskan perkara di antara ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan hukum wahyu yang Allah telah turunkan. Allah melarang beliau SAW dari mengikuti hawa nafsu mereka, karena hal itu menyelisihi wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau. Allah mengingatkan beliau agar tidak terkena fitnah mereka yang berusaha menghalangi beliau dari menerapkan sebagian hukum wahyu yang diturunkan oleh Allah.
Allah memberitahukan kepada beliau bahwa jika mereka berpaling dari hukum yang diturunkan oleh Allah kepada beliau, maka Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka dan mengujui mereka disebabkan sebagian dosa mereka. Maka diketahui dari ayat ini bahwa berpaling dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya kepada hukum yang berdasar hawa nafsu adalah sebab Allah menimpakan musibah kepada mereka.” (Tahdzir Ahl al-Iman ‘an al-Hukm bi Ghairi maa Anzala ar-Rahman, hlm. 40, lihat juga hal. 20, dan Mukhtashar as-Shawa’iq al-Mursalah, 2/53)
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan sebagian akibat dari meminggirkan hukum Allah dengan mengatakan:
“Ketika manusia berpaling dari menerapkan Al-Qur’an dan as-sunnah dan meminta putusan perkara kepada keduanya, dan mereka meyakini tidak cukup hanya berpedoman kepada keduanya, lalu mereka beralih kepada hasil pikiran akal, analogi, istihsan, dan pendapat para pemimpin mereka; maka mereka ditimpa kerusakan dalam fitrah mereka, kegelapan dalam hati mereka, kekeruhan dalam pemahaman mereka, dan kehapusan dalam akal mereka. Persoalan-persoalan (hasil pemikiran akal, logika, dan pendapat para pemimpin semata, pent) akhirnya mendominasi dan menguasai mereka sepenuhnya sampai seorang anak tumbuh dewasa dalam kondisi tersebut dan orang tua juga pikun dalam kondisi tersebut.”(Al-Fawaid, hlm. 42-43)
Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda, “Wahai kaum muhajirin, aku berlindung kepada Allah dari lima kerusakan jangan sampai kelima kerusakan tersebut menguji kalian dan mengenai kalian…” Beliau menyebutkan salah satunya adalah:
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ إِلاَّ جَعَلَ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“…Selama para pemimpin mereka tidak memutuskan perkara dengan kitab Allah, niscaya Allah akan menimpakan perang di antara sesama mereka sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 4019, Al-Hakim, 4/540 dan Al-Baihaqi, 3/346. Dinyatakan shahih oleh Al-Bushiri, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Al-Albani)
Dalam lafal yang lain:
وَمَا حَكَمُوا بِغَيرِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الْفَقْرُ
“…Selama para pemimpin mereka memutuskan perkara dengan selain hukum Allah, niscaya akan meluas kemiskinan di kalangan mereka.” (HR. Ath-Thabarani. Imam Ibnu Mundzir berkata: Sanadnya mendekati derajat hasan, dan hadits ini memiliki banyak riwayat penguat. Syaikh Al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, 1/321)
Dalam hal ini syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Jika para pemimpin telah keluar dari hukum Al-Qur’an dan as-sunnah, maka mereka telah memutuskan perkara dengan selain hukum Allah dan terjadilah perang di antara sesama mereka sendiri, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Tidaklah suatu kaum diatur dengan selain hukum Allah, kecuali akan terjadi perang di antara sesama mereka.”
Inilah sebab terbesar keruntuhan negara-negara, sebagaimana terjadi berulang kali pada zaman kita ini dan zaman sebelum kita. Siapa yang Allah menghendaki kebahagian untuknya, maka Allah menjadikannaya mampu mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa orang lain, sehingga ia menempuh jalan orang-orang yang dikuatkan dan diluruskan oleh Allah dan menjauhi jalan orang-orang yang ditelantarkan dan dihinakan oleh Allah.” (Majmu’ Fatawa, 35/387)
Maha Benar Allah dan rasul-Nya, karena orang yang melihat kondisi umat Islam saat ini akan melihat musibah dan keburukan yang menimpa negeri-negeri kaum muslimin, juga berbagai permusuhan dan perpecahan di antara sesama mereka sendiri, demikian juga saling perang di antara sesama mereka sendiri. Di samping itu muncul bencana massal kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi, padahal negara-negara umat Islam —sebagaimana sudah diketahui bersama — merupakan negara-negara yang memiliki kekayaan alam paling besar dengan berbagai jenis. Sebab paling besar dari semua musibah ini adalah peminggiran syariah Islam dan meminta putusan perkara (dan menerapkan hukum) kepada thaghut. (Mengenai dampak pemberlakuan hukum positif buatan manusia, lihat misalnya karya syaikh Ahmad Syakir yang berjudul Al-Kitab was Sunnah Yajibu an Yakuunaa Mashdar al-Qawanin fi Mishr dan karya syaikh Manna’ Al-Qathan berjudul Wujub Tatbiq Asy-Syaria’ah)
Wallahu al-Musta’anu.
Insya Allah bersambung…
(muhib al-majdi/arrahmah.com)