(Arrahmah.com) – Dalam artikel sebelumnya, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Abdul Lathif menjelaskan bahwa menerapkan syariat Allah SWT dalam semua aspek kehidupan merupakan wujud dari tauhid ittiba’, yaitu ketaatan kepada Rasulullah SAW. Dalam artikel kali ini, beliau menjelaskan bahwa penerapan syariat merupakan wujud dari iman.
***
4. Kedudukannya ditinjau dari iman
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {59} أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا {60}وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا {61}فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآؤُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلاَّ إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan para pemimpin kalian. Jika kalian berselisih dalam satu masalah maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Alah dan hari akhir. Hal demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan (kepada para nabi) sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kalian tunduk kepada hukum yang telah diturunkan Allah dan kepada hukum rasul”, niscaya kalian melihat orang-orang munafik menghalangi manusia sekuat-kuatnya darimu.
Maka bagaimana halnya jika mereka ditimpa musibah disebabkan perbuatan tangan mereka itu, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian secara baik-baik dan perdamaian yang sempurna.” (QS. An-Nisa’ (4): 59-62)
Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 65)
Dari ayat-ayat yang mulia ini, kita bisa memahami kedudukan penerapan syariat Allah dalam iman. Allah menyebut penerapan syariat adalah iman. Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 65)
Imam Ibnu Hazm berkata:
“Allah menyebut tindakan menjadikan nabi SAW sebagai hakim (pemberi keputusan) adalah keimanan dan Allah memberitahukan bahwa tidak ada iman tanpa adanya perbuatan tersebut (menjadikan nabi SAW sebagai pemberi keputusan, pent) dengan disertai tidak adanya kesempitan dalam hati dengan keputusan beliau. Dengan demikian sahlah secara yakin bahwasanya iman itu amal, aqidah (keyakinan hati), dan perkataan karena menjadikan Rasul sebagai hakim adalah amal perbuatan, dan hal itu tak mungkin kecuali disertai dengan ucapan dan tanpa adanya perasaan sempit di hati yang merupakan sebuah keyakinan.” (Ad-Durah fi Maa Yajibu I’tiqaduhu hal. 338)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Setiap orang yang keluar dari sunah Rasulullah dan syariatnya, maka Allah telah bersumpah dengan jiwa-Nya Yang Suci bahwa orang tersebut tidak beriman sampai ia ridha dengan keputusan Rasulullah dalam setiap hal yang menjadi persoalan di antara mereka baik urusan dunia maupun akhirat, dan sampai tidak tersisa lagi dalam hati mereka rasa sempit atas keputusan hukum beliau.” (Majmu’ Fatawa, 28/431, lihat juga Majmu’ Fatawa, 35/367 dan 408)
Dalam menafsirkan firman Allah, ‘Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman …’, imam asy-Syaukani berkata: “Dalam ancaman yang keras ini ada hal yang membuat kulit merinding dan hati bergetar ketakutan, karena syarat pertama, sesungguhnya Allah bersumpah dengan nama Allah sendiri yang dikuatkan dengan huruf peniadaan (Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman …). Allah meniadakan iman dari mereka —sedangkan iman adalah harta modal pokok para hamba Allah yang shalih— sehingga mereka mengerjakan ‘ghayah’ yaitu menjadikan rasul sebagai hakim pemberi keputusan (sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan…pent).
(Syarat kedua) Allah tidak mencukupkan dengan tindakan itu saja, karena Allah lalu berfirman, “ …kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu…” Selain menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, Allah masih menggabungkan syarat lain, yaitu tidak adanya kesempitan dada, artinya keberatan dalam hati. Jadi menjadikan nabi sebagai pemberi keputusan dan tunduk saja tidak cukup sampai hal itu muncul dari lubuk hatinya dengan sikap hati yang ridha, tenang, sejuk, dan senang.
(Syarat ketiga) Allah belum mencukupkan dengan (kedua syarat) ini saja, namun Allah menambahkan lagi syarat yang lain, yaitu firman-Nya, “dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Maksudnya adalah mereka tunduk kepadanya dan menaatinya secara lahir dan batin.
Allah belum mencukupkan dengan (ketiga syarat) itu saja, namun Allah masih menambahkan dengan menyebut masdar sebagai penguat ‘tasliman‘. Maka tidak ada iman bagi seorang hamba sampai ia mau menjadikan rasul sebagai pemberi keputusan, lalu ia tidak merasakan kesempitan dalam hati atas keputusan nabi, dan ia menyerahkan dirinya kepada hukum Allah dan syariatnya sepenuh penyerahan diri, tanpa dicampuri oleh penolakan dan penyelisihan terhadapnya.” (Fathul Qadir, 1/484)
Meminta putusan perkara kepada syariat Alalh dan mengembalikan seluruh perselisihan kepada nash-nash dua wahyu (Al-Qur’an dan as-sunnah) adalah syarat iman, sebagaimana firman Allah:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Jika kalian berselisih dalam satu masalah apapun, maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ (4): 59)
Oleh karena itu imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Firman Allah “Jika kalian berselisih dalam satu masalah apapun” menggunakan isim nakirah dalam konteks syarat, maka ia berrsifat umum mencakup segala persoalan yang diperselisihkan oleh kaum muslimin baik dalam masalah agama yang secara terperinci maupun global, yang (rumit) tersembunyi maupun yang nampak jelas.
Sekiranya di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah tidak ada penjelasan keputusan hukum atas perkara yang mereka perselisihkan atau keputusan hukum namun di dalamnya tidak menuntaskan masalah tersebut, niscaya Allah tidak memerintahkan mereka untuk mengembalikan segala persaolan kepada Al-Qur’an dan as-sunah. Karena mustahil Allah memerintahkan ketika ada perselisihan untuk kembali kepada hal yang tidak mempunyai solusi tuntas atas perselisihan tersebut.
Dalam ayat ini Allah juga menjadikan tindakan mengembalikan perselisihan kepada Al-Qur’an dan as-sunnah sebagai konskuensi iman. Jika tidak ada sikap mengembalikan perselisihan kepada Al-Qur’an dan as-Sunah, secara otomatis keimanan tidak ada pula, karena (hukum sebab-akibat, pent): malzum (akibat) hilang dengan hilangnya lazim (sebab). Apalagi ada hubungan saling terkait antara dua perkara ini, karena perkara ini timbul dari kedua belah pihak. Jika salah satu perkara hilang, niscaya perkara yang lain ikut hilang. Kemudian Allah memberitahukan bahwa mengembalikan perselisihian kepada keputusan Al-Qur’an dan as-sunnah itu lebih utama bagi mereka dan akibatnya adalah sebaik-baik akibat.” (A’lamul Muwaqqi’in, 1/49-50)
Imam Ibnu Katsir berkata:
“Apa yang diputuskan oleh kitabullah dan sunah Rasulullah dan dinyatakan benar (oleh keduanya) adalah kebenaran. Dan tidak ada di luar kebenaran selain kesesatan. Oleh karena itu Allah berfirman, “…jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” Maksudnya, kembalikanlah perselisihan dan hal-hal yang belum kalian ketahui kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya, berhukumlah kepada keduanya dalam hal-hal yang diperselisihkan. Ini menunjukkan bahwasanya orang yang tidak berhukum kepada Al-Qur’an dan as-sunah ketika terjadi perselisihan dan ia tidak kembali kepada keduanya, niscaya ia bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/209)
Jika meminta putusan perkara kepada syariat Allah merupakan syarat iman, maka meminta putusan perkara kepada undang-undang buatan manusia —yaitu hukum thaghut dan jahiliyah— adalah perbuatan yang meniadakan iman dan termasuk tanda-tanda orang munafik. Telah kami sebutkan di muka perkataan syaikh Muhammad Rasayid Ridha saat menerangkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4): 60, di mana beliau mengatakan:
“Ayat ini menyatakan bahwasanya orang yang menentang atau berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya secara sengaja, apalagi setelah ia diajak untuk berhukum dengan keduanya dan ia diingatkan akan wajibnya hal itu, maka ia telah menjadi orang munafik, klaim keimanan dan keislamannya tidak dianggap lagi.” (Tafsir Al-Manar, 5/227)
Syaikh Abdurahman bin Nashir as-Sa’di juga berkata:
“Mengembalikan penyelesaian persoalan kepada Al-Qur’an dan as-sunah adalah syarat iman…Hal ini menunjukkan bahwasanya orang yang tidak mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada keduanya tidaklah beriman dengan sebenar-benar iman, bahkan sebaliknya ia telah beriman kepada thaghut sebagaimana disebutkan dalam ayat, “Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang…” (QS. An-Nisa’ (4): 60). Sesungguhnya iman menuntut ketundukan kepada syariat Allah dan menjadikan syariat Allah sebagai hakim dalam seluruh urusan. Barangsiapa mengakui dirinya mukmin namun ia lebih memilih hukum thaghut di atas hukum Allah, maka pengkauan keimanannya adalah dusta.” (Tafsir As-Sa’di, 2/90)
Ustadz Sayyid Qutub juga menegaskan bahwa sikap tidak menerapkan syariat Islam tidak akan mungkin bisa berkumpul dengan iman. Saat menafsirkan firman Allah,
وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِندَهُمُ التَّوْرَاةُ فِيهَا حُكْمُ اللّهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا أُوْلَـئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Maidah (5): 43)
Ustadz Sayyid Qutb berkata:
“Merupakan dosa besar yang harus diingkari, ketika mereka meminta putusan perkara kepada Rasulullah SAW sehingga Rasulullah SAW memutuskan perkara mereka tersebut dengan syariah Allah, sementara di sisi lain mereka memiliki Taurat yang juga memuat hukum Allah, lalu mereka mencocok-cocokkan antara keputusan hukum Rasulullah SAW dengan hukum Taurat yang berada di tangan mereka; yang mana Al-Qur’an datang untuk membenarkannya dan menjadi kata pemutus atasnya. Namun kemudian mereka berpaling, baik dengan tidak melaksanakan keputusan hukum beliau SAW tersebut ataupun dengan tidak meridhainya.
Konteks ayat ini tidak cukup dengan mengingkari saja, namun juga menetapkan hukum Islam atas sikap seperti ini, ” Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang-orang yang beriman.” Iman tidak mungkin akan berkumpul dengan sikap tidak mau menjadikan syariah Allah sebagai hakim atau sikap tidak ridha dengan hukum syariah. Orang-orang yang mengira diri mereka atau diri orang-orang selain mereka telah beriman, lalu mereka tidak meminta putusan perkara kepada syariat Allah dalam segala aspek kehidupan mereka atau mereka tidak ridha dengan hukum syariah jika diterapkan atas mereka… pengakuan mereka itu sebenarnya bohong belaka dan menabrak nash yang qath’i ini, “Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang-orang yang beriman.” (Fi Zhilali Al-Qur’an, 2/894-895)
Di antara yang ditulis oleh syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam masalah ini adalah:
“Sesungguhnya firman Allah “…mereka mengira…” mendustakan pengakuan iman mereka, karena tidak mungkin berkumpul dalam hati seorang hamba antara sikap meminta putusan perkara kepada selain hukum Allah yang dibawa Rasul dengan iman. Sebaliknya, satu sama lain saling meniadakan. Thaghut merupakan pecahan kata dari kata at-tughyan yang berarti melampaui batas. Setiap orang yang memutuskan persoalan dengan selain hukum Allah yang dibawa oleh Rasul, berarti telah memutuskan persoalan dengan hukum thaghut dan meminta putusan perkara kepada hukum taghut.” (Risalah Tahkimul Qawanin, hal 2)
Syaikh Muhammad Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syanqithi menegaskan bahwa orang-orang (rakyat) yang mengikuti orang-orang (para pemimpin) yang membuat undang-undang selain syariah Allalh adalah orang-orang yang musyrik kepada Allah. Beliau menyebutkan dalil-dalil hal ini, di antaranya beliau berkata:
“Termasuk dalil yang paling gamblang dalam masalah ini, adalah Allah dalam surat An-Nisa’ menerangkan bahwa orang-orang yang ingin meminta putusan perkara kepada selain syariat-Nya, maka Allah tidak merasa heran dengan pengakuan iman mereka. Hal ini tidak lain karena pengakuan keimanan mereka yang disertai keinginan meminta putusan perkara kepada thaghut adalah pengkauan yang sangat dusta, sehingga layak untuk diherani. Hal ini dalam firman Allah,
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan (kepada para nabi) sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.” (Adhwa’ul Bayan, 4/83. Lihat pula Al-Hakimiyah fi Adhwa’il Bayan karya As-Sudais, hlm. 58)
Lebih dari ini semua, iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman mencakup sikap membenarkan dan sikap tunduk mematuhi. Sebagaimana wajib hukumnya bagi seluruh manusia untuk membenarkan apa yang dikabarkan oleh para rasul, maka wajib pula atas mereka untuk mentaati perintah para rasul. Sebagaimana dijelaskan oleh firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An- Nisa’ (4): 64)
Karena itu imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi mengatakan tentang definisi iman, “Iman kepada Allah artinya engkau mentauhidkan-Nya, membenarkan-Nya dengan hati dan lisan, tunduk kepada Allah dan kepada perintah-Nya, dengan bertekad bulat untuk melaksanakan perintah-Nya; menjauhi sikap enggan (beribadah kepada-Nya, pent), sombong (dari beribadah kepada-Nya, pent) dan menentang. Jika kamu telah mengikuti apa (wahyu) yang datang dari Allah, maka kamu akan mengerjakan hal-hal yang wajib, menghalalkan hal yang halal, menagharamkan hal yang haram, tidak melanggar hal yang syubhat, dan bersegera dalam melakukan amal kebajikan.” (Ta’zhimu Qadr Ash-Shalat, 1/392-393)
Tidak diragukan lagai bahwa menerapkan syariah Allah merupakan sikap tunduk dan melaksanakan dienullah. Jika demikian halnya, maka tidak menerapkan syariah Allah merupakan kufur iba’ (kekafiran karena enggan tunduk kepada hukum Allah), kufur radd (kekafiran karena menolak hukum Allah), dan kufur istikbar (kekafiran karena sombong kepada hukum Allah), sekalipun ia membenarkan syariat Allah. Sebab, kekafiran bukanlah terbatas pada sikap mendustakan, seperti pemahaman yang dikatakan oleh kelompok sesat Murjiah.
Bersambung, insya Allah…
(muhib al-majdi/arrahmah.com)